Kisah Penghadang Tank di Tiananmen dari Balik Lensa
Momen pemuda tak dikenal yang menghadang tank menyentuh hati publik dunia. Sang fotografer mengenangnya hingga tutup usia di Bali.
TIGA kolom tank Type 59 terpaksa menyetop perjalanan di Jalan Chang’an Boulevard di pojok timur laut Lapangan Tiananmen, Beijing, China pada hari itu, 5 Juni 1989. Gegaranya empat tank di kolom terdepan dihadang sesosok pemuda yang tengah menenteng kantong belanjaan.
Sehari sebelumnya, tank-tank itu ikut meredam unjuk rasa besar-besaran di Lapangan Tiananmen sebagai klimaks dari prahara politik di China yang dipicu inflasi, korupsi, nepotisme, hingga pembunuhan sekretaris jenderal CCP atau Partai Komunis China yang pro-reformasi ekonomi, Hu Yaobang, pada April 1989. Namun unjuk rasa itu “dipadamkan” dengan tindakan-tindakan represif yang berujung pada tewasnya ribuan pengunjuk rasa hingga peristiwanya disebut sebagai Pembantaian Tiananmen atau Insiden Empat Juni.
Situasi perlahan kondusif sehari setelahnya. Para wartawan asing pun mulai undur diri ke hotel masing-masing. Beberapa dari mereka kembali lagi ke balkon kamar untuk memotret dan memfilmkan penghadangan di atas.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Warga di sekitar jalan itu terdiam dan terpaku ketika pemuda tak dikenal itu dengan berani berdiri di tengah jalan untuk menghadang barisan tank itu dengan masih menggenggam kantong belanjaan. Untuk sesaat, terjadi saling tatap antara si pemuda dan kru tank terdepan.
“Semuanya bermula dari seorang laki-laki muda berbaju putih (bercelana hitam) yang berada di tengah jalan dan menangkat tangan kanannya ibarat sedang menyetop taksi,” tulis James Barron di kolom suratkabar The New York Times edisi 6 Juni 1989, “Crackdown in Beijing, One Man Can Make a Difference: This One Jousted Briefly with Goliath”.
Untuk melewati si pemuda, tank terdepan lalu hendak bermanuver ke samping. Namun si pemuda itu bergeser untuk terus menghadangnya sampai akhirnya tank terdepan itu mematikan mesinnya, diikuti tank-tank di belakangnya.
Sang pemuda lalu memanjat ke tank terdepan dan berbicara dengan kru penembak. Lalu si pemuda naik lagi sampai ke kubah turet dan kembali berbicara dengan komandan tank, lantas turun lagi untuk tetap menghadang tank.
Seketika seorang pengendara sepeda mendekati sang pemuda. Beberapa warga lain mengikutinya untuk menggiring sang pemuda tak dikenal tadi ke tepi jalan. Tank-tank itu lalu kembali menghidupkan mesin dan melanjutkan perjalanan.
Baca juga: Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh
Hingga kini, masih jadi misteri apakah yang menggiringnya itu sungguhan warga sekitar atau aparat pemerintah berpakaian preman. Beberapa sumber menyebut mereka sekadar warga yang khawatir si pemuda terlindas tank seperti para pendemo di Tiananmen. Tetapi fotografer majalah Newsweek Charlie Cole yang merekamnya dari balkon kamar lantai delapan Beijing Hotel, menduga kuat itu aparat atau Biro Keamanan Umum, PSB.
“Yang membuat saya kagum adalah tank terdepan itu mau berhenti lalu mencoba mengitarinya tapi sang pemuda terus menghalangi. Sampai akhirnya (aparat) PSB menggiringnya pergi. Saya dan Stuart (Franklin, kontributor foto majalah Time) hanya saling melirik seolah tak percaya apa yang kami lihat dan kami potret,” kenang Cole kepada BBC, 7 Oktober 2005.
Menyelamatkan Foto Ikonik Penghadang Tank
Terlepas dari identitas pemuda itu dan orang-orang yang menggiringnya masih jadi misteri sampai sekarang, kisah itu diangkat ke layar kaca lewat serial dokumenter The Tank Man (2006) dan layar lebar via film dokumenter pendek Tank Man (2019).
Semua jurnalis yang merekam kejadian itu dengan kamera masing-masing pun juga belum mampu mengungkap identitas maupun nasibnya setelah menghadang tank-tank baja itu. Ada yang mengatakan ia ditahan dan dieksekusi. Ada pula yang mengatakan ia kabur ke Taiwan.
Suratkabar Inggris Sunday Express menamai si pemuda dengan Wang Weilin dan menyebutnya seorang mahasiswa berusia 19 tahun. Namun, klaim itu dibantah pemerintah dan Partai Komunis China. Mereka menyatakan tak memiliki dokumen maupun arsip tentang si pemuda, yang membuat nasib si pemuda juga jadi bahan spekulasi banyak pihak.
“Saya tidak bisa mengonfirmasi apakah si pemuda itu ditangkap atau tidak. Kami tidak bisa menemukannya. Kami tahu (klaim) namanya dari para jurnalis. Kami mengecek di (data) komputer tapi tak bisa menemukannya di antara korban tewas atau mereka yang ditahan,” kata Presiden China Jiang Zemin saat diwawancara medio 1990, dikutip Time, 30 Mei 2009.
Meski identitasnya masih gelap, aksi sang pemuda tak dikenal itu menjadi simbol aksi non-kekerasan menentang pemerintahan Zhao Ziyang. Hingga kini, si pemuda misterius itu kondang dengan julukan “The Tank Man” berkat foto-foto ikoniknya yang dimuat media-media Barat.
Salah satu foto yang paling sering dimuat adalah foto karya Jeff Widener, fotografer Associated Press. Meski begitu, foto karya Cole-lah yang memenangkan penghargaan World Press Photo of the Year pada 1990. Fotonya tak hanya dimuat di Newsweek tapi juga Time dan The New York Times saat mengabarkan tentang Pembantaian Tiananmen dan peristiwa si “Tank Man”.
Cole yang lahir di Bonham, Texas, Amerika kala itu tengah meliput untuk majalah Newsweek bersama dua koleganya dari media yang sama, Andy Hernandez dan Peter Turnley. Mereka di Beijing sejak pertengahan Mei 1989. Cole juga meliput Pembantaian Tiananmen itu dari balkon dan teras Beijing Hotel tempatnya menginap.
“Sekitar pukul 4 atau 5 pagi, kolom-kolom tank mulai berpacu melibas bus-bus, sepeda-sepeda, dan orang-orang. Keesokan harinya saya dan Stuart kembali ke balkon kamar. Di situlah saya melihat kolom tank sebanyak 25 tank dihadang si pemuda yang menenteng kantong belanja,” kenang Cole.
Sementara Franklin tetap di balkon, Cole turun untuk mengambil foto lagi dari tepi jalan dengan kamera berlensa 300 milimeternya.
“Karakter dia (penghadang tank) yang menentukan momen, bukan momen yang menentukan dirinya,” ujar Cole, dikutip Michael Burgan dalam Tank Man: How a Photograph Defined China’s Protest Movement.
Tetapi sebelum foto ikonik Cole atau hasil jepretan jurnalis lain bisa keluar dari China untuk dimuat di media-media Barat, mereka harus lebih dulu menghadapi penyensoran aparat PSB. Pasalnya beberapa hari kemudian aparat PSB men-sweeping lima jurnalis itu di Beijing Hotel, termasuk Cole, untuk mencari hasil-hasil foto yang sensitif dan dianggap berbahaya.
Baca juga: Juru Foto di Bawah Desingan Peluru
Franklin menyembunyikan rol filmnya di dalam sebuah kotak teh yang ia titipkan pada seorang mahasiswa Prancis untuk diselundupkan ke luar China. Sedangkan Cole menyembunyikan rol film hasil jepretan si penghadang tank di toilet hotel sebelum kemudian “mengungsi” ke gedung kampus Beijing University. Ia merelakan rol-rol film lainnya terkait aksi unjuk rasa di Tiananmen “dikorbankan” ketika aparat PSB mendatangi kamar hotelnya.
“Saya harus menyembunyikan rol (film) itu dengan kantong plastik di toilet hotel. Saat mereka (aparat PSB) sudah pergi, saya mengambilnya lagi dan membawanya ke kantor AP (Associated Press) untuk minta dibantu dikirimkan ke Newsweek di New York,” lanjut Cole.
Sebulan berselang, Cole keluar dari China dengan fotonya yang sudah dimuat di beberapa media Barat. Usai pensiun, Cole menikmati masa senjanya dengan tinggal di Bali selama lebih dari 15 tahun hingga wafatnya pada 5 September 2019 di usia 64 tahun.
“Saya pikir aksi dia (si penghadang tank) menyentuh hati publik di dunia. Dialah tokoh utama dalam foto itu, sementara saya hanya memotretnya. Saya merasa terhormat ikut menjadi saksinya,” tukas Cole sebelum wafat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar