Tahun 1608 (sumber lain menyebut 1601/1610), penduduk Sumedang Larang ditimpa duka. Salah seorang penguasa terbesar mereka, Prabu Geusan Ulun, dipanggil Sang Pencipta. Raja yang membawa kejayaan bagi Sumedang itu meninggalkan wilayah kuasa yang cukup besar. Sepeninggalnya konflik politik pun tak terhindarkan hingga membagi Sumedang Larang menjadi dua: kerajaan yang berpusat di Dayeuh Luhur, diperintah Pangeran Rangga Gede; dan kerajaan yang berpusat di Tegal Kalong, dipimpin Pangeran Suriadiwangsa.
Sumedang Larang sendiri lahir setelah Kerajaan Pakuan Pajajaran (terletak di wilayah Bogor sekarang) dikuasai oleh Kesultanan Banten pada 1579. Menurut Edi S. Ekadjati dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat, peristiwa hancurnya kerajaan Sunda bercorak Hindu Budha terakhir itu membuat kekuasaan orang-orang Sunda terdorong ke wilayah timur Jawa Barat, yakni Galuh dan Sumedang. Prabu Geusan Ulun ketika itu muncul sebagai penguasa baru, yang wilayah pemerintahannya ada di Kutamaya, Sumedang. Kekuasaannya meliputi seluruh Priangan –daerah antara Sungai Cipamali di Timur dan Sungai Cisadane di Barat–, kecuali Galuh.
Baca juga: Sirnanya Kerajaan Pajajaran
Pemerintahan di Sumedang pun berjalan baik di dua tempat tersebut. Akan tetapi, sebagaimana diceritakan Sejarawan Mumuh Muhsin Z dalam Sumedang pada Masa Pengaruh Kesultanan Mataram (1601-1706), pada 1614 tersiar kabar bahwa Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung telah menyampaikan pretensi (klaim) kepada VOC bahwa seluruh wilayah Jawa Barat, kecuali Banten dan Cirebon, telah ada di bawah kekuasaannya.
“Meskipun pretense Kesultanan Mataram ini merupakan klaim sepihak, hal itu membuat Raden Suriadiwangsa “ketakutan”. Jika tidak memosisikan diri sebagai kerajaan bawahan, Raden Suriadiwangsa khawatir Kesultanan Mataram akan menyerangnya,” ungkap Mumuh.
Demi menghindari kemungkinan terburuk, pada 1620 Suriadiwangsa memutuskan pergi menghadap Sultan Agung. Dia bermaksud menyatakan pengakuan bahwa Sumedang yang dipimpinnya bersedia menjadi negara vasal Mataram. Tidak dijelaskan apakah Pangeran Rangga Gede juga melakukan hal sama, tetapi seluruh wilayah Sumedang Larang pada akhirnya ada di bawah kuasa Mataram.
Baca juga: Galuh, Kekuatan di Timur Tatar Sunda
Dalam tesis karya Sobana Hardjasaputra, Bupati-bupati Pirangan: Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-19, disebutkan ada dua faktor utama Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, Suriadiwangsa berusaha menghindarkan Sumedang Larang dari kondisi terjebak di antara dua kekuatan (Mataram dan Banten), sehingga dia harus memilih salah satunya. Kedua, hubungan kekerabatan dari pihak ibunda, Ratu Harisbaya, dengan Mataram.
“Bagi pihak Mataram hal itu tentu saja merupakan keuntungan besar, sebab dengan demikian seluruh wilayah Priangan ditambah daerah Karawang berada di bawah kekuasaannya. Mataram dapat menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia,” kata Sobana.
Kedatangan Suriadiwangsa itu mendapat sambutan baik Sultan Agung. Berkat pengakuan sukarela tersebut, imbuh Mumuh, Suriadiwangsa diberi gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Wilayah kekuasaannya di Tagal Kalong, Sumedang, juga diubah namanya menjadi Prayangan, selanjutnya menjadi Priangan, yang berarti “tulus-ikhlas”.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Status Sumedang pun ikut diubah. Jika sebelumnya berbentuk kerajaan, oleh Mataram statusnya diganti menjadi kabupaten sebagai vasal Kesultanan Mataram. Dengan begitu, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, juga Pangeran Rangga Gede, tidak lagi menyandang gelar raja, tapi bupati yang memegang kuasa di kabupatennya masing-masing.
“Akan tetapi posisi Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata, selain sebagai bupati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang, juga sebagai koordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana,” tulis Mumuh.
Pada 1624, setelah empat tahun lamanya menjadi negara vasal Mataram, Pangeran Kusumadinata mendapat tugas pertama dari Sultan Agung: menaklukan Sampang, Madura. Berangkatlah dia dengan sejumlah pasukan pilihannya. Sampai di Madura, Pangeran Kusumadinata mendapati bahwa penguasa Sampang merupakan saudara jauhnya. Maka tanpa perlu melalui jalan peperangan, sukseslah dia menjadikan Sampang sebagai negara vasal Mataram.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Sunda
Keberhasilan itu membuat Sultan Agung merasa sangat gembira. Sebagai penghargaan atas usahanya itu, Pangeran Kusumadinata diminta untuk tinggal di Mataram. Dia diberi satu daerah untuk diperintah, yang menurut Mumuh, sampai sekarang dikenal sebagai Kasumedangan, termasuk desa Bembem di Yogyakarta. Namun belum lama tinggal di Mataram, pada 1625, Pangeran Kusumadinata harus meregang nyawa. Menurut beberapa sumber, dia dipancung oleh Sultan Agung karena terlalu membanggakan penaklukannya di Sampang dan meremehkan kekuatan Mataram.
Sepeninggalnya Pangeran Kusumadinata ke Mataram, situasi pemerintahan di Sumedang menjadi labil. Selanjutnya kekuasaan di tempat itu diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede, saudara tiri (anak kandung Geusan Ulun) Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Di bawah pemerintaha Rangga Gede, dua pemerintahan yang sebelumnya terpecah berhasil dipersatukan. Namun demikian Sumedang tetap ada di bawah kuasa Mataram.