Masuk Daftar
My Getplus

Arswendo Atmowiloto Hidup untuk Menulis

Arswendo Atmowiloto tak pernah kehabisan ide dalam menulis. Pernah ditahan karena menghina Islam. Tetap berkarya dalam penjara.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 20 Jul 2019
Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok mahasiswa Jakarta membawa spanduk dengan tuduhan Arswendo Atmowiloto telah menghina Islam pada November 1990. (Repro Suara Pembaruan)..

RAMBUT gondrongnya masih basah. Disisir ke belakang. “Baru mandi, nih,” kata Arswendo Atmowiloto kepada saya dan seorang kawan di halaman rumahnya, Petukangan Selatan, Jakarta. Dia lalu mempersilakan saya dan seorang teman masuk ruang kerjanya. Kami menemuinya pada suatu hari tahun 2015 untuk keperluan penulisan artikel Historia.

Ruang kerja Wendo ramai beragam barang. Dindingnya penuh foto diri, karikatur wajah, dan bingkai penghargaan. Kasur lipat berada di belakang kursi kerjanya. Sudut lainnya berisi komputer lawas dengan floppy disk. Ada juga sebuah mesin tik klasik. Di ruang ini Wendo menulis selama puluhan tahun. Kalau lelah, dia gelar kasur lantas tertidur pulas.

Wendo hidup dari menulis. Dia mengaku tak punya pekerjaan selain menulis. Kegiatan lainnya kelanjutan dari menulis. Dari menjadi produser, direktur, suami, bapak, sampai narapidana. “Pengalaman itu semua hanya berawal dari satu profesi. Sebagai penulis, pengarang,” ujar Wendo.  

Advertising
Advertising

Keluarga Miskin

Wendo, kelahiran 26 November 1948, sebermula tak pernah membayangkan bakal menjadi penulis. Semasa kecil, dia punya cita-cita populer selayaknya anak-anak lain: menjadi dokter. Kelak dengan kerja sebagai dokter, dia akan hidup kaya, terhormat, dan bisa menyuntik semua orang.

Tapi cita-cita Wendo tak pernah mewujud. Menjadi dokter perlu jenjang pendidikan tinggi dan makan biaya banyak. Sementara ekonomi keluarganya pas-pasan.

Wendo tumbuh besar tanpa kepala keluarga sejak kelas 5 SD pada 1960. Ibunya janda, tak punya kerjaan tetap, dan harus menghidupi enam orang anak di Harjapuran, Surakarta.

Keluarga Wendo mengandalkan uang pensiun almarhum ayah yang habis untuk belanja keseharian. Tak ada sisa untuk biaya pendidikan.

Mau beli pakaian baru saja susah. “Ada waktu tertentu kami menunggu jemuran baju sampai kering, baru bisa memakainya,” kenang Wendo dalam Mengarang Novel Itu Gampang.

Baca juga: Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman

Ajaibnya, Wendo lulus SMA dan memperoleh ranking sepuluh besar. Tapi dia lulus tanpa membawa ijazah. Sebab masih ada tunggakan uang sekolah berbulan-bulan.

Wendo suka mengarang sedari SD. Daya mengarangnya berasal dari kegemarannya membaca berpuluh buku dan komik. Tapi selama itu dia belum pernah mengirim karyanya ke media massa. Baru pada masa SMA, dia kirim karangannya ke media lokal, Gelora Berdikari. Karyanya berhasil dimuat dan diganjar imbalan uang.

Selepas SMA, Wendo sempat bekerja serabutan di sebuah toko untuk membiayai kuliahnya di IKIP Surakarta. Tapi gajinya jauh lebih kecil daripada uang kuliah. Akhirnya pada bulan ketiga, dia putus kuliah.

Wendo mengirimkan lamaran kerja ke sana-sini. Tak ada panggilan. Dia kerja serabutan lagi. Dari tukang jemur di pabrik bihun, pencari rumput, penjaga sepeda, sampai pengumpul bola tenis. Dia berhenti dari kerjaan terakhirnya setelah bertemu seorang veteran bertangan buntung yang butuh kerjaan. Dia serahkan posisinya untuk si veteran.

Baca juga: ACI Film Seri Idaman Tahun 80-an

Wendo kembali bekerja di toko. Tersedia banyak waktu luang untuknya. Dia mengisinya dengan menulis cerpen berbahasa Jawa dan mengirimkannya ke sejumlah media massa. Karyanya tembus. Dan dia mendapat pemasukan tambahan. Dari sini, tumbuh kepercayaan dirinya menempuh hidup sebagai penulis dan menikahi seorang perempuan bernama Agnes Sri Hartini.

Cerpen berbahasa Indonesia pertama Wendo terbit pada 1971. Judulnya “Sleko”, nama sebuah jalan di Stasiun Tawang, Semarang. Sejak itu, dia lebih sering menulis dengan bahasa Indonesia.

Arswendo Atmowiloto. (Bkusmono/Wikipedia).

Resep Menulis

Wendo ikut lomba cerpen di Jakarta. Dia menang, kemudian pindah ke Jakarta, lalu bekerja sebagai wartawan. Di sini produktivitasnya meningkat pesat. Dia bisa menulis laporan jurnalistik sekaligus mengerjakan cerpen dan novel.

“Ia pernah menulis dan dimuat serentak di Kompas, Sinar Harapan, Aktuil, dan Horison dalam minggu yang sama,” catat tim penulis Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan Jilid III.

Bagaimana bisa?

Wendo berbagi rahasia. Dia punya konsep menjinakkan waktu. Dia bisa menggunakan 24 jam dalam sehari untuk keperluan menulis. Setelah berkeluarga, aktivitas Wendo kian padat. Dia tak bisa menulis seperti kala bujangan. Dia kini harus pula mengurus anak-anaknya. Pernah suatu kali dia menulis sambil memangku anak-anaknya.

Karena itu, Wendo berikhtiar menggunakan setiap pembicaraan dengan orang, perjalanan ke suatu tempat, dan rehat sejenak sebagai penunjang penulisan.

Baca juga: Romantisme Keluarga Cemara

Dari pembicaraan dengan orang, Wendo seringkali mendapat ide. Dia juga menjelajahi ide dengan berkunjung ke banyak tempat. Dia menggunakan waktu istirahat untuk mengendapkan ide-ide tersebut. Kemudian dia mulai menulis dan mengembangkan semua kejadian yang dialaminya. Hal-hal terdekat dalam hidupnya.

Cerpen dan novel Wendo begitu hidup. Misalnya novel The Circus. Dia mengikuti rombongan sirkus, mengalami kejadian demi kejadian bersama mereka, dan menyelami pengalaman baru. Dari situ, dia menulis ceritanya. Tanpa pernah menundanya. Dia berupaya mengolahnya secara jujur dan tanpa beban.  

“Dia tidak peduli apakah nanti dianggap sastra atau tidak, dimuat atau tidak, baginya tidak ada masalah dan dia berusaha membebaskan diri dari beban itu,” ungkap Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan Jilid 3.

Keluarga Cemara ialah contoh berikutnya. Di sini Wendo mengolah tema kejujuran, tema yang biasa dalam keseharian. “Bisa nggak sih, orang hidup dengan kejujuran?” kata Wendo. Dia coba tampilkan itu dalam kehidupan sebuah keluarga dengan latar kampung di Sukabumi.

Baca juga: Keluarga Cemara Menebar Inspirasi

Wendo menghadirkan fragmen cerita Keluarga Cemara berdasarkan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Tapi tidak dengan cara mengkhotbahi orang. Hasil pengolahannya terbukti manjur.

Wendo berhasil menawarkan cerita ini ke stasiun televisi. Untuk kerja sama pembuatannya, dia harus bikin perusahaan. Dia menjadi direktur perusahaan dan produser tayangan termaksud. Tak pernah terbayang bahwa orang sebebas Wendo menjadi direktur. “Tapi makanannya ya nasi bungkus juga. Kayak teman lainnya. Hahaha,” ujar Wendo.

Terhadap karya fiksi berlatar sejarah, Wendo menambahkan resep riset pustaka. Ini mutlak dan tak bisa ditawar. “Kan nggak lucu kalau nanti tokohnya menulis dengan bolpoin atau main blackberry,” terang Wendo dalam Mengarang Novel Itu Gampang.

Baca juga: Kertanagara Melawan Khubilai Khan

Wendo mencontohkan karyanya, Senopati Pamungkas. Latarnya mengambil masa Kerajaan Singhasari. Dia mengatakan mengambil latar ini lantaran tertarik oleh Raja Kertanegara, raja Singhasari.

“Berani melawan utusan dari Kubilai Khan atau anak cucunya. Padahal pasukan Mongol itu berhasil menyapu lebih dari separuh dunia,” ungkap Wendo. Untuk menghidupkan suasana zaman saat itu, Wendo membaca banyak buku referensi tentang Singhasari.

Wendo taat dan ketat bersandar pada sumber sejarah untuk menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, tapi longgar dalam memberi nama jurus silat tokoh-tokohnya. Ini menunjukkan kelihaiannya meramu sejarah faktual dengan cerita fiksi. Sekaligus menunjukkan pengetahuannya untuk memilih mana beban, mana kebebasan.

Masuk Penjara

Tapi Wendo tak selamanya lihai menempuh pilihan. Dia sekali waktu terjeblos juga karena pilihannya. Ketika menjadi pemimpin redaksi majalah Monitor, dia berkeputusan menampilkan daftar tokoh favorit pilihan pembaca berdasarkan angket.

Hasil angket menempatkan posisi Nabi Muhammad (urutan 11) tepat di bawah Wendo (urutan 10). Peringkat pertama ditempati oleh Soeharto. Karuan umat Islam protes setelah membaca hasil angket yang dimuat di Monitor edisi 15 Oktober 1990.

Mohamad Natsir, tokoh Masyumi, menilai Wendo menghina Islam. “Nurcholis Madjid yang biasanya enteng sebagai intelektual Islam juga bereaksi,” tulis Rekaman Peristiwa 1990 terbitan Suara Pembaruan.

Teman-teman Wendo juga menyalahkannya. Rekan satu korpsnya mengucilkannya. Orang ramai mengutuknya, mengharap dia dihukum mati. “Sarwendo… mendadak memang jadi sendirian di dunia,” rekam Kurniawan Junaedhie dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia.

Baca juga: Penistaan Agama Pada Masa Lalu

Wendo meminta maaf atas kesalahannya. Tapi pengadilan tetap memutuskan Wendo bersalah telah melanggar Pasal 156 dan 157 tentang penghinaan terhadap agama. Dia dihukum penjara selama 5 tahun.

Tapi bukan Wendo namanya kalau tidak mengolah pengalaman. Di penjara, dia masih produktif. Pengalamannya di penjara tertuang dalam beberapa novel. Antara lain Menghitung Hari dan Kisah Para Ratib.

Kemarin, Jumat sore, 19 Juli 2019, Wendo wafat dalam usia 70. Dia telah mengalami banyak hal dari menulis. Dan karena menulis pula kini dia dikenang oleh banyak orang. Selamat jalan...

TAG

obituari arswendo atmowiloto

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Nani Wijaya dari Tari ke Film Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé Sisi Lain Ridwan Saidi Aminah Cendrakasih Sebelum Jadi Mak Nyak