Hotel Indonesia Jakarta sangat ramai pada 6 Juni 1982. Sektiar 400 orang datang ke sana untuk mengikuti gerakan-gerakan senam yang diperagakan oleh pesenam ternama, Constance Imelda Burki yang dikenal dengan Tanneke Burki. Gerakan senam itu bagian dari senam seks.
Pada masa itu, senam seks sulit dipahami oleh kebanyakan masyarakat dan bisa jadi bahan perdebatan. Tetapi, bagi Tanneke, senam seks bertujuan untuk kesehatan. “Sama seperti senam hamil,” kata Tanneke dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983–1984. Senam seks dapat dilakukan dengan berbagai posisi agar otot perut, pinggang, pantat, paha, dan sekitar vagina mampu digerakkan secara harmonis.
Baca juga: Merunut Sejarah Yoga, Merelaksasi Jiwa dan Raga
Tanneke, menurut Srikandi: Sejumlah Wanita Indonesia Berprestasi, dulunya pernah membuka sanggar-sanggar senam seks. Selain kelas-kelas untuk jenis-jenis senam yang lain atau tari-tarian, ia juga membuka kelas tari Bali dan Sunda. Ia membuka studio seni tari balet di Jl. R.E. Martadinata, Bandung, Jawa Barat.
Tanneke bukan yang pertama memulai senam seks. Ia juga mengaku bukan pencipta gerakannya. “Senam seks itu sudah ada sebelumnya. Pencetusnya dr. Waluyo. Jadi, saya hanya mengembangkannya dari beliau,” kata Tanneke dalam majalah Jakarta-Jakarta, 12 Februari 1989.
Baca juga: Menggali Balet Nasional Indonesia
Tanneke sudah berusia 44 tahun ketika mempopulerkan senam seks. Wanita kelahiran 29 Mei 1938 ini telah bergelut dalam dunia senam sejak muda. Ia memulai dari balet.
“Kemudian banyak permintaan dari ibu-ibu di lingkungan sini untuk mengajarkan anak-anaknya gerakan senam. Lantas saya beralih ke olahraga senam pada 1959,” kata Tanneke yang lulus jurusan sastra Inggris IKIP Bandung (kini UPI).
Sebagai penari balet terkenal, Tanneke pernah menggelar pertunjukan di beberapa kota di Jawa. Bakat menari balet menurun dari ibunya, Poppy Manopo Laubren, yang belajar balet pada Gina Meloncelli. Tak heran jika Tanneke telah belajar balet sejak usia lima tahun.
“Dalam keluarga, saya adalah anak tunggal. Mama yang berasal dari Manado, juga seorang penari balet. Sementara ayah keturunan Belgia meninggal di tahanan Jepang,” kata Tanneke.
Baca juga: Mengokohkan Balet Nasional Indonesia
Ayah Tanneke adalah Victor Christian Burki (1910–1945) lahir di Magelang, Jawa Tengah pada 18 Juli 1910. Pada masa kolonial Belanda, ia pernah menjadi pejabat di Post Telegraaf Telefoon (PTT) Bandung. Namun, ketika Jepang datang, ia dipenjara di Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur, dan meninggal dalam tahanan pada 15 Mei 1945. Belakangan ia dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Perang Dunia II telah merusak kehidupan keluarga Tanneke. Ayahnya jadi tahanan perang hingga meninggal dunia. Hidupnya tentu menjadi sulit sejak kecil. Belajar balet di masa perang menjadi kemewahannya. Tanneke tutup usia pada 3 Agustus 2021.
Baca juga: Ketika Balet Dianggap Menghina Islam
Semasa hidupnya, Tanneke pernah menjadi Nyonya Palar, Nyonya Soedarjono, Nyonya Iwan Simatupang, dan belakangan Nyonya Bahram, seorang guru balet dan penata lampu termasuk untuk pertunjukan anaknya.
Dari perkawinannya dengan Iwan Simatupang yang sastrawan sohor itu, Tanneke beroleh anak Violetta Simatupang, yang juga seorang penari dan penah belajar kepada Bagong Kussudiardja. Sementara dari Soedarjono, Tanneke memperoleh anak Victorine Cherryline Soedarjono Burki, yang lebih dikenal sebagai Vicky Burki, salah satu pesenam terkenal yang merambah seni peran.*