INTERNAL tim Repsol Honda di MotoGP musim depan (2019) diprediksi bakal memanas setelah bergabungnya Jorge Lorenzo pada Juni 2018 menggantikan Dani Pedrosa sebagai joki kedua. Lorenzo bakal bermitra dengan rekan senegara sekaligus rival tersengitnya, Marc Márquez.
Keduanya sudah terlibat konflik sejak Grand Prix (GP) Spanyol di Sirkuit Jerez (kini Sirkuit Jerez-Ángel Nieto), 5 Mei 2013. Situs resmi MotoGP, 13 November 2018, mencatat, permusuhan mereka dipicu manuver Márquez yang menyenggol Lorenzo (masih di tim Yamaha). Akibatnya, Lorenzo gagal meraih podium utama.
Sejak itu, keduanya kerap tak akur di dalam maupun luar lintasan. Bakal setimnya Lorenzo dan Márquez membuat banyak orang penasaran bagaimana hubungan keduanya di tim Honda musim 2019. Sebagian memprediksi keduanya akan mengulang persaingan setim laiknya legenda Formula One (F1) Alain Prost vs Ayrton Senna kala sama-sama di tim McLaren-Honda musim 1988-1989.
Baca juga: Kala Valentino Rossi berseteru di trek kontra Biaggi dan Márquez
“Tidak,” kata Márquez mengomentari hubungannya dengan Lorenzo bakal seperti Prost dan Senna, dilansir Motorsport, 26 November 2018. “Di lintasan tentu kedua pembalap ingin juara, ingin terdepan, dan akan memberi kemampuan 100 persen. Tapi di luar lintasan, kami tetaplah rekan setim. Bahkan sejak perseteruan di Austria dan Brno, hubungan kami tetap profesional.”
Senna vs Prost
Di permukaan, Márquez dan Lorenzo jelas bakal profesional. Namun, belum tentu di dalam. Benih-benih permusuhan masih nampak, sebagaimana Prost dan Senna yang awalnya juga berkawan baik.
Perseteruan Senna-Prost bermula dari bergabungnya Senna ke tim McLaren jelang musim 1988. Kedatangan itu mulanya sangat didukung Prost selaku pembalap utama lantaran di dua musim sebelumnya Senna tampil apik bersama tim Lotus.
“Saya bilang pada Ron (Dennis, team principal Mclaren-Honda) bahwa saya yakin Ayrton akan jadi pembalap hebat di masa depan dan saya pikir dia akan jadi opsi terbaik buat tim. Hubungan saya dekat dengan Nelson (Piquet) tapi saya rasa akan lebih baik buat tim memiliki pembalap yang lebih muda,” ujar Prost dikutip Malcolm Folley dalam Senna versus Prost: The Story of the Most Deadly Rivalry in Formula One.
Namun, hubungan baik mereka di internal mulai rusak di seri ke-13, GP Portugal, 25 September 1988. Di lap kedua GP di Sirkuit Autódromo do Estoril itu, Senna bermanuver menutup jalur ketika Prost hendak menyalip. “Dia banting setir ke arah (jalur) saya, membuat saya hanya berjarak kira-kira satu kaki dari dinding sirkuit. Saya mampu bertahan dan malah memenangkan balapan. Tapi dia selalu bisa terhindar dari hukuman. Memang berapakali Ayrton disanksi atas aksi-aksi seperti itu selama ini? Tidak pernah!” ujar Prost dalam “Alain Prost on Ayrton Senna: Between Us, We Can Screw All the Others!” yang dimuat Autoweek, 30 April 2014.
Hingga akhir musim, benih-benih kebencian mulai muncul di antara keduanya. Meski sempat didamaikan bos tim Ron Dennis setelah Senna minta maaf, kedengkian kedua pembalap masih berlanjut. Di musim berikutnya, ketika F-1 baru memasuki seri kedua, GP San Marino 1989, Senna dan Prost kembali “perang” di Sirkuit Imola (kini Autodromo Enzo e Dino Ferrari).
Padahal, kata Tom Rubython dalam The Life of Senna, keduanya punya perjanjian pra-balapan pasca-sesi kualifikasi. Di sesi kualifikasi, Senna sukses menempati pole terdepan dan Prost membuntuti di pole kedua. Keduanya bikin perjanjian bahwa di tikungan “Tosa” pada lap pertama keduanya tidak boleh saling “serang” berebut posisi.
Memang, pada saat start Senna dan Prost adem-adem saja. Tapi gara-gara sebuah kecelakaan yang dialami Gerhard Berger (pembalap tim Ferrari), balapan harus dimulai lagi meski posisi Prost sudah di depan Senna.
“Saat start kembali (setelah kecelakaan) saya berada di depan dan di Tikungan Tosa Ayrton menyalip saya! Setelah balapan, dia berargumen itu bukan start, melainkan restart. Kami pun saling tidak setuju soal alasan itu. Setelah itu atmosfer di tim sangat buruk,” lanjut Prost.
Baca juga: Kisah pembalap Indonesia yang berjaya di Grand Prix Macau
Di Sirkuit Suzuka saat GP Jepang, 22 Oktober 1989, Prost melakukan pembalasan. Ketika Senna berusaha menyalip Prost di sebuah chicane (tikungan ganda) pada lap ke-46, Prost sengaja menutup ruang Senna hingga kedua mobil mereka saling berserempet. Setelah sempat beradu mulut di trek, Senna ambil jalan pintas di luar trek yang berujung diskualifikasi plus sanksi enam bulan larangan membalap dan denda USD100 ribu.
Perseteruan berlanjut lagi di Suzuka pada musim 1990 tatkala Prost sudah pindah ke Ferrari. Di tikungan pertama lap pembuka, Senna menubruk buritan mobil Prost hingga sedikit terangkat. Keduanya terpaksa gagal melanjutkan balapan meski di akhir musim Senna berhasil menjadi juara dunia.
Lawan Jadi Kawan Abadi
Balapan terakhir Prost, di Sirkuit Adelaide dalam GP Australia 7 November 1993, membawa berkah bagi hubungannya dengan Senna. Perdamaian keduanya mulai tercipta kembali. “Padahal dua pekan sebelumnya di podium GP Jepang, dia tak mau melihat saya. Tapi saat saya pensiun, dia merangkulkan tangannya ke pundak saya,” kata Prost.
Prost pelan-pelan mulai berkawan lagi dengan Senna. Namun, persahabatan itu harus berhenti pada 2 Mei 1994. Hari itu, Senna tewas setelah mobilnya menghantam dinding beton di tikungan Tamburello, Sirkuit Imola ketika GP San Marino. Prost ikut mengusung peti jenazah Senna untuk dikebumikan di Pemakaman Morumbi, 4 Mei 1994.
Baca juga: Mirisnya nasib legenda balap Indonesia di usia senja
“Jika ada orang yang tanya pada saya siapa pembalap terbaik yang pernah saya hadapi, tiada lain adalah Senna. Bagaimanapun perseteruan kami, satu hal yang takkan pernah berubah adalah rasa hormat kami satu sama lain sebagai pembalap. Jika waktu bisa berulang, saya akan bilang padanya: ‘Dengar Ayrton, kita pembalap terbaik. Di antara kita sangat bisa berteman dan kita bisa memecundangi semua pembalap lain’,” ujar Prost.