JENIS tarian Sunda bukan hanya tari topeng, tari wayang, tari rampak gendang, jaipong, apalagi tari ronggeng. Seni tari Jawa Barat bahkan sudah mengalami modernisasi kala republik belum lama berdiri. Raden Rusdi Somantri alias Tjejte dan Tubagus Oemay Martakusuma adalah dwitunggal yang jadi pionirnya.
Tjetje berasal dari Purwakarta. Pria kelahiran tahun 1892 itu sudah mendalami seni tari Jawa Barat sejak mengenyam Pendidikan di Middelbare Opleiding School voor Indlansche Ambtenaren (MOSVIA) Bandung pada 1911. Sedangkan Oemay berasal dari Rangkasbitung. Ia pegawai Djawatan Kebudayaan Jawa Barat merangkap praktisi seni rupa setempat.
Keduanya bersua pada 1935 di Badan Kesenian Indonesia (BKI) dan sejak saat itu keduanya senantiasa satu pemikiran dalam mengkreasikan tarian-tarian baru, terutama untuk kalangan putri. Di antaranya tari Anjasmara, tari Sekarputri, tari Sulintang, tari Ratu Graeni, tari Kandagan, tari Topeng Koncaran, dan tari Yuyu Kangkang di masa pra-kemerdekaan.
“Cikal-bakalnya memang dari Pak Oemay. Beliau guru dari Banten sejak tahun 1925, sudah bercita-cita ingin membuat suatu pertunjukan untuk putri. Karena di sana kan putri-putrinya tidak bisa tampil, paling hanya pada akhir masa sekolah saja. Beliau pindah ke Bandung, ketemu Pak Tjetje dan beberapa tokoh tari,” kata seniman tari dan koreografer Irawati Durban dalam diskusi daring Yayasan Pusat Bina Tari bertajuk “Tjetje & Oemay Kreator Tari Putri Sunda 1942-1963” via Zoom, Kamis (30/9/2021) sore.
Baca juga: Tarian yang Mempesona
Ira pernah jadi murid mereka pada 1950-an. Dalam ingatannya, Tjetje dan Oemay pelopor yang mendorong kalangan putri untuk jadi penari profesional. Di era 1950-an, seni tari bagi mayoritas orang di Jawa Barat hanya sekadar hobi. Berbeda dengan zaman sekarang yang mana semua hobi atau seni-budaya didorong menjadi profesi yang profesional. Kala itu bila ada penari bayaran, konotasinya masih negatif. Seperti penari ronggeng, misalnya, yang mempertunjukkan sensualitas.
Persepsi seperti itu didapat Ira dari ibunya. Ira sendiri mulai mendalami seni tari saat duduk di bangku SMP Santa Angela sekitar tahun 1956 di bawah asuhan Tjetje. Bersama para penari besutan Tjetje di BKI Ira sering diikutkan dalam pertunjukan tari-tarian kreasi Tjetje dan Oemay di Gedung Concordia (kini Gedung Merdeka) hingga ke Gedung Pakuan.
“Amplop dari Pak Oemay itu saya serahkan ke ibu saya. Pas dibuka, beliau marah. Saya disangka jadi ronggeng dan tidak boleh menari lagi. Besoknya saya kembalikan amplopnya, tapi Pak Tjetje di sore harinya datang langsung ke rumah saya. Dia menjelaskan bahwa kami pentasnya tidak di tempat sembarangan tapi di tempat-tempat terhormat. Setelah itu saya baru boleh nari lagi,” kenang penulis buku Perkembangan Tari Sunda: Melacak Jejak TB Oemay Martakusuma (1998) dan R. Tjetje Somantri: Tokoh Pembaharu Tari Sunda (2000) tersebut.
Baca juga: Tari Kecak Mencoba Terus Menari Kala Pandemi
Dalam rombongan BKI, Ira tampil tak hanya di Bandung. Mereka sampai ke Istana Bogor dan Jakarta tampil di hadapan Presiden Sukarno. Bahkan sejak awal 1960-an Ira turut dalam rombongan misi kebudayaan ke negara-negara sahabat, seperti Jepang, Korea Selatan, Cekoslovakia, Hungaria, Polandia, Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat.
Tjetje dan Oemay dikenal baik oleh Bung Karno sejak di Garut pada 1946, tepatnya pasca-Bandung Lautan Api. Keduanya dipercaya Bung Karno untuk menyiapkan seni pertunjukan saat Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga Ganefo 1963.
Mengutip Muhidin M. Dahlan dalam Ganefo: Olimpiade Kiri di Indonesia, pemerintah Indonesia menggelar Ganefo Art Fest pada 8 November 1963 sebagai hiburan di luar event-event olahraga. Perhelatan itu juga salah satu upaya diplomasi politik lewat budaya lantaran tidak hanya kebudayaan Indonesia tapi juga turut menampilkan kebudayaan dan kesenian Korea, China, hingga Rusia.
Baca juga: Memperingati Maestro Tari Topeng Mimi Rasinah
Tetap saja, bintangnya para seniman tanah air. Rombongan dari Jawa Tengah menampilkan tari Gatotkaca, dari Bali menyuguhkan tari Tenun, dari Sumatera Barat mempertunjukkan tari Sandangpangan, dari Aceh ada tari Seudati Agam, dari Sulawesi Selatan mempertunjukkan tari Pakarena, dari Sumatera Selatan tari Gending Sriwijaya, dan dari Jawa Barat yang dipimpin Tjetje dan Oemay menghadirkan tari Kupu-Kupu.
“Tari Kupu-Kupu dari Jawa Barat pada hakikatnya sebuah hiburan koreografi yang baik. Ke-30 mojang Bandung dalam pakaian aneka warna yang menyolok mengisahkan kehidupan kupu-kupu yang tak kenal susah, yang tahunya terbang dan melayang, hinggap di bunga dalam jambangan dan di taman. Tanpa perlu berpikir serius, tari ini termasuk sedap dan enak dinikmati,” tulis Muhidin.
Tari Kupu-Kupu itu jadi perhatian tersendiri karena berbeda dari tari-tarian tradisional lain. Tari Kupu-Kupu hanyalah satu dari sekian kreasi tari modern yang diciptakan Tjetje dan Oemay.
Keluar Pakem Tradisional
Sepanjang kiprahnya, Tjetje dan Oemay berkreasi dan melakukan pembaharuan dari perpaduan gagasan modernisasi dan pengalamannya selama mempelajari tari-tarian Jawa dan Bali. Pengaruh-pengaruh itu sangat terasa dalam tari-tarian yang diciptakan Tjetje dan Oemay, semisal tari Koncaran, tari Srigati, tari Srenggana, tari Panji Nayadirana, atau tari Patih Ronggana.
“Jadi ada empat pengaruhnya yang saya teliti. Bersumber dari tari Wayang, tari Payung, tari Topeng, dan tari Jawa semisal tari Serimpi dan tari Bedoyo. Terlihat banyak sekali kesamaan-kesamaan gerak yang namanya beda kalau di-Sunda-kan tapi bentuknya sama. Perbedaan lainnya adalah iringan musiknya. Di karya-karya tari Tjetje diiringi gending satu wilet yang lebih cepat iramanya ketimbang gamelan Jawa yang pelan,” sebut Prof. Dr. Endang Caturwati, guru besar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Dari musik itu pula, ditambah perpaduan gerakan-gerakan tari Jawa, Tjetje membuka pintu untuk keluar dari pakem tradisional. Tujuan utamanya agar tak mengingatkan penonton pada jaipong apalagi ronggeng.
“Menarik karena Pak Tjetje justru menghindari ronggeng itu. Tidak mengambil satupun gerakan-gerakan ronggeng. Yang diambil gerakan-gerakan dari ragam tari-tarian Jawa yang mempunyai sifat keputrian dan anggun,” lanjut penulis buku Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat (2003) dan Tari di Tatar Sunda (2007) tersebut.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Faktor lain yang jadi pembeda dari tari Jawa dan keluar dari pakem ronggeng karya-karya Tjetje adalah kostum-kostum unik dan berwarna. Di sinilah Oemay mengambil peran terbesar. Kolaborasinya dengan kreasi koreografi Tjetje membuat modernisasi kreasi tari-tari Sundanya lengkap.
“Pak Oemay ikut campurnya dalam kostum dan komposisi tari. Karena kan kostum itu harus disesuaikan dengan komposisi tari. Jadinya setiap penari yang menghadap arah berbeda kostumnya memperlihatkan warna yang berbeda juga. Bahannya lebih sering pakai beludru, tidak batik atau dominasi bahan kain hitam seperti tari-tarian Jawa,” tambah Endang.
Dengan pola dan warna yang berani, Oemay membawa kreasi-kreasinya keluar dari ketradisionalan sebagaimana kostum-kostum tari Sunda sebelumnya. Pangkal gagasannya adalah semangat modernisasi, sehingga tak terkungkung ketradisian tarian rakyat seperti jaipongan atau ronggeng.
“Menarik membahas Aki (kakek, red) soal teori warna dan pola lantai. Apalagi di zaman itu lampu-lampu (panggung) belum seperti sekarang. Di sini beliau sudah menciptakan sebuah teori warna. Misal tari Kupu-Kupu. Masing-masing penari (kostumnya) beda warna dan ini bukan tanpa sengaja,” timpal Ray Bachtiar, salah satu cucu Tubagus Oemay.
Baca juga: Kala Tarian dan Gamelan Jawa Memesona Eropa
Oemay, lanjut Ray, membuat kostum melalui pola blok-blok warna dengan perhitungan matematis. Hal itu dipikirkan betul karena harus memperhitungkan refleksi dari tata lampu yang belum secanggih sekarang. Selain itu, tetap mempertahankan pengaruh gaya lukisan era Renaissance yang pernah dipelajari Oemay. Bagi Oemay, tarian adalah lukisan bergerak.
“Seperti ketika Aki menyiapkan kostum untuk tari Kupu-Kupu yang ditampilkan di Ganefo. Baju dan sayapnya dibuat beda warna dan (hiasan) sayapnya dilukis sendiri oleh Aki. Lukisannya mengingatkan pada karya (sketsa) Leonardo da Vinci yang ‘Flying Machine’. Itu menyimpulkan betapa kuatnya Renaissance memengaruhi Pak Oemay,” sambung praktisi seni lukis, seni panggung, dan fotografi itu.
Ketika kemudian Oemay sibuk sebagai kepala Djawatan Kebudayaan, soal kostum diserahkannya pada Ira. Meski begitu, warisan keduanya tetap lestari karena visi modernisasi seni tari Sunda sudah mulai ajeg.
“Pada intinya Pak Tjetje dan Pak Oemay tak bisa dipisahkan. Karena selain interupsi (kreasi) tarian Pak Tjetje, Pak Oemay tetap bisa memikirkan bagaimana tarian tersebut bisa menjadi tontonan. Selain busananya juga komposisi tarian itu sendiri. Jadi pada saat itu mereka disebut sebagai tokoh pembaharu ya untuk tari Sunda dan akhirnya menjadi inspirasi teman-teman di Jawa,” tandas Endang.
Baca juga: Sendratari Kristiani