Francisca C. Fanggidaej, nenek dari aktor kenamaan Reza Rahadian ini jarang disebut dalam narasi sejarah resmi. Ia telah menentang kolonialisme sejak muda dan turut berjuang pasca kemerdekaan. Jejaknya hilang pasca 1965 karena dekat dengan Sukarno dan stigma komunis yang melekat padanya.
Perempuan asal Timor ini lahir dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej. Ayahnya bekerja sebagai kepala pengawas Burgerlijke Openbare Warken (BOW), sekarang Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Hal inilah yang membuat status keluarganya dianggap sama secara hukum dengan orang Belanda.
Namun, status yang didapat keluargannya itu tidak membuat Francisca hidup dalam buaian keistimewaan. Sejak kecil, ia justru sering kali mempertanyakan ketimpangan antara keluarganya dan orang-orang sebangsanya. Muncul kesadaraan akan ketidakadilan yang dialami orang-orang yang warna kulitnya sama dengan dirinya.
Anak Belanda Hitam
Francisca lahir pada 16 Agustus 1925 di Noel Mina, Pulau Timor. Sebagai anak “Belanda Hitam”, julukan bagi orang pribumi yang statusnya disamakan dengan orang Belanda, ia dibesarkan dalam budaya Indo. Ia bisa bersekolah di sekolah anak-anak kulit putih dan sehari-hari berbahasa Belanda.
Kehidupan keluarganya juga bak raja kecil. Yang kemudian justru membuat Francisca merasa heran, mengapa orang-orang yang warna kulitnya sama dengannya harus menunduk, berjalan jongkok, dan hormat kepada orang tuanya. Pemandangan itu mengganggu pikirannya.
“Saat itulah dalam diriku tumbuh benih kesadaran tentang adanya perbedaan status sosial antarmanusia, walaupun mereka itu mempunyai kesamaan warna kulit. Ada rasa heran di hati,” kata Francisca dalam Memoar Perempuan Revolusioner.
Baca juga: Pengakuan Dewa Soeradjana, Eksil Indonesia di Slovenia
Kegelisahan itu memuncak ketika Francisca mendapati sebenarnya rasisme juga bisa dialami keluarganya. Meski memiliki status yang sama di depan hukum, ia pernah mendapati ayahnya direndahkan oleh orang Belanda hanya karena memiliki kulit berwarna.
Kesadaran antikolonialisme terus terasah ketika Francisca sering berdiskusi dengan pemuda-pemuda Maluku pada masa pendudukan Jepang di Surabaya. Semangat itu mengantarkannya pada perjuangan kemerdekaan ketika revolusi pecah pada 1945.
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Francisca aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya. Ia juga ikut dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta pada November 1945. Ketika kongres berjalan, Pertempuran Surabaya pecah. Francisca dan pemuda-pemuda dari Surabaya pun meninggalkan kongres untuk berangkat ke medan pertempuran.
Kongres Pemuda Indonesia I melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Di Pesindo pula Francisca berkiprah. Di Mojokerto, Francisca dan muda-mudi lain membentuk Bagian Keputrian Pesindo.
Baca juga: Kisah Hidup Ibrahim Isa
Setelah pindah ke Madiun, Francisca aktif di Radio Gelora Pemoeda Indonesia di bawah Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Ia bertugas siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda bersama Yetty Zain. Sedangkan rekannya, Maroeto Darusman mengurusi siaran berbahasa Indonesia.
Karena siaran-siarannya, Radio Gelora Pemoeda Indonesia dicap pemberontak dan ekstremis oleh pihak Belanda.
“Kalaupun kata ‘memberontak’ kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar desa masuk desa membunuhi rakyat,” kata Francisca.
Dari Kalkuta ke Belanda
Peran Francisca tak berhenti di bilik siaran radio. Pada awal 1946, ia ditugasi BKPRI untuk melakukan “Safari Revolusi Pemuda” ke berbagai negara. Dari India hingga ke Cekoslowakia, ia bergerilya berbekal brosur, foto hingga poster-poster untuk mengabarkan perjuangan Indonesia.
Francisca juga mewakili Indonesia menghadiri Konferensi Kalkuta di India pada 1948. Nama Francisca diabadikan dalam konferensi ini. Sedangkan di tanah air, narasi sejarah tak pernah menyebutkan peran pentingnya.
“Namanya tidak pernah ditulis dan disebut dalam teks sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi nama itu ditulis dalam buku peringatan Konferensi Kalkuta yang bersejarah itu, sebagai tokoh perempuan dari Indonesia yang berpidato untuk memberitahukan kepada dunia internasional tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia,” tulis Ita F. Nadia dalam pengantar Memoar Perempuan Revolusioner.
Baca juga: Martin Aleida dan Penjara Tak Bertepi
Konferensi Kalkuta merupakan embrio Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Dalam konferensi ini pemuda-pemudi dari negara-negara terjajah berhimpun dan menyuarakan kemerdekaan.
Pada 1950, Pesindo berubah menjadi Pemuda Rakyat. Francisca dipilih menjadi salah satu pemimpinnya. Tetapi, ia mengundurkan diri karena merasa tak lagi muda. Ia lalu aktif di kewartawanan dan bekerja paruh waktu untuk kantor berita Antara. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi.
Francisca terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1957. Ia menjadi wakil wartawan dalam Golongan Karya di DPR-GR.
Presiden Sukarno mengangkatnya menjadi penasihat presiden pada 1964. Ia kerap kali mendampingi Sukarno dalam perjalanan ke luar negeri. Dari bertemu Fidel Castro hingga Konferensi Asia Afrika II di Aljazair yang gagal dilaksanakan karena kudeta.
Baca juga: Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi
Ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus, Francisca tengah berada di Chile mewakili Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional. Kedekatannya dengan Sukarno dan Pemuda Rakyat membuatnya tak bisa pulang ke Indonesia. Peristiwa kelam itu juga menghapusnya dari buku-buku sejarah yang dibuat Orde Baru.
Francisca terpaksa menyembunyikan identitasnya dan tinggal di Tiongkok selama 20 tahun. Ia tak mengirim sepucuk surat pun pada keluarganya di Indonesia agar keluarganya tak ikut diburu aparat Orde Baru. Ia pindah ke Belanda pada 1985.
Setelah 38 tahun menjadi eksil di Tiongkok dan Belanda, Francisca baru bisa menginjakkan kaki lagi di tanah air pada 2003. Francisca meninggal pada 2013 di Zeist, Belanda, dalam usia 88 tahun.