Masuk Daftar
My Getplus

Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang

Jika di bumi saling bertikai sejak Perang Dingin, Amerika dan Rusia justru bekerjasama menggunakan roket-roketnya untuk menjelajahi antariksa.

Oleh: Randy Wirayudha | 22 Apr 2024
Peluncuran roket Space X (spacex.com)

KONFRONTASI Iran-Israel sudah sampai ke tahap yang mengkhawatirkan dan berpotensi menjadi perang terbuka. Kedua negara yang sama-sama memiliki nuklir itu sudah saling serang dengan roket jarak jauh sebagai salah satu “spin off” kebrutalan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina sejak Oktober 2023.

Israel jadi biang keroknya lewat pemboman Kedutaan Iran untuk Suriah di Damaskus pada 1 April 2024 yang menewaskan 14 diplomat dan dua jenderal Iran. Serangan balasan dengan sekira 300 misil balistik dan drone dilancarkan Iran ke basis militer Israel di Gurun Negev pada 13 April lalu. Itu jadi serangan frontal pertama Iran ke Israel sejak berkonflik proxy pada 1980-an.

Terbaru, pada Jumat (19/4/2024) pagi, Israel bikin serangan balasan dengan roket-roketnya yang tak hanya menyasar ke Isfahan di Iran tapi juga ke Daraa, As-Suwayda di Suriah, serta Babil dan Baghdad di Irak. Kestabilan kawasan pun kian terancam sampai “baron” bisnis dan teknologi Elon Musk ikut berkomentar karena prihatin.

Advertising
Advertising

“Alangkah baiknya kita tidak mengirim roket satu sama lain, melainkan ke bintang-bintang,” cuit Musk di akun pribadi X-nya, @elonmusk, Jumat (19/4/2024).

Peluncuran roket Israel (X @Israel_MOD)

Tentu bicara perdamaian kawasan itu jadi hal kontradiktif bagi pemilik media sosial X (sebelumnya Twitter), bos perusahaan mobil listrik Tesla, provider satelit internet Starlink, sekaligus pabrikan roket SpaceX itu. Faktanya, mengutip NDTV, Jumat (19/4/2024), pasca-mengunjungi Israel medio November 2023, Starlink menang tender lisensi operasional di Israel dan beberapa wilayah di Gaza yang saat ini diduduki Israel. Starlink juga memberikan servisnya kepada pemerintah Israel untuk penyediaan internet di beberapa rumahsakit lapangan di Gaza sekaligus memblokade warga Palestina dan milisi Hamas mendapatkan akses internet.

Terlepas dari hipokrisi itu, sosok yang kadang dijuluki “Lex Luthor” di dunia nyata itu menyinggung ajakan penggunaan roket untuk eksplorasi antariksa ketimbang untuk berperang. Toh jika menilik sejarahnya, dua negara adidaya yang pernah bertikai saat Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet, sanggup untuk saling bekerjasama jika sudah menyoal penjelajahan ruang angkasa.

Baca juga: Selintas Hubungan Iran dan Israel

Kerjasama Antariksa di Masa Détente

Roket untuk keperluan militer dan perang memang sudah mulai eksis pada abad ke-13 di China. Jerman kemudian “menyempurnakannya” jadi seperti bentuk sekarang dan menggunakannya secara masif sebagai senjata balistik antarbenua di Perang Dunia II dengan inovasi Roket Vergeltungswaffe 2 (V-2).

Roket V-2 inilah yang inovasinya “dicontek” Amerika dan Uni Soviet sebagai pemenang Perang Dunia II. Mulai 1950-an, keduanya lalu saling berlomba dalam program riset antariksa.

Soviet berhasil mengujicoba roketnya dan aktif menggunakannya pertamakali lewat Roket R-7. Roket R-7 juga membuat Soviet unggul sehingga jadi negara pertama yang mengirim satelit pertama, Sputnik, ke orbit pada 4 Oktober 1957. Roket jenis yang sama juga mengantarkan kosmonot Yuri Gagarin dengan kapsul Vostok 1 menjadi manusia pertama yang mengorbit ke antariksa pada 12 April 1961.

“Kapsul antariksa Vostok 1 membutuhkan power yang masif dari Roket R-7 untuk mengirimnya ke luar angkasa. Seperti roket-roket lain, R-7 beroperasi dengan mengolah bahan bakar dan menembakkan jet berisi gas dari saluran exhaust-nya. Ini yang melontarkan roket ke langit dengan kecepatan 17.895 mil per jam (28.800 km/jam), kecepatan yang cukup mengantarkan wahana luar angkasa menuju orbit,” tulis Ben Hubbard dalam Yuri Gagarin and the Race to Space.

Baca juga: Misi Peluncuran Roket Ahmad Yani

Peluncuran Vostok 1 (kiri) & Apollo 11 (nasa.gov)

Tentu Amerika tak ingin ketinggalan. Pada 20 Juli 1969, astronot NASA (Badan Antariksa Amerika) Neil Armstrong dan Buzz Aldrin Jr. tercatat jadi dua manusia pertama yang menjejakkan kakinya ke permukaan bulan dengan wahana Apollo 11 yang “diantarkan” Roket Saturn V.

“Tanpa Roket Saturn V yang hebat, (misi) pendaratan Apollo 11 ke bulan takkan mungkin terjadi pada Juli 1969. Bahkan 50 tahun berselang, roket ini tetap menjadi roket terbesar dan paling powerful yang pernah digunakan,” ungkap Eugen Reichl dalam Saturn V: America’s Rocket to the Moon.

Namun tidak seperti pertikaian geopolitik di berbagai belahan bumi semasa Perang Dingin (1947-1991), Amerika dan Soviet yang merupakan adidaya dari dua kutub kekuatan dunia yang berkonflik justru menjalin kerjasama soal riset dan eksplorasi luar angkasa dengan Apollo-Soyuz Test Project (ASTP). Ini terjadi di era détente, era “relaksasi” atau peredaman ketegangan Amerika kontra Soviet di masa Presiden Amerika Richard Nixon dan Pemimpin Soviet Leonid Brezhnev.

“Periode bersejarah kerjasama Soviet/Rusia-Amerika dalam bidang antariksa terjadi sejak 1969 sampai 1975 yang berujung pada program ASTP yang paling menarik dan rumit. Baik Nixon maupun Brezhnev sebelumnya belum pernah mengadvokasi program antariksa seperti para pendahulunya, (John F.) Kennedy dan (Nikita) Khrushchev,” tulis Yuri Y. Karash dalam The Superpower Odyssey: A Russian Perspective on Space Cooperation.

Baca juga: Penjelajahan Antariksa dari JFK hingga Trump

Presiden Richard Milhous Nixon (duduk kiri) & Leonid Ilych Brezhnev (duduk kanan) menandatangani kerjasama antariksa Rusia-Amerika (NASA)

Inisiasinya sendiri sudah dilakukan Wakil Kepala NASA Hugh Dryden sejak 1962 ketika ia bersua koleganya dari Soviet, Anatoly Blagonravov. Pembicaraannya menghasilkan Perjanjian Dryden-Blagonravov yang diformalisasi pada Oktober 1962, tahun yang sama saat kedua negara nyaris “adu mekanik” dalam Krisis Misil Kuba (16-28 Oktober 1962). Wacananya berlanjut pada Oktober 1970 ketika Presiden Akademi Sains Soviet Mstislav Keldysh berkorespondensi dengan petinggi NASA Thomas O. Paine untuk merealisasikan wacana itu.

Menurut Edward dan Linda Ezell dalam The Partnership: A History of the Apollo-Soyuz Test Project, proposal kerjasama itu mendapat lampu hijau dari pemerintahan Nixon. Lalu proposalnya diteken lewat Agreement Concerning Cooperation in the Exploration and Use of Outetr Space for Peaceful Purposes pada April 1972 yang mencanangkan peluncuran Proyek Percobaan Apollo-Soyuz pada 1975.

Di pihak Amerika akan mengirimkan tiga astronot: Thomas P. Stafford, Vance D. Brand, dan Donald K. Slayton dengan wahana Apollo yang diluncurkan menggunakan Roket Saturn IB. Sementara pihak Soviet dengan wahana Soyuz yang diluncurkan dengan Roket Soyuz-U mengirimkan kosmonot Alexei Leonov dan Valery Kubasov.

Baca juga: Yuri Gagarin Si Anak Petani yang Mengantariksa

Para astronot dan kosmonot dalam Misi Apollo-Soyuz (nasa.gov)

Peluncurannya pada 15 Juli 1975 dilakukan bersamaan dengan penyesuaian zona waktu: Soyuz dari situs peluncuran Baikonur pada pukul 12.20 siang, Apollo dari situs peluncuran John F. Kennedy Space Center pada pukul 19.50 malam. Setelah dua hari mengorbit, pada pukul 8.15 pagi tanggal 17 April 1975 kru Amerika dan Soviet akhirnya saling berdekatan dan berkontak.

“Halo, Valeriy. Bagaimana kabar Anda. Selamat pagi, Valery,” ujar komandan Slayton menyapa koleganya, dikutip Edward dan Linda Ezell.

“Bagaimana kabar Anda? Selamat pagi,” jawab Kubasov dengan bahasa Inggris.

“Kabar baik sekali. Saya sangat senang. Selamat pagi,” sambung Slayton.

“Apollo, Soyuz, terdengar suara saya?” timpal Leonov.

“Alexey, saya mendengar Anda dengan sangat baik. Bagaimana suara saya?” imbuh Slayton.

“Saya mendengar Anda dengan lantang dan jernih,” tambah Leonov.

Baca juga: Laika Mengangkasa

Peluncuran Apollo dengan Roket Saturn IB (kiri) dan Soyuz di orbit tampak dari pengamatan Apollo (NASA)

Beberapa saat kemudian, dari jarak 222 kilometer yang memisahkan mereka, Apollo dan Soyuz dengan cermat saling merapat. Sekira pukul 10 keduanya berhasil saling docking. Leonov dan Stanford baru bisa saling bertatap muka dan berjabat tangan di kabin penghubung pada pukul 11.10.

“Selamat, Tom,” kata Leonov kepada Stafford.

“Sungguh pertunjukan yang bagus. Sekarang kami menantikan bisa berjabat tangan dengan Anda di atas Soyuz,” kata Stafford.

Selama 47 jam kelima astronot itu saling bertemu, berangkulan, hingga saling bertukar bendera dan hadiah. Lalu untuk misi eksplorasinya, Apollo bermanuver untuk merekayasa gerhana matahari agar kedua kru Soyuz bisa mengambil foto corona matahari.

Baca juga: Star Wars Penangkal Nuklir Amerika

Momen jabat tangan astronot Thomas Patten Stafford (kanan) dengan Alexey Arkhipovich Leonov (NASA)

Setelah melakukan beberapa eksperimen observasi bumi bersama-sama, Soyuz dan Apollo memisahkan diri pada pukul 15.26 petang 19 Juli. Soyuz berhasil kembali ke bumi dengan selamat pada pagi 21 Juli, sementara Apollo kembali pada 24 Juli malam.

Misi Apollo-Soyuz yang dianggap sebagai salah satu tindakan politik damai itu pun dinilai berhasil dan itu menjadi pijakan bagi kerjasama-kerjasama antariksa berikutnya. Termasuk pasca-Perang Dingin, di mana Rusia dan Amerika meneruskan kerjasama mereka sejak eksisnya ISS atau stasiun luar angkasa pada 1998 hingga kini yang jadi wahana bersama antara badan antariksa Amerika, Rusia, Eropa, Kanada, dan Jepang.

“Sebuah perjanjian telah tercapai (dengan NASA) untuk melanjutkan lintas misi inklusif hingga 2025. Keputusannya diambil untuk mempertahankan keandalan ISS secara keseluruhan,” ungkap Roscosmos mewakili Rusia, dikutip phys.org, 28 Desember 2023.

Baca juga: Katie dan Margaret yang Berjasa dalam Riset Antariksa

TAG

antariksa sains roket amerika serikat uni-soviet rusia iran israel

ARTIKEL TERKAIT

Selintas Hubungan Iran dan Israel Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Tepung Seharga Nyawa Seputar Deklarasi Balfour Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Piala Asia Tanpa Israel Mandela dan Palestina Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Pendukung Zionis yang Mengutuki Kebrutalan Israel