SELEPAS salat Jumat, siswa-siswi sanggar tari topeng Mimi Rasinah sudah bersiap dengan kostum lengkap. Panas yang menyengat tak menyurutkan semangat mereka untuk berjalan kaki dari sanggar di Pekandangan menuju tugu Perjuangan. Jaraknya cukup jauh, hampir 2 kilometer.
“Ayo, sebelum jalan, kita ziarah dahulu,” ujar Aerli Rasinah, setengah mengomando.
Puluhan anak didiknya pun mengikuti menuju makam di samping sanggar. Di situlah pusara Rasinah beserta segenap keluarganya berada. Di dekat nisannya, terdapat jirat bertuliskan Lastra. Itulah ayah Rasinah, seorang dalang topeng.
Darah Seniman
Dinihari, 1 Maret 1942, detasemen balatentara Jepang di bawah pimpinan Kolonel Syoji, mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu. Hari itu juga, tulis Sukardi dalam Pertempuran konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946, Jepang berhasil merebut dan menduduki kota Subang. Kemudian, Batalyon Wakamatsu, dengan serangan gerak cepatnya, dapat merebut Pangkalan Angkatan Udara Kalijati.
Masuknya balatentara Jepang di Indramayu cukup meresahkan. Mereka bersikap kasar. Seorang pangreh praja di Indramayu yang sedang bertugas selaku penjaga keamanan, ditangkap dan ditempeleng. Hal itu pun dirasakan oleh masyarakat biasa.
“Beberapa topeng kakek (Lastra, red.) saat itu diinjak-injak oleh pasukan Jepang hingga hancur,” tutur Aerli, kepada Historia.
Lastra adalah dalang topeng. Dia memiliki tujuh anak yaitu Rasinah, Karniti, Warniti, Rastem, Murita, Cita, dan Darmini. Rasinah adalah putri sulung yang lahir pada 1929 dan sejak usia lima tahun sudah digembleng oleh ayahnya menjadi penari topeng. Pada 1940, dia menikah dengan Tamar, dalang wayang kulit. Mereka dikaruniai dua anak, namun meninggal saat kecil. Perkawinannya hanya berumur empat tahun karena Tamar meninggal.
Pada 1940-an, Rasinah sebenarnya sudah terkenal sebagai penari topeng dari Pekandangan, Indramayu. Pada musim paceklik atau kemarau saja, dia dapat undangan menari hingga lima kali sebulan.
“Lokasi sanggar baru ini, dulunya area sawah, tempat Mimi Rasinah menari saat di masyarakat tidak ada air,” ujar Ade Jayani, suami Aerli.
Setelah Indonesia merdeka, Lastra meninggal di tangan tentara Belanda.
“Waktu agresi Belanda, di sini kisruh. Nah, kakek membawa sebuah topeng di balik baju. Oleh Belanda, dikira dia menyembunyikan senjata. Maka dia ditembak,” ujar Aerli.
Tragedi demi tragedi menjumpai Rasinah.
Setelah kepergian dua orang kesayangannya, Tamar dan Lastra, Rasinah tak patah semangat. Dia menikah lagi dengan Amat, dalang topeng sekaligus penabuh kendang yang piawai. Mereka mendapat dua anak yaitu Wasno dan Waci. Waci, penari topeng, menikah dengan Taryani hingga mendapat empat anak yaitu Edi, Taryana, Aerli, dan Wandi.
Sekali waktu, tulis Lasmiyati dalam artikel berjudul “Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu,” jurnal Patanjala, September 2013, Amat mendapat undanggan Dasuki, bupati Indramayu, untuk mengiringi tari anak-anak bupati. Dasuki saat itu memanggil guru tari sohor dari Sumedang: Ono Lesmana Kartadikusumah. Lesmana terkesan dengan tepukan kendang Amat. Begitu juga dengan Dasuki. Pada 1960-an, Rasinah mendapat tawaran mengajar tari untuk beberapa sekolah seperti Panti Arjo, SD, SMEA, SMP 1 dan 2, serta SPG.
Hingga datanglah tragedi nasional: Gerakan 30 September 1965.
Kebangkitan
Pasca peristiwa G30S 1965, hampir semua bentuk kesenian rakyat tiarap. Alasannya kesenian rakyat identik dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal ini dirasakan pula oleh kesenian topeng di daerah Cirebon dan Indramayu. Di Cirebon misalnya, kelompok topeng Sumitra yang terkenal dan terlaris di daerah Cirebon timur dilarang pentas oleh penguasa setempat.
“Kami dilarang mengadakan latihan dan manggung. Saya tidak mengerti apa sebabnya, yang jelas larangan ini mematikan sumber kehidupan kelompok kami,” ujar Dewi, penari topeng kelompok Sumitra, seperti dikutip majalah Zaman, Juli 1982.
Bagi Rasinah, peristiwa 1965 memang membawa dampak tersendiri bagi eksistensi kesenian tari topeng di Indramayu.
“Memang peristiwa itu cukup mengguncangkan tari topeng di Indramayu. Ada korban perpolitikan. Seniman tidak tahu menahu. Mereka hanya mengisi acara saat itu. Keluarga kami kebetulan tidak ada yang tercatat di Lekra,” ujar Ade Jayani. Selain masalah G30S, yang membuat kesenian topeng sepi pentas adalah menjamurnya musik dangdut dan tarling.
Selama 20 tahun, Rasinah gantung selendang. Beberapa nayaganya beralih menjadi buruh tani karena sepi pentas. Gairah itu muncul kembali setelah dia ditemui seniman Endo Suanda dan Toto Amsar. Kedua pegiat seni ini mendorong Rasinah menari kembali. Rasinah sempat menolak karena sudah tua dan tak ada penabuh gamelan lagi. Endo dan Toto tak patah semangat. Hingga akhirnya, Rasinah bersedia mengenakan topeng karakter Rumyang dan kembali menari. Dari situ, gairah menari muncul. Dia pun mendaki ketenaran kembali.
Di pengujung usianya, Rasinah memerlukan seorang pengganti. Wahyu penari itu memerlukan tubuh baru.
“Semestinya, wahyu itu semula turun ke ibu saya, mimi Waci. Mimi Waci juga ditawarin mimi Rasinah. Namun ibu Waci kan sudah lama menjadi TKW, jadi dia menyarankan ke saya. Tapi di situ ada obrolan sekeluarga, semua tahu supaya tidak menjadi intrik kan. Kata mimi Rasinah, mau ke anak atau ke cucu, gak masalah, yang penting mau menjaga,” kenang Aerli kepada Historia.
Perlahan, Aerli digembleng untuk menjadi penari topeng yang tangguh. Beragam ujian dilalui, dengan bimbingan Rasinah. Hingga akhirnya Aerli menjadi penari topeng yang mumpuni. Setelah menyerahkan tongkat estafet tari topeng kepada cucunya, Rasinah meninggal pada Agustus 2010.
Kini, sanggar tari topeng Rasinah tak lagi sepi. Siswanya beragam usia, dari anak-anak hingga ibu-ibu muda.
“Tiap minggu ada 50 anak. Dari umur empat tahunan hingga dewasa. Latihan tiap hari minggu, reguler. Biaya 15 ribu. Privat setiap hari, 20 ribu hari. Durasi secapeknya. Kalo baru biasanya sejam sudah capek. Lalu ada yang ingin mengambil filosofi topeng, itu latihannya malam,” ujar Ade Jayani.
Baca juga: