Masuk Daftar
My Getplus

Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja

Yayu Unru tak pernah meninggalkan seni pantomim yang telah membesarkan namanya.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Des 2023
Andi Wahyuddin 'Yayu' Unru, aktor watak yang wafat di usia 61 tahun (Randy Wirayudha/Historia)

MENGENAKAN jaket biru tua dan topi warna senada, Yayu Unru mengangkat tangan tinggi-tinggi saat kami, penulis dan juru foto Historia, menyusuri jalan setapak di dalam kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia sudah menanti dengan sabar di anak tangga di muka Teater Luwes.

Kebetulan juru foto Historia kala itu, Fernando Randy, satu dari sekian mantan mahasiswa Yayu di IKJ. Tak ayal tegur sapa kami begitu hangat. Segera ia menawarkan kopi yang ia pesan sendiri via aplikasi online sebagai penawar lelah dan udara dingin pasca-hujan di petang itu, 10 Desember 2022.

Seiring obrolan pembuka secara off the record sebelum kami menyiapkan alat rekam, Yayu meluangkan waktu untuk bicara soal seni pantomim yang digelutinya di kampus IKJ pada awal 1980-an. Padahal sehari sebelumnya ia baru kembali ke tanah air setelah mengerjakan sebuah proyek syuting di luar negeri. Namun antusiasmenya mengalahkan rasa lelahnya, mengingat ia besar dari seni pantomim yang belakangan mungkin asing bagi sebagian besar generasi muda sekarang.

Advertising
Advertising

Segenap hidupnya tak pernah lepas dari dunia teater, utamanya pantomim, mengajar di IKJ, dan perfilman.

“Tapi percaya, enggak? Alhamdulillah ada aja (rezekinya). Termasuk yang proyek terakhir (di luar negeri) ini,” celetuk Yayu.

Baca juga: Mementaskan Pantomim di Hadapan Jenderal hingga Pemabuk

Yayu berangkat dari seni pantomim di kelompok Sena Didi Mime (SDM) asuhan dosen IKJ cum seniornya di dunia perfilman yang merupakan aktor watak legendaris: Sena A. Utoyo dan Didi Widiatmoko alias Didi Petet. Meski kemudian Yayu mulai dikenal di layar kaca dan layar lebar, ia berusaha tetap setia mengasuh SDM sepeninggal Sena pada 1998 dan Didi pada 2015.

“Mas Sena itu guru saya yang…ya buat saya pribadi, dia orang baik. Buat saya dia itu surga. Walau sekarang lagi ada kendala enggak boleh lagi pakai nama Sena Didi Mime karena ada komplain dari pihak keluarga, ya tapi kita maklumi saja. Pakai nama yang lain: Regu Kerja Didi Petet. Kan (Didi Petet) guru saya juga,” imbuhnya.

Sabtu bersama Yayu itu jadi salah satu yang paling mengesankan bagi kami. Maka itu saya kaget bukan main ketika setahun berselang dari pertemuan itu, Jumat (8/12/2023), rekan Fernando memberi kabar duka via pesan singkat seraya membagikan foto nisan dan makam Yayu yang masih basah.

Yayu Unru (kedua dari kanan) memerankan Uda Parmanto di film Tabula Rasa (Tangkapan Layar Netflix)

Seperti ada firasat, malam sebelum kabar duka itu hadir, entah kenapa ada dorongan untuk menyaksikan film drama Tabula Rasa (2014) di salah satu platform streaming, untuk kesekian kalinya. Di film itu Yayu berperan sebagai Uda Parmanto, salah satu pemeran pendukung utamanya. Dengan ciamik Yayu yang asal Sulawesi Selatan ciamik memainkan perannya sebagai seorang Minang dengan dialek sebaik penutur bahasa Minang asli.  

“Itu kita (para pemain) sempat ada workshop juga agar bisa berperilaku dan bertutur seperti orang Minang,” kata Yatu.

Yayu wafat di usia 61 tahun pada 8 Desember kemarin setelah terkena serangan jantung. Ia dikebumikan di TPU Kampung Kandang, Jagakarsa, Jakarta Selatan di hari yang sama.

Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera

Setia dengan Pantomim

Lahir di Makassar, 4 Juni 1962, Andi Wahyudin ‘Yayu’ Unru mulai dikenal di dunia perfilman sejak 1985 ketika ia turut membintangi film Demam Tari garapan sutradara Nawi Ismail. Di layar kaca, debut Yayu tercatat di serial televisi Kepak Sayap Merpati Muda pada 1994.

Hingga akhir hayatnya, Yayu malang-melintang di 50 film. Padahal ia tak lahir dari keluarga film atau seni apapun.

Pengakuan akan talentanya di layar lebar setidaknya dibuktikan dengan beragam penghargaan. Selain raihan dua Piala Citra di Festival Film Indonesia sebagai pemeran pendukung pria terbaik di film Tabula Rasa (2014) dan Posesif (2017), ia meraih penghargaan aktor pendukung pilihan di Festival Film Tempo untuk film Menunggu Pagi (2018).

Kiprahnya di belakang layar juga tak kalah banyak. Setidaknya ada 22 film di mana Yayu terlibat, baik sebagai asisten pelatih akting, pelatih akting, pengarah gaya, maupun konsultan dialek. Di antaranya di film Di Balik 98 (2015), Athirah (2016), Sobat Ambyar (2019), dan Mencuri Raden Saleh (2022).

Baca juga: Didi Kempot, Makin Tua Makin Ambyar

Adapun di serial televisi maupun web series, sudah 10 judul ia bintangi. Salah satunya serial produksi HBO yang sempat meledak di pasaran, The Last of Us (2023). Dalam serial itu Yayu tampil bersama sesama aktris legendaris Indonesia Christine Hakim di episode 2, “Infected”.

Memang Yayu terbilang jarang tampil sebagai pemeran utama. Namun penampilannya nyaris selalu meninggalkan kesan berarti bagi penontonnya meski ia lebih sering berstatus pemeran pendukung utama pria.

Tokoh Letjen Agus Hidayat (kiri) yang diperankan Yayu Unru dalam serial The Last of Us (HBO)

Bagi Yayu, peran apapun tak pernah ia anggap enteng. Apalagi ia berangkat dari dunia teater, utamanya seni pantomim, yang membuatnya bisa mensejajarkan diri dengan seniornya, Didi Petet. Semua berkat keseriusan sedari menggeluti pantomim, sebagaimana nasihat yang pernah ia dapatkan dari Didi Petet.

“Satu waktu saya diajak Mas Didi naik mobil VW-nya ke bioskop Megaria (kini bioskop Metropole). Saya bilang, ‘eh filmnya Mas Didi main (tayang, red.).’ Dia bilang, ‘Yu, kamu terus main pantomim ya. Itu memudahkan saya mainin (film) itu. Memudahkan saya menghayati perannya,’” terang Yayu kepada Historia.

Baca juga: Tiga Maestro Pantomim Bertandang ke Indonesia

Yayu mengenal pantomim lebih dalam setelah kuliah di IKJ. Selain lewat mata kuliah, ia kian menggelutinya semenjak bergabung ke kelompok SDM di bawah asuhan Sena A. Utoyo dan Didi Petet pada 1982.

“Senior saya, Mas Sena dan Mas Didi waktu itu aktif betul (di pantomim). Nah saya ‘ngikut’. Kebetulan saya kan pemalu. Jadi saya selalu memilih banyak gerak dibanding ngomong (dialog). Ngomong itu sulit. Pelajaran saya yang menonjol itu pelajaran-pelajaran olah tubuh karena enggak pakai suara, cuma bergerak. Nah, Mas Sena melihat saya bawaannya punya potensi di bidang gerak,” tambahnya.

Sena pula yang merekomendasikan Yayu untuk lebih menggali seni olah tubuh dengan diasuh seniman Sardono Waluyo Kusumo. Sejak 1960-an, Sardono aktif menggali seni tari dan olah tubuh di mancegara. Dia sempat diakui sebagai seniman yang membawa seni pantomim ke Indonesia.

Mozaik Didi Petet (kiri) & Sena A. Utoyo di Teater Luwes IKJ (Randy Wirayudha/Historia)

Dalam buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3 mencatat, Sardono usai mengikuti pameran itu masih menyempatkan diri belajar lagi di Jean Erdman Theatre of Dance di New York selama dua tahun. Maka ketika pulang ke tanah air pada 1966, Sardono tak hanya membawa pulang inspirasi baru akan tari-tari modern tapi juga pantomim atau mime. Sardono menampilkan beberapa sketsa berkolaborasi dengan Bengkel Teater yang juga baru didirikan Willibrordus Surendra Broto Rendra alias WS Rendra pada 1968.

“Pada tahun tujuh puluhan, Sardono W. Kusumo, seorang penari klasik Jawa dan koreografer menampilkan sketsa-sketsa masyarakat berbentuk mime yang tidak menampakkan lagi bentuk tariannya, kecuali gerak-lakuan (acting) berbentuk stilisasi, bukan tari. Di sini penampilannya diisi oleh berbagai gerak dengan penuh emosi, konsentrasi dan motivasi,” tulis aktor cum dosen IKJ, Pramana Padmodarmaya di kolom Kompas, 29 Maret 1987.

Yayu pun diasuh Sardono di Solo selama beberapa bulan untuk belajar kedisiplinan olah tubuh dan mental. Program yang diberikan pun tak main-main: latihan gerak slow motion selama tiga hari tiga malam penuh, latihan gerak tubuh di sungai, dsb.

“Sesudah lama latihan baru saya tahu ternyata programnya itu untuk pementasan Mas Sardono di Swiss tahun 1988. Ternyata latihan seberat itu ada manfaatnya. Padahal awalnya saya penasaran ini latihan apa sih? Saya juga dipesankan Mas Sena agar tidak tanya macam-macam, hanya boleh ikut (perintah). Ending-nya ya itu, ada uang (saku) buat paspor ke Swiss (untuk) mentas,” kenang Yayu.

Baca juga: Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda

Setelahnya, Yayu ibarat kupu-kupu yang sudah keluar dari kepompongnya. Ia jadi langganan untuk diajak pentas bersama SDM dalam setiap undangan festival pantomim ke luar negeri, seperti ke Kanada, Hong Kong, atau Korea Selatan.

Namun, kehidupan ekonomi seniman bukanlah “ilmu pasti”. Ada kalanya sakunya menggembung, tapi kerap pula harus “ngamen” demi bertahan hidup.

“Kadang Mas Sen dan Mas Didi, atau saya tampil tunggal atau tampil berdua di klub malam, menghibur orang mabuk. Jadi betul-betul satir. Kita make up di WC kadang ada orang kencing sembari bilang: awas kalau enggak lucu. Jadi betul-betul satir. Kadang juga masih main (pantomim) di jalanan, di Pasar Baru, di hotel. Dari situ kita bisa makan waktu kuliah,” lanjutnya.

Apapun dan di manapun perjuangan getir di jalan seni Yayu lakukan asal halal. Betapapun seni pantomim mulai meredup di akhir 1990-an dan tawaran film sedang lesu.

“Pasti enggak bisa hidup hanya dari pantomim tapi dulu kita nekat aja karena bisa ‘berdarah-darah’. Kita (di SDM) pemainnya mahasiswa konsumsinya bubur kacang hijau (dan) es teh manis sudah bikin bahagia. Cuma memang zaman kemudian sekarang enggak mungkin bisa bertahan, minimal harus ada kerjaan lain, sama kayak saya,” tutur Yayu.

Baca juga: Kritik Lewat Aneka Gerak Estetik

Dengan modal keyakinan itu pula Yayu berani melangkah dalam kehidupan pribadinya. Ia memutuskan menikah mesti ia tahu itu merupakan hal tak mudah, minimal dari segi ekonomi.

“Ketika saya mau menikah (dengan Nita Unru tahun 1998) kan juga, saya ini seniman ada kalanya nanti enggak ada yang bisa dihitung karena enggak ada uangnya. Tapi saya untuk hidup, untuk menyekolahkan anak enggak harus jadi malinglah,” imbuhnya.

Namun berkat kegigihan dan kesetiannya pada pantomim membuat Yayu lambat laun langganan mendapat tawaran film. Nasihat Didi Petet terwujud berkat kerja kerasnya di dunia seni pantomim membuatnya bisa lebih menghayati peran-perannya yang meninggalkan kesan pada penontonnya.

“Ada satu pemahaman bahwa aktor yang baik adalah aktor yang mampu menarik realitas penonton masuk ke dalam realitas permainannya. Mas Didi juga selalu bilang begini: aktor itu bekerja dengan rasa karena yang dijual dari pementasan atau film itu adalah rasa. Rasa inilah yang kita tawarkan dan kita libatkan ke penonton,” tandas Yayu yang kini menyusul para mentornya itu ke alam keabadian.

Selamat jalan, Yayu Unru.

TAG

aktor seni pertunjukan obituari

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Empat Selebriti Hollywood yang Berseragam Pasukan Israel Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Lima Selebritis yang Terjun ke Perang Dunia Tiga Wajah Willy Wonka Tiga Maestro Pantomim Bertandang ke Indonesia Mementaskan Pantomim di Hadapan Jenderal hingga Pemabuk