BEOGRAD, Juli 1964. Dewa Soeradjana memimpin delegasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Yugoslavia menuju Moskow. Mereka hendak menghadiri konferensi PPI se-Eropa. Sebelum berangkat mereka singgah ke kedutaan Indonesia meminta pembekalan informasi.
“Anda harus berhati-hati menjejakkan kaki di sayap kanan Moskow. Ini hal yang tidak bisa dihindarkan, tidak lama lagi akan muncul perselisihan antara kubu Merah (PKI) dan Hijau (TNI AD),” kata Letkol Yoga Sugama, atase militer Indonesia untuk Yugoslavia.
Dewa tertegun. Prediksi Yoga Sugama terbukti. Setahun berselang, Indonesia bergolak: peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Rezim Sukarno tumbang, Orde Baru berdiri. Penguasa baru ini menumpas komunis sampai ke akar-akarnya. Tak hanya kaum komunis, siapa saja pendukung Sukarno dibungkam. PPI terkena imbas gejolak politik di negerinya. Dikenal sebagai penjunjung Sukarno, mereka enggan kembali ke tanah air.
“Antusiasme saya hanya pada Bung Karno. Saya tidak pernah jadi anggota partai. Kecuali PPI, kelompok mahasiswa yang pro Bung Karno,” kata Dewa Soeradjana dalam diskusi novel sejarah berdasarkan kisahnya, Missing History karya Peer Holm Jorgensen di Mizan Publica, Jakarta Selatan, 17 November 2015.
Pada 1961, Dewa Soeradjana menerima beasiswa perguruan tinggi ke Eropa Timur. Saat itu, Presiden Sukarno gencar mengirim mahasiswa Indonesia ke negara-negara sosialis. Dewa diterima di jurusan kimia Universitas Ljubilana, Slovenia. Di sana dia menjadi aktivis PPI.
Dewa menerangkan PPI suatu perkumpulan sukarela, tapi wajib. Tiap mahasiswa Indonesia yang tiba di luar negeri, praktis tergabung dalam anggota PPI. “Kita sebagai PPI menjadi ‘Garda Sukarno’. Mendukung politik yang dijalankan oleh Bung Karno, termasuk Nasakom.” ujar Dewa.
Pria kelahiran Bali, 77 tahun silam itu menuturkan banyak kisah. Saat Dewa mewakili PPI dalam Konferensi Non Blok di Beograd, dia berjumpa dengan tokoh-tokoh Indonesia: Soebandrio, Roeslan Abdulgani, dan Chaerul Saleh. Namun, Presiden Sukarno yang menjadi pusat perhatiannya. Dewa menyaksikan keakraban yang begitu hangat antara Sukarno dengan Josip Broz Tito, Perdana Menteri Yugoslavia.
“Orang-orang di Eropa Timur bisa jadi tidak tahu dimana itu Indonesia tapi tahu siapa Sukarno,” tutur Dewa sambil berkelakar.
Ketika menyelesaikan studinya pada Oktober 1965, Dewa urung pulang ke Indonesia. Dia mendapat kabar, adiknya menjadi incaran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), front aksi mahasiswa yang anti-Sukarno.
“Kami yang telah selesai kuliah dipaksa pulang. Jika pulang kami akan diamankan oleh (aparat) Soeharto. Jika tidak pulang, paspor kami dicabut,” kata Dewa.
Selama dua tahun, Dewa dan rekannya terkatung-katung. Beasiswa dari Indonesia telah dicabut. Mereka menghidupi diri sebagai orang pelarian (eksil) di negara asing. Karena berpendidikan, mereka tak kesulitan mendapat pekerjaan.
Pada 1967, tercapai kompromi. Para eksil dibiarkan hidup di luar negeri, dengan menanggung biaya hidup sendiri. Atas kompromi itu, pemerintah Indonesia menuntut para eksil agar tidak berpolitik dan tidak menentang pemerintahan Soeharto, serta wajib mempromosikan nama baik Indonesia.
Meski dibiarkan hidup, para eksil tetap tidak tenang. Gerak-geriknya diawasi agar tak bersentuhan dengan politik. Setiap tahun mereka harus melaporkan diri ke kantor kedutaan guna memperpanjang izin tinggal. Di kantor kedutaan, mereka diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Dicecar pertanyaan oleh Minister Conselor dan sering kali diinterogasi oleh atase militer.
Menurut Dewa, dia salah satu eksil yang beruntung. Pada 1971, saat hendak melapor ke kedutaan, dia bertemu dengan Letjen Soepardjo Rustam yang menjabat duta besar Yugoslavia. Baginya, Roestam adalah sosok yang simpatik dan pelindung.
Perkenalannya dengan Roestam membawa Dewa ke Konferensi Wina tahun 1972. Sebuah konferensi yang dipimpin oleh Jenderal Sumitro, Wakil Pangkopkamtib, orang kedua setelah Soeharto. Konferensi itu merupakan koreksi yang dilakukan Sumitro atas kepemimpinan Soeharto yang dianggap telah melenceng. Sebuah langkah oposisi menurut Dewa, tapi dia tak yakin itu akan mengarah ke upaya kudeta. Dalam konferensi itu hadir pula Ide Anak Agung Gde Agung, duta besar Indonesia untuk Austria.
Dari koneksi itulah, Dewa mendapatkan screening letter. Dengan itu, dia mendapat proteksi selama menjadi eksil dan sempat pulang ke Indonesia pada 1978.
Mengaitkan apa yang dialaminya dengan rekonsiliasi, Dewa mendukungnya tapi tak pula berharap banyak. Yang terpenting baginya adalah saling memaafkan dan menanamkan kesadaran bagi semua pihak agar peristiwa yang dialaminya tak terjadi lagi di kemudian hari.
[pages]