Masuk Daftar
My Getplus

Suami Istri Pejuang Kemanusiaan

Darmini dan Harsono hingga usia lanjut turut berpartisipasi dalam aksi dan solidaritas menentang penindasan oleh penguasa di Indonesia, Filipina, dan berbagai negara lainnya.

Oleh: Amanda Rachmadita | 31 Des 2023
Darmini Harsono Diran disemayamkan di rumah duka. (Istimewa).

NAMA Darmini Harsono Diran terasa asing bagi orang Indonesia. Salah satu alasannya karena wanita yang dikenal sebagai seorang internasionalis itu telah lama tinggal di Belanda. Lantas siapa Ibu Darmini?

Tak banyak informasi yang dapat ditemukan mengenai latar belakang Darmini. Namun yang pasti ia merupakan sosok yang gigih dalam menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas. Lahir di masa kolonial Belanda, semangat perjuangan seorang putri Pakubuwono ini telah muncul sejak belia.

Surat kabar Belanda, Trouw, 21 Maret 2002, melaporkan pada 1940-an, Darmini turut ambil bagian dalam melawan tentara Belanda di Jawa. Bersama kawan-kawan seperjuangan, ia membantu para petani di desa-desa yang dibom untuk mengorganisir diri mereka sendiri.

Advertising
Advertising

Semangat perjuangan Darmini tak luntur meski harus meninggalkan Indonesia setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965. Sejak tiba di Belanda pada 1970-an, Darmini bersama suami, Soedirdjo Harsono berpartisipasi dalam banyak kegiatan mendukung perjuangan rakyat tertindas di Filipina, Jerman Timur, Kuba, Venezuela, RRC, Palestina, dan negara-negara lainnya.

Baca juga: Francisca Fanggidaej, Perempuan Pejuang yang Terbuang

Menurut Ibrahim Isa, tokoh eksil Indonesia di Belanda, pasangan suami istri tersebut turut aktif dalam Aksi Setiakawan. Dalam organisasi tersebut keduanya kerap menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Mereka kerap melakukan aksi-aksi pembelaan terhadap korban peristiwa 1965.

“Aksi Setiakawan menggalang solidaritas internasional terhadap perjuangan rakyat kita melawan Orba. Dalam semua kegiatan tersebut bersama kawan-kawan lainnya, Bung Hary (panggilan Harsono, red.) dan Zus Darmini, senantiasa berada di barisan depan. Juga dalam aksi-aksi konkret massa yang diorganisir oleh berbagai organisasi progresif lainnya di Belanda dan Eropa,” tulis Ibrahim Isa dalam blognya.

Darmini yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman, serta Harsono yang memiliki pengalaman dalam penerbitan juga aktif menyebarkan informasi mengenai situasi di Indonesia agar kawan-kawan sesama orang Indonesia yang tinggal di Belanda dan berbagai negara Eropa, tetap dapat mengetahui kondisi di tanah air.

Soedirdjo Harsono dan Darmini Diran. (Istimewa).

Seperti Darmini, Harsono juga tak asing dengan pergerakan dan perjuangan rakyat Indonesia. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, ia turut ambil bagian dalam upaya pembebasan Irian Barat. Selain itu, di masa pemerintahan Presiden Sukarno, Harsono juga ikut berperan dalam merintis hubungan diplomatik antara Indonesia dan Kuba.

Ketua National Democratic Front of the Philippine (NDFP), Julieta De Lima dan kawan-kawannya di organisasi tersebut, mengenang bahwa Darmini dan Harsono menyumbangkan tenaga, waktu, dan sumber daya untuk mendukung berbagai kegiatan yang mengedepankan isu-isu penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat Filipina serta tuntutan mereka untuk pembebasan nasional dan sosial melawan kapitalisme monopoli asing, feodalisme, dan kapitalisme birokrat. Oleh karena itu, keduanya kerap ikut dalam sejumlah aksi yang diselenggarakan di depan Kedutaan Besar Filipina maupun di beberapa tempat lainnya.

Baca juga: Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta

“Dalam demonstrasi di Amsterdam atau Den Haag, Darmini dan Harsono selalu hadir, baik dalam keadaan hujan maupun panas. Mereka membawa roti lapis dan kopi dalam termos untuk menghemat biaya. Pasangan suami istri itu tanpa pamrih menyumbangkan sebagian dari uang kesejahteraan sosial mereka yang jumlahnya tak banyak untuk membantu operasional bulanan Kantor Informasi NDFP, dan dengan murah hati menyumbangkan sedikit uang yang mereka miliki setiap kali ada seruan untuk menyumbang bagi perjuangan, kampanye dan proyek-proyek hak asasi manusia,” demikian dikutip dari artikel NDFP yang berisi penghormatan untuk Darmini.

Pada suatu demonstrasi protes terhadap Presiden Filipina Fidel Ramos, yang kala itu tengah berkunjung ke Belanda, Harsono mengenakan “barong tagalog” (pakaian khas Filipina yang populer untuk pria), dan membuat dirinya terlihat seperti Ramos. Ia bahkan turut mengisap cerutu seperti Ramos, sementara Darmini bergabung dengan warga Filipina lainnya untuk menggambarkan konfrontasi antara rakyat dan Ramos. Aksi protes ini sukses menarik perhatian publik Belanda karena sejumlah koran besar memberitakannya. Kehadiran pasangan suami istri ini juga mencuri atensi karena, meski usia keduanya sudah lanjut, kehadiran dan solidaritas mereka menjadi inspirasi bagi para aktivis muda.

Baca juga: RM Djajeng Pratomo, Pejuang yang Terlupakan

Semangat tak kenal lelah Darmini dan Harsono dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan di berbagai negara, khususnya Filipina membuat keduanya diberi penghargaan oleh NDFP pada 2008. Setahun berselang, Harsono tutup usia. Pemakamannya pada 27 Agustus 2009 dihadiri ratusan kawan dari Indonesia, Belanda, Filipina, Jerman, dan sejumlah negara lainnya.

Empat belas tahun kemudian, Darmini menyusul Harsono. Dalam artikel NDFP disebutkan bahwa wanita pejuang kemanusiaan ini meninggal dunia pada 19 Desember 2023 di Amsterdam, Belanda. Kawan-kawan dan 50-an hadirin mengantarnya menuju keabadian.

Meski telah tiada, semangat Darmini dan Harsono akan menjadi teladan dan insipirasi dalam perjuangan untuk kebebasan, demokrasi, keadilan sosial, dan perdamaian.*

TAG

obituari perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Memori Manis Johan Neeskens Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Bikini dari Paris Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade