Masuk Daftar
My Getplus

Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi

Sejarawan Asvi Warman Adam bercerita tentang Ribka Tjiptaning, Okky Asokawati, dan Reza Rahadian terkait stigma PKI.

Oleh: Andri Setiawan | 08 Jul 2020
Francisca C. Fanggidaej, nenek Reza Rahadian, yang menjadi eksil di Tiongkok dan Belanda pasca 1965. (iisg.nl).

Pasca 1965, nasib buruk tidak hanya menimpa orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Anak dan cucu dari mereka yang bersinggungan dengan PKI atau organisasinya juga kena getahnya. Stigma pemberontak atau pengkhianat negara terus dilekatkan pada mereka yang bahkan ketika peristiwa kelam itu terjadi, masih berusia seumur jagung.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Asvi Warman Adam dalam dialog sejarah “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” live di saluran Facebook dan Youtube Historia, Selasa 7 Juli 2020, menyebut bahwa stigma ini harus dihentikan karena “dosa” orang tua tidak seharusnya ditanggung oleh anak cucunya.

“Jadi, ini yang seyogianya dipahami oleh masyarakat, kita tidak menganut dosa turunan. Jadi, kalau orang tuanya PKI atau anggota ormas kiri, anaknya tidak otomatis akan menganut ajaran komunis,” kata Asvi.

Advertising
Advertising

Baca juga: Proyek Rutin Hantu PKI

Stigma itu pun juga tak berdasar mengingat Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dilarang sejak 1966. Lebih-lebih, mereka yang dituduh demikian juga belum tentu bersalah, mengingat banyak orang ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan pasca 1965.

Menurut Asvi, stigma terhadap anak PKI harus dihilangkan karena merugikan demokrasi. Ia mencontohkan, yang sering didengung-dengungkan bahwa ada anggota PKI yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Jelas tidak ada. Sejak masa Orde Baru sudah ada yang disebut dengan surat bebas G30S/PKI. Mereka sudah di-screening, diseleksi, dan dinyatakan bahwa mereka tidak terlibat,” kata Asvi.

Yang dimaksud Asvi adalah Ribka Tjiptaning, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sering dilabeli sebagai anggota PKI. Pasalnya, ia menulis buku yang menghebohkan berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI. Buku itu kemudian digunakan banyak pihak untuk menyerang Ribka.

Baca juga: Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam

Padahal, kata Asvi, buku itu berisi kisah penderitaan seorang anak yang orang tuanya ditangkap dan dipenjara karena dituduh terlibat peristiwa 1965. Sementara Ribka sendiri selain memang tidak telibat, telah menjalani screening dan memiliki Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI.

“Dia sudah di-screening oleh kepolisian di Jakarta Timur dan dikeluarkan surat bebas G30S/PKI, bahwa dia bukan PKI. Dan proses untuk menjadi anggota partai itu bertahap, bertingkat, tentunya kalau ada anggota PKI tidak akan mungkin lolos. Semua partai yang ada di Indonesia akan bersikap demikian,” ujar Asvi.

Menurut Asvi, alih-alih hanya menebarkan isu, mereka yang menuduh harusnya membuktikan atau melaporkan ke pihak berwajib jika memang ada anggota PKI di DPR.

Berbeda dengan Ribka, Okky Asokawati anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2014–2019 tidak mendapat stigma berlebih seperti yang terima Ribka. Padahal, ayahnya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anwas Tanuamidjaja adalah wakil komandan G30S. Anwas hanya satu tingkat di bawah Komandan G30S Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Namun, apapun kaitannya, Okky juga tidak seharusnya menerima stigma anak pemberontak.

“Jadi Okky sendiri kan tidak memilih bahwa ayahnya adalah wakil komandan G30S. Tapi faktanya atau takdirnya demikian dan Okky jelas bukan komunis. Dan dia seorang muslimah,” katanya.

Baca juga: Survei SMRC: Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit

Okky tetap bisa menjadi anggota DPR dan bahkan berangkat dari partai Islam, sekarang pindah ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Okky menuliskan kisah masa lalunya dalam buku Jangan Menoleh ke Belakang. Tetapi, menurut Asvi, buku Okky tidak dipermasalahkan orang karena judulnya tidak menggebrak seperti buku Ribka.

Dari generasi ketiga orang-orang yang distigma PKI, Asvi bercerita tentang aktor kenamaan Indonesia, Reza Rahadian. Nenek Reza, Francisca C. Fanggidaej adalah anggota parlemen Indonesia. Ia juga seorang aktivis dan ikut berjuang di Surabaya pada 1945.

Pada 1 Oktober 1965, Francisca tengah berada di Beijing. Peristiwa yang menyeret pula orang-orang yang dekat dengan Sukarno itu kemudian membuatnya tak bisa pulang. Ia sendiri juga dekat dengan Bung Besar.

“Dan selama 20 tahun itu di Tiongkok dan kemudian minta suaka ke Belanda. Baru di Belanda dia memberi tahu kepada keluarganya di Indonesia bahwa dia masih hidup. Coba bayangkan 20 tahun itu memendam rahasia,” ungkap Asvi.

Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

Francisca kala itu menyembunyikan keberadaannya agar keluarganya di Indonesia tidak terkena imbas peristiwa itu. Stigma yang diterima Francisca tidak ingin ia wariskan kepada anak cucunya.

“Banyak orang seharusnya tidak disalahkan karena orang tua atau karena neneknya itu pernah tersangkut atau berhubungan dengan Gerakan 30 September '65,” kata Asvi.

Asvi kembali menegaskan bahwa jika ada yang menuduh anggota PKI duduk di DPR misalnya, lebih baik melapor ke pihak berwajib. Karena jelas, tuduhan itu tidak berdasar. “Jadi, menurut saya, bahaya laten PKI itu hanya halusinasi,” ujarnya.

TAG

g30s pki

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Melawan Sumber Bermasalah Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Ketika Nama PKI Diprotes Mohamad Gaos Sangat Keras