SEPANJANG sejarah adu pacu Formula One (F1) sejak 1950, penentuan gelar juara dunia bukan hanya pernah ditentukan lewat 1 poin saja. Hari ini, 21 Oktober, empat dekade silam, Niki Lauda bahkan memenangkan gelar juara dunia terakhirnya di Grand Prix (GP) Portugal hanya dengan selisih setengah poin dari rekan setim cum rival sengitnya, Alain Prost.
Sejarah mencatat, saking sengitnya persaingan pembalap, setidaknya delapan kali terjadi gelar juara dunia dimenangkan hanya dengan selisih 1 poin. Salah satunya juga terjadi di hari ini, 21 Oktober, 17 tahun silam di GP Brasil. Pada seri terakhir musim 2007 itu, pembalap tim Scuderia Ferrari Kimi Räikkönen merebut 10 poin pamungkas usai memenangi podium pertama. Perolehan 10 poin itu membuatnya menutup musim dengan 110 poin atau unggul 1 poin saja dari duo pembalap tim McLaren, Lewis Hamilton dan Fernando Alonso, yang sama-sama mengoleksi 109 poin.
Persaingan Räikkönen-Hamilton-Alonso di musim 2007 itu memang sangat sengit. Sangat jarang terjadi perebutan juara dunia terjadi di seri terakhir oleh lebih dari dua pembalap.
Baca juga: 130 Tahun Mercedes-Benz di Arena Pacu
Namun, persaingan merebut gelar juara yang ditentukan hanya dengan setengah poin belum pernah terjadi lagi pasca-rivalitas Lauda vs. Prost di musim 1984. Sejarah tersebut mungkin mustahil diulangi pembalap lain karena adanya perolehan setengah poin sendiri jadi satu momen langka di tengah musim 1984.
Menurut Harry Lime dalam Niki Lauda: The Bravest Driver, momen itu slot gacor hari ini terjadi di race keenam, GP Monaco pada 3 Juni 1984. Sejak sesi kualifikasi hingga sesi race, hujan lebat mengguyur arena Circuit de Monaco sehingga penyelenggara memutuskan menghentikan balapan karena keadaan membahayakan.
Dari 76 laps yang terjadwal, balapan dihentikan pada lap ke-31. Lantaran tidak mencapai 75 persen dari total laps terjadwal, regulasi yang ada menyatakan perolehan poinnya “disunat” separuh bagi semua pembalap yang sudah menyelesaikan 31 lap. Prost yang berada di posisi pertama ketika balapan dihentikan, hanya mendapat 4,5 poin (9 poin di keadaan normal). Menyusul di belakangnya Ayrton Senna (3 poin), René Arnoux (2 poin), Keke Rosberg (1,5 poin), dan Michele Alboreto (0,5 poin).
“Niki memenangkan gelar juara dunia ketiganya pada (musim) 1984 hanya dengan keunggulan setengah poin dari rekan setimnya, Alain Prost, lantaran terjadi pemberian setengah angka saja di GP Monaco yang balapannya dihentikan lebih awal. Mulanya ia tak ingin setim dengan Prost tapi kemudian menjadi sahabat dan Niki mengatakan bakat Prost jadi motivasi tersendiri baginya,” tulis Lime.
Baca juga: Lika-liku Pembalap Perempuan di Gelanggang F1
Motivasi Baru Melawan Darah Muda
Suatu hari pada pengujung musim gugur 1976 di landasan udara pribadi di Bologna, Italia, James Hunt (diperankan Chris Hemsworth) menemui seterunya, Niki Lauda (Daniel Brühl). Jika Hunt masih dalam euforia pasca-memenangi titel F1 musim 1976, Lauda melepas penatnya dari musim kompetisi dengan belajar menerbangkan pesawat.
“Bagi James, satu gelar juara dunia sudah cukup. Dia sudah membuktikan apa yang harus ia buktikan pada dirinya dan siapapun yang meragukannya. Dua tahun kemudian dia pensiun. Orang-orang melihat kami sebagai pesaing tapi bagi saya, dia satu dari sedikit orang yang saya hormati,” ucap Lauda dalam sebuah monolog.
Monolog itu jadi bagian adegan terakhir film biopik Rush (2013). Film ini mendramatisir rivalitas sengit Lauda- Hunt di musim 1979. Lauda sendiri tampil sebagai cameo di scene terakhir, sebelum akhirnya ia wafat di usia 70 tahun pada 20 Mei 2019.
Baca juga: Rush Memicu Adrenalin hingga Garis Finis
Sepeninggal Hunt, Lauda sendiri sempat pensiun pasca-musim 1979 berakhir dengan koleksi dua gelar juara dunia di musim 1975 dan 1977. Lima tahun berselang, ia kembali dari masa pensiun untuk memiloti kokpit mobil tim McLaren mulai musim 1982 dan mulai satu tim Prost sang rival barunya pada 1984.
“Lauda dan Prost, sebuah tim impian, campuran pengalaman dan darah muda. McLaren sangat percaya diri dengan prospek mereka. Tak bisa disalahkan jika Prost merasa sombong. Sementara Lauda seorang legenda Austria dari era awal 1970-an dan sedang bersemangat kembali ke F1,” ungkap David Sedgwick dalam The Power and the Glory: Senna, Prost and F1’s Golden Era.
Tak ayal, Lauda-Prost mendominasi musim 1984. Dari 16 seri di musim ini, 12 di antaranya dimenangkan pembalap McLaren. Lauda sendiri menang di 5 race. Sedangkan Prost menang di 7 race, termasuk di GP Monaco, di mana Prost mendapatkan 4,5 poin sedangkan Lauda 0 karena mobilnya lebih dulu tergelincir di lap ke-23.
Tetapi meski Prost lebih sering menang, Lauda lebih sering mendapat poin di podium-podium untuk mengejar poin Prost di klasemen. Oleh karenanya pada race terakhir di GP Portugal pada 21 Oktober 1984, Lauda hanya butuh finis kedua seandainya Prost menang podium pertama.
Faktanya itulah yang terjadi di Sirkuit Autódromo do Estoril. Tensinya sudah mulai memanas sejak race dimulai, di mana Lauda start dari posisi kedelapan sementara Prost start dari posisi kedua. Menjelang balapan, Lauda masih memimpin klasemen dengan 66 poin, sedangkan Prost membuntuti di posisi kedua dengan 62,5 poin.
Baca juga: Seteru Sengit di Sirkuit
Ketika balapan sudah dimulai, Lauda pun langsung tancap gas untuk memperpendek jaraknya dari barisan mobil-mobil terdepan. Dengan dinaungi “Dewi Fortuna”, Lauda sukses merebut posisi kedua usai Nigel Mansell di depannya tergelincir di lap ke-52.
Posisi kedua itu terus ia pertahankan hingga putaran terakhir di lap ke-70. Prost memang menang dan meraup 9 poin tapi Lauda sukses bertahan jadi runner-up dengan perolehan 6 poin.
“Saya ikut prihatin pada bajingan kecil itu (Prost, red.). Dia menang tujuh race dan saya memenangi gelar dengan (selisih) setengah poin,” kata Lauda dikutip Malcolm Folley dalam Senna Versus Prost.
Perolehan setengah poin Lauda itu cukup untuk memenangkan titel juara dunia untuk ketiga kalinya dengan total 72 poin. Prost harus puas jadi juara kedua dengan 71.5 poin di akhir klasemen.
“Itulah contoh bagaimana Anda bisa kalah meraih gelar hanya karena setengah poin yang sampai saat ini masih jadi rekor tersendiri. Tapi saya masih bisa senang karena tim kami menang (gelar juara konstruktor). Mengingat suasananya saat itu, kami menjalani musim yang fantastis,” tandas Prost mengenang di tim McLaren, 23 Mei 2023.
Itu jadi titel ketiga sekaligus yang terakhir bagi Lauda. Setelah masih balapan di musim 1985 yang mengecewakan, pembalap berjuluk “King Rat” itu memutuskan pensiun. Kali ini untuk selamanya. Selebihnya ia memilih mengurusi perusahaan penerbangannya, Lauda Air.
Baca juga: Ayrton Senna dalam Kenangan