BENDERA triwarna (biru-putih-merah) mendominasi pengerekan tiga bendera di atas podium Grand Prix Doha, Minggu, 4 April 2021 malam waktu setempat (Senin, 5 April WIB). Pemenang kelas MotoGP Fabio Quartararo berbagi kebanggaan dengan runner-up Johann Zarco. Keduanya menyunggingkan senyum lebar dan bersukacita kala lagu kebangsaan Prancis “La Marsellaise” berkumandang.
MotoGP seri kedua di Sirkuit Losail, Doha, Qatar akhir pekan lalu menghadirkan dua torehan sejarah. Pertama, di seri itulah terjadi persaingan paling ketat sepanjang sejarah MotoGP dalam satu balapan penuh. Terdapat 15 pembalap yang adu nyali dan strategi plus kekuatan motor pada barisan terdepan dari start hingga finish di bawah selisih waktu sembilan detik antara pembalap terdepan hingga pembalap ke-15. Kedua, kemunculan pertama dua pembalap Prancis di tangga podium sejak 1954, di mana kala itu Prancis diwakili Pierre Monneret dan Jacques Collot.
Quartararo, yang diusung tim Monster Energy Yamaha, mengerahkan semua kemampuannya untuk menang meski start di urutan kelima. Sementara Zarco, joki tim Pramac Ducati, puas finis di urutan kedua. Selain bangga bisa ikut mengulang sejarah, Zarco senang karena rekan setimnya asal Spanyol yang seorang debutan, Jorge Martín, merasakan podium pertamanya sebagai juara ketiga.
“Saya suka dengan sejarah balap motor dan memang benar bahwa era 1950-an adalah waktu yang sudah sangat lama. (Pembalap Prancis) urutan pertama dan kedua sudah sempurna untuk catatan sejarah. Saya sama-sama senang melihat Fabio memenangkan race dan saya finis kedua. Maka saya sangat bersemangat saat bernyanyi (‘La Marsellaise’) karena Anda harus menyadari bahwa itu hal fenomenal yang bisa kami lakukan untuk Prancis di balap motor. Jadi, saya sangat menikmati momennya,” aku Zarco, sebagaimana dilansir crash.net, Senin (5/4/2021).
Baca juga: Siklus Valentino Rossi
Selama beberapa tahun ke belakang, pemenang MotoGP acap didominasi pembalap-pembalap Italia dan Spanyol. Zarco saja hanya punya sembilan capaian podium sejak terjun ke kelas MotoGP pada 2017. Sementara Quartararo yang naik ke kelas premier pada 2019, 11 kali naik podium hingga seri kedua musim 2021 akhir pekan lalu.
Di era 1950-an, Monneret dan Collot pun kesulitan mendobrak dominasi para pembalap Inggris, Italia, dan Jerman. Pengecualian hanya terjadi dalam seri pertama musim 1954 di Grand Prix Prancis yang dihelat di Sirkuit Reims-Gueux pada 30 Mei 1954.
Pembalap Prancis Mendobrak Dominasi
Pierre Monneret yang lahir pada 12 Januari 1931 merupakan anak pembalap motor legendaris Prancis dari era 1930-an Georges “Jojo la Moto” Monneret. Bersama saudara kembarnya, Jean Monneret, dan saudara tirinya, Philippe Monneret, Pierre sejak kecil sudah menggeluti dunia balap.
Georges, dikutip dari autobiografinya, Vive la Moto, sepanjang kariernya yang membentang hingga 1971 mencatat 19 kali juara ajang balap motor lokal Prancis dan menorehkan 183 rekor dunia. Salah satu di antaranya adalah rekor keliling dunia (sekira 40 ribu kilometer).
Rekor tersebut ditorehkan Georges dengan menunggangi motor Puch 125 TS yang dikendarainya bergantian dengan kedua putra kembarnya. Georges, Pierre, dan Jean start dari Sirkuit Autodrome de Monthléry pada 8 Maret 1951 dan finis di venue yang sama 24 hari, 21 jam, dan 43 menit kemudian.
Baca juga: Sembilan Ayah dan Anak di Arena F1 (Bagian I)
Pengalaman itu ikut menguatkan jiwa bertarung Pierre yang turun ke pentas profesional pada 1949. Debutnya dilakukan di kejuaraan nasional Prancis dengan turun sekaligus di nomor 350cc (menggunakan motor Velocette) dan 500cc (menunggunakan motor AJS/A.J. Stevens & Co.).
Langganan podium, Pierre pun terjun ke pentas MotoGP setelah mendapatkan lisensi internasional pada 1953. Seperti di ajang lokal, Pierre turun di dua kelas MotoGP: 350cc dengan motor AJS dan 500cc dengan motor Gilera. Kelas 500cc kala itu didominasi pembalap Inggris dan negara-negara persemakmurannya seperti Geoff Duke, Ken Kavanagh, Ray Amm, dan Jack Brett masih acap mendominasi. Rival berat asal Italia datang dari Alfredo Milani.
Di musim 1954, Pierre memberi kejutan. Di seri pertama pada Grand Prix Prancis, 30 Mei 1954, dia memberi kebanggaan kepada publik tuan rumah lewat kemenangan di dua kelas sekaligus: 350cc dan 500cc. Capaiannya itu disempurnakannya dengan catatan waktu tercepat di dua kelas itu: 3 menit 10 detik (350cc) dan 2 menit 42 detik (500cc).
“Monneret memulai musim (1954) dengan menang di rumah sendiri di (Sirkuit) Reims. Walau kemudian Duke mengambil kemenangan di lima seri berikutnya berturut-turut, di Belgia, Belanda, Jerman, Swiss, dan Italia sampai akhirnya dia merebut gelar kelimanya,” tulis Mick Walker dalam Mick Walker’s Italian Racing Motorcycles.
Baca juga: Sembilan Anak dan Ayah di Arena F1 (Bagian II – Habis)
Namun sejak kemenangan itu Pierre tak pernah lagi bisa menggapai tangga podium tertinggi. Di musim 1955, ia hanya sekali naik podium, posisi kedua kelas 500cc, di GP Belgia. Sementara di musim 1956 yang jadi musim terakhirnya, Pierre harus puas finis di urutan keempat di akhir musim dengan capaian tiga kali naik podium ketiga di GP Belgia, Jerman, dan Monza (Italia).
“Dia pembalap berbakat, namun harus berhenti balapan di usia 25 tahun demi mengambil alih bisnis keluarga di bidang yang tak ada hubungannya dengan motor (pabrik tabung karton). Sangat disayangkan karena dia bisa saja punya karier cemerlang. Dia memenangkan GP Prancis di dua kelas, sebuah pencapaian yang sampai hari ini mustahil disamai,” kenang Phillipe dalam obituari pasca-meninggalnya sang saudara tiri (1 Maret 2020), dikutip Eurosport, 2 Maret 2010.
Lain Pierre Monneret, lain pula Jacques Collot. Lahir delapan tahun lebih dulu (9 April 1923) di Vesoul, Collot mengenal motor sejak jadi pekerja mekanik magang di pabrik motor Terrot pada 1938. Kesempatan itu dimilikinya berkat kolega ayahnya, Lucien Collot, yang punya bisnis stasiun bahan bakar dan bengkel otomotif.
Baca juga: Legenda Balap Pengibar Merah Putih di Makau
Kala Jerman menduduki Prancis pada 1940, pemuda Collot memilih bergabung ke kelompok gerakan perlawanan bawah tanah Bir Hakeim. Keinginannya yang kuat melawan kekuasaan Nazi berangkat dari dendamnya akibat sang kakak yang tergabung di Resimen ke-11 Chasseurs de Vesoul, Jean Collot, tewas dalam sebuah pertempuran pada 16 Juni 1940.
Ketertarikan Collot ke ajang balap motor perlahan tumbuh seiring pergelutannya sebagai mekanik motor Terrot. Maka pada 1947 ia membeli sendiri motor Magnat-Debon Terrot 500cc untuk ikut berbagai balap lokal di Lyon, Paris, hingga Marseille. Namun, ia jarang keluar sebagai juara lantaran sering mengalami kecelakaan.
Alih-alih kapok, Collot keukeuh meniti kariernya hingga jadi langganan juara kejuaraan nasional. Ia akhirnya menjalani debut di MotoGP pada 1954 di dua kelas sekaligus, 350cc dan 500cc, dengan dua motor Norton berbeda. Saat menjalani debut itulah Collot yang finis di urutan ketiga bisa mendampingi Pierre Monneret di tangga podium.
Tapi itu capaian terbaik pertama sekaligus terakhir Collot di MotoGP. Di musim berikutnya, Collot gagal mengulang prestasinya. Di GP Prancis 1955, Collot hanya sanggup melintasi garis finis sebagai pembalap tercepat kelima.
Hingga pensiunnya di tahun 1960, Collot lebih sering bergelut di ajang-ajang lokal dan ajang internasional non-MotoGP. Dia mencetak 180 kemenangan, termasuk kemenangan gemilang di Le Grand Prix de Genes pada 19 Mei 1955. Collot dengan motor Nortonnya mampu merusak dominasi pembalap Gilera dan MV Agusta.
“Faktanya dengan kehadiran tim-tim resmi Gilera dan MV (Agusta), di atas kertas saya tak puya kesempatan. Tetapi saya tidak tahu mendapat kekuatan dari mana kala balapan ibarat saya sedang kesurupan. Karena sirkuitnya terdapat bagian-bagian yang tricky, saya memanfaatkan kesempatan di trek lurus. Saya sempat tertinggal menjelang belokan terakhir tetapi akhirnya saya menang setelah melintasi garis finis dua detik lebih cepat dari (Libero) Liberati. Saya pikir itu balapan yang hebat,” kenang Collot, dikutip mingguan La Vie de la Moto nomor 1 tahun 1990.
Baca juga: Balapan Mengusung Ulah Adigung