API adalah hal penting bagi manusia. Dalam kehidupan, api sangat membantu manusia bertahan hidup. Dalam jarak yang aman, api bisa menghangatkan tubuh. Api bahkan bisa membantu mengenyangkan perut manusia.
“Segala sesuatu yang tidak baik bagi perut dapat diubah menjadi makanan yang baik dengan cara dibakar,” kata Kyai Madrais, seorang yang dikenal dekat dengan alam, dikutip De Niuwe Vorstenlanden edisi 1 Agustus 1921.
Madrais bukan seorang yang belajar di sekolah tinggi. Dia hanyalah warga yang tinggal di jalan utama kampung Cigugur, sekitar 8 pal dari Kuningan, Jawa Barat nan sejuk. Usianya sekitar 50 tahun. Dia mengaku sebagai putra Pangeran Alibasah dari Gebang, Cirebon, dan masih keturunan ke-7 dari Pangeran Soetadjaja. Dia menyebut dirinya MDR Martokusuma.
Selain dianggap kyai, Madrais digelari pula sebagai pangeran. Belakangan, dia sering disebut Pangeran Madrais.
Terlepas dari benar-tidaknya dia keturunan bangsawan Cirebon, tampak bahwa Madrais belajar langsung dari kehidupan dan menarik sari-sarinya. Madrais tentu lama memperhatikan api dan kegunaannya bagi manusia. Apalagi daerah Kuningan dikenal dingin, maka api lebih dibutuhkan daripada di daerah panas.
“Segala sesuatu bisa diciptakan oleh api. Besi yang paling keras menjadi sangat lunak di dalam api sehingga dapat diukir gambar-gambar, dan sebagainya,” tambah Madrais, yang juga mengingatkan ada sisi bahaya dalam api.
Ajaran Madrais sangat dekat alam sekitar. Maka Madrais tak hanya bicara soal api. Dia pernah pula bicara soal angin. Katanya, “Angin bagaikan nafas bumi dan bumi adalah ibu kita semua.”
Ajaran Madrais itu, disebut beberapa koran Belanda era 1920-an sebagai ajaran baru Budha-Jawa. Agama Budha sudah masuk ke Jawa lebih dari 1500 tahun sebelumnya. Dalam rentang waktu panjang itu, adapasi dengan lingkungan sekitar yang kemudian melahirkan improvisasi dan modifikasi hampir pasti dilakukan para penganutnya.
Koran De Sumatera Post (8 Agustus 1925) dan Deli Courant (1 Agustus 1925) menyebut Madrais menyebarkan doktrin baru di Jawa Barat. Pengaruh Ajaran Madrais perlahan keluar dari Cigugur, pada 1925 sudah sampai Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cikampek, bahkan Karawang. Pada 1927, ajaran Madrais di Bandung sudah punya 180 pengikut.
Tata cara yang diajarkan Madrais berbeda dari agama Islam yang –menjadi agama leluhurnya– sudah berkembang ribuan tahun di Jawa. Menurut Madrais, seseorang yang sudah meninggal boleh dikuburkan dengan pakaian sehari-harinya. Jika dalam Islam penghulu penting perannya dalam ikatan perkawinan, Madrais menganggap hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dikendalikan penghulu.
Bagi Madrais, Islam adalah agama dari luar yang dibawa orang luar pula. Koran Algemeen Handelsblad tanggal 1 Januari 1927 menyebut ajaran Madrais sebagai sebuah sekte yang ajarannya campuran dari agama-agama yang telah ada di lingkungan sekitar, termasuk Islam.
“Ajaran baru itu sendiri cukup tidak berbahaya dan mengandung campuran tradisi-ritual (agama, red.) Muhammad, agama Cina, dan Kristen,” tulis Algemeen Handelsblad.
Bagi sebagian orang, ajaran Madrais dianggap aneh. Kendati tidak berbahaya, ada saja ketidaksukaan sebagian orang Islam di Jawa Barat. Bentrokan antara kelompok anti-Madrais dengan pendukung Madrais terjadi di Tasikmalaya dan Ciamis pada 1927.
Madrais sendiri pernah digugat lebih dari 20 tahun sebelumnya. De Locomotief tanggal 4 Mei 1903 memberitakan, Madrais pada 1903 pernah disidang atas tuduhan sebagai nabi palsu. Namun seseorang yang pernah mengunjunginya menyebut bahwa Madrais tak punya waktu menyebarkan ajaran agamanya, dia lebih sibuk melayani tamu-tamu yan datang ke rumahnya minta ilmu kebal. Pada 1914, seperti diberitakan De Telegraaf edisi 2 Januari 1914, Mandrais ditahan di Tasikmalaya atas tuduhan mendirikan agama baru.
“Tak perlu dikatakan lagi, bahwa tindakan dan kegiatan orang-orang itu kini diawasi dengan ketat,” demikian Algemen Handelsblad voor Nederlandsch Indie tanggal 10 Januari 1927 menulis.
Kendati begitu, ajaran Madrais terus bertahan hingga kini. Djatikusumah sebagai salah satu cucu Madrais menjadi salah satu pewaris terpenting yang terus menjalankan ajaran Madrais yang kini dikenal sebagai Agama Jawa Sunda.
“ADS (Agama Djawa Sunda) didirikan oleh Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang dari Pangeran Alibasa I pada 1848,” Didin Komarudin dalam makalah berjudul "Agama Djawa Sunda (ADS) Religious Movement”.
Mereka masih tetap memegang nilai-nilai yang diwariskan Pangeran Madrais dan mengkeramatkan tempat-tempat yang dianggap pernah dijadikan tempat penting Pengeran Madrais, seperti Paseban Tri Panca Tunggal ataupun Situ Hyang.
"Secara historis, Situ Hyang merupakan tempat bagi Pangeran Madrais untuk bersemedi. Ritual yang dilakukan di Situ Hyang memiliki makna sebagai bentuk harapan agar tidak ada hama yang kembali ke lahan pertanian masyarakat," tulis Imam Indratno, Naniek Widyati dkk dalam "Genius Loci of Adat Karuhun Urang (AKUR) Cigugur Community's Settlement", di Mimbar Vol. 37 (Desember 2021).