Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Balet Dianggap Menghina Islam

Pertunjukan balet memakai mukena, diiringi azan, dan melakukan gerakan salat. Dihentikan karena dianggap menghina Islam.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 08 Jan 2020
Farida Oetoyo (paling kiri) ketika belajar di Akademi Balet Bolshoi Rusia 1961–1965. Pada 1976, dia mencipta koreografi Putih-Putih yang menghebohkan. (Repro Miss Fari Pointe to Remember).

Tujuh perempuan penari masuk panggung gelap. Pakaiannya putih menyerupai mukena untuk salat. Mukena menutup bagian kepala sampai ke lutut. Tapi lengan tangan terbuka. Bagian lutut sampai kaki dibungkus oleh leotard (sejenis legging senam). Lampu-lampu panggung menyorot para penari. Suara azan terdengar. Dilafazkan oleh perempuan. Bersahut-sahutan dalam bahasa Arab dan Indonesia.

Para perempuan penari itu lalu mengangkat kaki tinggi-tinggi, berjinjit, menengadahkan tangan seperti berdoa, dan beranjak ke sana-sini dengan gerakan balet. Kemudian mereka bersujud ke berbagai arah. Diiringi oleh musik grup Bimbo. Ritmis, melodis, dramatis, sekaligus problematis.

Itulah seringkas potongan pementasan Putih-Putih. Koreografi karya Farida Feisol itu tampil di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 dan 11 November 1976. Rencananya tari itu pentas tiga malam berturut sebagai bagian dari acara Cipta Tari garapan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ kemudian menjadi IKJ). Tapi pada malam ketiga, Putih-Putih hilang dari mata acara.

Advertising
Advertising

"Wah, tari Putih-Putih ini tidak betul!" kata Taufiq Ismail, Ketua LPKJ, dalam Pelita, 16 November 1976. Dia menyaksikan Putih-Putih pada malam kedua. Malam itu juga dia mengetik surat untuk Edi Sedyawati, Ketua Akademi Tari LPKJ. Pokok isinya meminta Edi Sedyawati menghentikan Putih-Putih. Dia menilai sang koreografer telah meleset dalam menafsirkan kiblat, azan, salat, dan mukena.

Edi Sedyawati memahami keberatan Taufiq. Dia sepakat menghentikan Putih-Putih untuk mencegah perdebatan liar dan kemarahan banyak orang. Tapi laporan pementasan Putih-Putih kadung beredar di media massa dan tersebar dari mulut ke mulut. Khalayak tersentak setelah membaca dan mendengarnya. Kebanyakan tidak menyaksikan langsung. Tapi menyimpulkan tarian itu menghina Islam dan mengejek umat.

Penari balet menggunakan mukena dan menengadahkan doa dalam Putih-Putih, ​​​​​​10-11 November 1976. (Berita Buana, 22 November 1976).

Dekat Pemilu

Segelintir tokoh Islam seperti Buya Hamka dan Yunan Nasution, ketua Himpunan Seni Budaya Islam, berupaya meredakan kemarahan umat Islam. Sebab saat itu menjelang Pemilu 1977 dan agitasi penguasa Orde Baru terhadap umat Islam mulai terasa. Sebaliknya, kecurigaan umat Islam terhadap penguasa Orde Baru kian meninggi.

Baca juga: Penangkapan Ulama Banten di Pemilu 1977

Hamka dan Yunan mengaku tak menyaksikan langsung Putih-Putih, tapi enggan mengutuk pertunjukan itu. Meski begitu, mereka berkeberatan dengan Putih-Putih dan menilai Farida kurang tanggap terhadap situasi masyarakat.

"Hati-hatilah sedikit, sekarang sudah terlalu banyak orang yang menyinggung-nyinggung perasaan umat," kata Hamka dalam Pelita, 23 November 1976.

Sejumlah seniman juga mengkritik pementasan Putih-Putih. "Seharusnya, Farida sebelum mementaskan tari itu minta advice dulu pada yang ahli agama," kata Bagong Kussudiardjo, seniman sohor asal Yogyakarta, dalam Berita Buana, 22 November 1976. Tapi ini bukan berarti seniman mesti selalu berkonsultasi dengan masyarakat.

Baca juga: Sendratari Kristiani

Bagong menekankan pentingnya konsultasi hanya ketika seniman mencipta karya bertema sensitif. "Hal-hal yang akan kita sampaikan melalui ciptaan kita yang sekiranya peka sifatnya, atau sesuatu yang diperkirakan belum terjangkau masyarakat sebaiknya dipikirkan dari segala segi dan kemungkinannya," tambah Bagong dalam Angkatan Bersendjata, 20 Desember 1976.

Bagong menceritakan, dia beberapa kali mencipta tari bernapaskan agama. Misalnya pada pertunjukan Sunan Kalijaga dan Lahirnya Yesus. Dia mengundang tokoh agama Islam, pendeta, dan pastur sebelum pentas di depan khalayak. Tujuannya meminta pendapat mereka tentang karya Bagong. "Sampai semua sudah dianggap tidak ada persoalan lagi," ungkap Bagong.

Penari balet dalam koreografi ​​​Putih-Putih karya Farida Feisol 10-11 November 1976. (Angkatan Bersendjata, 20 Desember 1976).

Dukungan dari Mahasiswa

Farida terus mendapat serangan bertubi-tubi. Setelah dari massa, tokoh Islam, dan kalangan seniman, dia mendapat surat teguran dari Majelis Ulama DKI Jakarta pimpinan K.H. Abdullah Syafi’ie dan H. Ghazali Syahlan.

"Adegan-adegan yang dipentaskannya sungguh-sungguh sangat bertentangan dengan maksud sholat/azan dan sungguh-sungguh menyinggung dan menusuk perasaan ummat Islam," tulis surat Majelis Ulama DKI No. 164/MU-DKI/XI/76 tanggal 22 November 1976. Surat itu juga mengingatkan Farida agar tak mengulangi lagi pertunjukan seperti Putih-Putih.  

Baca juga: Kue Bika Bernama Majelis Ulama Indonesia 

Tapi Farida bukan tanpa pendukung. Banyak mahasiswa LPKJ menentang penghentian Putih-Putih. Mereka menempeli dinding dengan pamflet berisi dukungan untuk Farida. "Isi pamflet tersebut antara lain mengatakan bahwa prasangka Putih-Putih Farida sebagai suatu protes terhadap agama sangat keterlaluan… Dia adalah ekspresi dengan teknis tertentu,” catat Angkatan Bersendjata, 25 November 1976.

Protes mahasiswa LPKJ mendapat balasan dari Taufiq. Dia ikut menempeli dinding dengan pamflet berisi ajakan diskusi dalam sebuah forum. Bahasannya merumuskan kembali hubungan estetika dengan etika dan estetika dengan agama dari titik pijak kasus Putih-Putih.

Sepotong surat teguran dari Majelis Ulama DKI Jakarta kepada Farida Feisol, 22 November 1976. (Arsip dan Dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta).

Sosok Farida

Siapa sebenarnya Farida Feisol dan mengapa dia mencipta koreografi balet Putih-Putih yang menghebohkan itu?

Farida Feisol adalah nama lain Farida Oetoyo. Nama Feisol berasal dari nama suami keduanya, Feisol Hashim, pengusaha dari Malaysia. Farida terlahir dengan nama Farida Oetoyo Ramelan pada 7 Juli 1939. Dua nama terakhir merupakan nama ayahnya, mantan anggota Perhimpunan Indonesia dan Liga Melawan Imperialisme dan Kolonialisme bersama Mohammad Hatta.

Oetoyo Ramelan menjadi Konsul Jenderal Republik Indonesia pertama di Singapura pada 1949. Di negeri inilah Farida kali pertama mengenal balet pada usia sembilan tahun. Dia lalu pindah ke Australia mengikuti penempatan ayahnya sebagai duta besar.

Di Australia, Farida kembali masuk sekolah balet. Dia pulang ke Indonesia pada 1954 dan berguru balet pada seorang Belanda bernama Ludwig Werner.

Baca juga: Menggali Balet Nasional Indonesia

Petualangan Farida berikutnya ialah Eropa. Dia bergabung dengan grup balet profesional Belanda serentang 1956–1958. Dia sempat balik ke Indonesia lagi pada 1958 untuk belajar balet dari Elsie Tjiok San Fang, mengajar di sekolah balet milik Elsie, dan membentuk grup balet nasional pertama di Indonesia. Dia pergi menuju Rusia pada 1961 untuk belajar balet di Akademi Bolshoi, salah satu akademi balet terkemuka di dunia, selama empat tahun.

Farida menikah dengan Sjumandjaja di Rusia pada 1962 dan mengganti namanya jadi Farida Sjuman. Sjumandjaja adalah seniman asal Senen, Jakarta, penerima beasiswa pemerintah Indonesia untuk belajar sinematografi di Rusia. Kelak dia menjadi sutradara film laris Si Doel Anak Betawi.

Baca juga: Mengokohkan Balet Nasional Indonesi

Pernikahan Farida dan Sjuman kandas pada 1972. Farida kemudian berangkat ke Amerika Serikat untuk berguru tari modern kepada empu tari modern kesohor seperti Merce Cunningham, Martha Graham, dan Ivan Nicolai. Di negeri inilah Farida bertemu dengan Feisol Hashim, menikah, dan tinggal dengannya di Malaysia beberapa lama.

Pernikahan Farida dengan Feisol membawanya masuk ke "sangkar burung". Dia terputus dengan balet yang dicintainya. "Pertama kali dalam hidup saya tanggalkan karier, profesi saya untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga," kata Farida dalam Saya Farida: Sebuah Autobiografi.

Farida Oetoyo berlatih balet di Akademi Balet Bolshoi Rusia, 1961–1965. (Repro Miss Fari Pointe to Remember).

Mendengar Azan

Feisol sering pergi untuk urusan bisnis berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Farida lebih banyak di rumah dan mulai mengenal keluarga Feisol. Keluarga Feisol penganut Islam taat. Aturan keluarganya sangat ketat dan bertentangan dengan karakter Farida. Dia merasa asing hidup di lingkungan tersebut. Kesepian menderanya. Jarang bertemu suami dan jauh dari dunia seni.

Suatu hari saat Farida merasakan kesepian mendalam di Malaysia, dia mendengar azan dengan kesan berbeda. Begitu merdu, menelusup, hingga membekas di benak Farida. "Suara azan ini membuat saya tercekam, haru, ia begitu syahdu, dan saya mencintainya," kata Farida kepada Pelita, 16 November 1976.

Baca juga: Azan Sebelum Ada Pengeras Suara

Ketika Farida kembali ke Indonesia, kenangan tentang azan di Malaysia itu masih melekat. "Saya mencintai suara azan itu dan menjalar terus tiap hari ke dalam sukma saya. Saya penari. Saya bertolak menciptanya dari sini," kata Farida. Kenangan akan azan itu dia wujudkan dalam Putih-Putih.

Penari balet dalam koreografi Putih-Putih karya Farida Feisol, 10–11 November 1976. (Pelita, 16 November 1976).

Berbesar Hati

Farida mengatakan selama hidupnya tidak banyak mempelajari Islam. Ibunya seorang ateis, mantan penganut Kristen Gereja Lutheran, dan sering mewanti-wanti agar Farida jangan percaya kepada Yesus. Bapaknya memang muslim, tapi tak pernah mempraktikkan ibadah formal agama Islam.

Karena sedikitnya persentuhan dengan Islam, Farida menggabungkan azan dalam bahasa Indonesia dan Arab. Dia juga berpikir tak ada salahnya bila azan dilantunkan oleh perempuan.

"Sebagai wanita rasanya saya mencoba, apakah di sini bisa diterapkan emansipasi. Saya rasa wanita tidak salah mengumandangkan azan. Toh tidak kalah merdunya," kata Farida.

Baca juga: Ketika Siaran Azan Diprotes

Buah pikir Farida itu membawanya pada situasi terjepit. Dan dia tak pernah menduganya. "Saya betul-betul tak mengerti kalau tari saya itu mengundang protes. Sama sekali tak terniat oleh saya untuk ke sana," terang Farida. Tapi dari polemik Putih-Putih, Farida telah melatih diri untuk berbesar hati menerima kritik.

"Mungkin peristiwa ini akan membantu saya agar lebih pasrah mendalami agama saya, yaitu Islam," ujar Farida. Tapi setelah itu, Farida belum pernah lagi menuangkan ulang kenangannya akan azan. Waktunya habis untuk mengembangkan balet dan tari tradisi Indonesia.

Farida wafat pada 18 Mei 2014. Namanya tergurat cerlang dalam sejarah balet dan seni tari Indonesia.

TAG

tari balet

ARTIKEL TERKAIT

Jejak Langkah Gusmiati Suid Anjing Super Penjaga Galaksi Tanneke Burki dari Balet ke Senam Seks Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional Menengok Cerita dalam Tari Golek Ayun-ayun Mengenal Tari Kukila Seni Pertunjukan dalam Resepsi Pernikahan Jawa Kuno Tayub yang Dilarang Sultan Di Balik Topeng Betawi Kecak dari Sakral Jadi Profan