21 Oktober 1966. Malam itu, Nurlan Daulay dengan bangga menenteng 50 tusuk satai yang dibeli dari upah pertama sebagai tukang batu. Ia berjalan dua kilometer menuju sebuah rumah persembunyian di Jalan Mangga Besar 101. Di rumah itu, Putu Oka Sukanta, Arifin, Mujio, Zaini, dan T. Iskandar A.S., bernaung dari pengejaran Operasi Kalong.
Sepiring satai beralas daun pisang yang tandas malam itu tampaknya menjadi perjamuan terakhir mereka. Ketika mereka telah berbaring di sudut tidur masing-masing, Burhan Kumala Sakti, seorang tukang tunjuk militer menodongkan pisau ke leher Nurlan. Di luar, kiranya satu jeep tentara telah menunggu. Malam itu juga mereka digelandang ke kamp konsentrasi.
Kisah penangkapan itu mengawali memoar Martin Aleida, Romantisme Tahun Kekerasan. Sebuah memoar tentang pemuda Tanjung Balai yang merantau ke Jakarta, menjadi wartawan, dan terjebak peristiwa G30S 1965. Tentang orang-orang di sekitarnya, yang bernasib getir dan tentang penjara yang tak bertepi.
Kamp Konsentrasi
Martin Aleida masih berusia 22 tahun ketika diminta redaksi Harian Rakjat untuk bertugas sebagai wartawan istana pada Januari 1965. Kala itu, ia masih bernama Nurlan, pemuda yang baru tiga tahun merantau ke Jakarta dari Tanjung Balai, Sumatra Utara. Sempat masuk Akademi Sastra Multatuli yang membawanya menjadi “anak bawang”, seperti dikatakannya sendiri, di lingkaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Kiranya tujuh bulan lamanya ia meliput orang nomor satu di Indonesia itu. Pengalaman-pegalaman yang boleh dibilang romantis sebagiannya ada pada masa ini. Setelah ia keluar dari Harian Rakjat pada Juli 1965, dua bulan kemudian badai G30S datang, mengantarnya ke dalam tahun-tahun kekerasan.
Baca juga: Martin Aleida, Sang Peliput Istana
Nurlan ditangkap pada 21 Oktober 1966 malam, digelandang bak pesakitan dan mendekam di kamp konsentrasi Operasi Kalong yang terletak di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Di tempat inilah, ia menyaksikan kekejaman militer terhadap orang-orang yang dituduh terlibat G30S.
Ia menyaksikan misalnya, bagaimana Putu Oka Sukanta harus berhadapan dengan cambuk dari ekor pari. Yang ketika terkena punggung, lumat sudah kulit dan darah. Penyiksaan demi penyiksaan menjadi pemandangan sehari-hari dalam kamp.
Sementara itu, para tahanan perempuan dikurung di dalam dapur. Sutarni, istri Njoto, bersama anak-anaknya termasuk yang masih bayi berada dalam penyekapan itu. Juga Sri Sulasmi, kekasih Nurlan, harus mengepel lantai penuh darah di ruang interogasi.
Tapi Nurlan juga bersaksi tentang Uyan, seorang sersan mayor yang kemudian turun menjadi wakil komandan kamp konsentrasi, yang berempati terhadap penyiksaan di dalam kamp. Uyan menjadi satu keajaiban di tengah kejinya kekuasaan bersenjata, yang disebut Nurlan, sebagai perwujudan dari seorang prajurit sejati.
Baca juga: Putu Oka Sukanta Menjadi Manusia Lagi
Kiranya setahun Nurlan mendekam di kamp konsentrasi. Pada hari ia dibebaskan, entah karena surat wasiat orang tuanya yang hendak menunaikan haji atau surat dari kekasihnya di dalam saku celana, Nurlan ternyata tidak mendapati kebebasan yang nyata. Keluar dari kamp, ia merasa masuk ke kamp lain yang lebih besar.
“Berdiri di tepi Jalan Thamrin, saya merasa seperti memasuki sebuah kamp konsentrasi yang lebih besar. Sebuah penjara tak bertepi, dilingkung langit. Karena saya yakin tak seorang kawan pun yang tertinggal di dunia bebas ini. Semua sudah diringkus sampai timpas,” tulisnya.
Dari Nurlan ke Martin
Kebebasan yang diidamkan Nurlan tentu saja bukan seperti yang ia dapati kala itu. Wajib lapor seminggu sekali, terus dimata-matai dan bahkan dicurigai sebagai mata-mata militer. Juga yang lebih berat baginya, ia tak lagi berada di dunia bebas di mana ada kawan secita-cita dan kekasih hati.
Keluar dari kamp, Nurlan menumpang di rumah seorang sesama bekas tahanan bernama Rudewo. Ia bekerja di tambak di pagi hari lalu siangnya berjalan menyusuri rel kereta barangkali takdir mempertemukannya pada seorang kawan.
Pada masa-masa sulit ini, ternyata nasib membawanya kembali kepada Sri Sulasmi, kekasihnya. Ia menikah dengan Sri di Surakarta. Tanpa ramai-ramai acara pernikahan umumnya tentu saja. Bahkan pengantin muda itu, harus tidur di jembatan bambu di atas Ciliwung karena ditolak saudara setiba di Jakarta.
Baca juga: Martin Aleida dan Tanah Air yang Hilang
Sempat menjadi pedagang pakaian di pinggir jalan dan menjaga kios, Nurlan akhirnya kembali ke dunia jurnaslime mengikuti nasihat Mula Naibaho, mantan pemimpin redaksi Harian Rakjat. Awalnya, ia mulai menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke majalah Horison. Kemudian masih dalam bayang-bayang stigma komunis, ia melamar ke Ekspress. Tak lama ia keluar.
14 Januari 1971, ia bergabung dengan majalah Tempo yang baru berdiri. Saat itu namanya sudah menjadi Martin Aleida, yang ia gunakan dalam cerpen-cerpennya. Tempo menjadi tempatnya kembali pada jurnalisme yang sulit ia bayangkan sebelumnya, kembali menulis di tengah kuasa Orde Baru. Ia menjadi wartawan majalah pimpinan Goenawan Mohammad itu selama 13 tahun.
Martin Aleida tidak menulis autobiografi, ia menulis memoar yang berjejalin dengan kisah orang-orang yang bernasib pahit, tapi kadang manis, juga tentang kedai kopi di Tanjung Balai dengan bualan-bualannya. Ia menulis tentang Charles Bidien sang pahlawan kliping hingga Dr. Gunawan dan cerita obat kanker yang diselundupkan dari Meksiko.
Lelaki jangkung berusia 77 tahun itu menutup memoarnya dengan puisi pendek Zawawi Imron yang dibacakan di depan dua perempuan muda di kafetaria Taman Ismail Marzuki. “Perkenalkan, ini Martin Aleida, sahabat Gusdur, Gusdurian. Dia Lekra, komunis, tapi relijius.”