Malam itu Istora Senayan, Jakarta, ramai. Anak-anak, remaja, dan orang tua bersemangat menuju salah satu panggung dalam acara Pekan Kebudayan Nasional (PKN) 2019 minggu lalu (7-13 Oktober 2019). Ada beragam sajian seni di panggung PKN. Salah satunya pergelaran musik campursari dari pria berambut gondrong kelahiran Surakarta. Dialah Didi Prasetyo atau Didi Kempot.
Sebelum Didi naik ke atas panggung, Historia sempat berbincang pendek dengannya. Dari obrolan tersebut diketahui bahwa asal usul nama Kempot adalah Kelompok Penyanyi Trotoar. “Yah dulu saya itu penyanyi jalanan alias ngamen, akrab sama trotoar,” ujar adik dari almarhum pelawak Mamiek Prakoso, yang tenar dengan mengecat sebagian rambutnya dengan warna keemasan.
Didi mulai aktif bermusik sejak 1989. Dia memilih musik campursari sebagai jalan hidup berkeseniannya. Campursari adalah musik yang muncul dari perpaduan instrumen gamelan Jawa dan Barat. Diperkenalkan kali pertama oleh R.M. Samsi dari kelompok musik RRI Semarang pada 1953. Campursari menggabungkan nada pentatonik dan diatonis. Sebuah percampuran antara tradisionalitas dan modernitas.
Melalui campurasari, Didi membuat ratusan lagu. Kebanyakan lagunya bertema tentang cinta, patah hati, dan kehilangan orang tersayang.
Karena tema-tema itulah fans Didi Kempot menamakan diri mereka sebagai Sad Bois dan Sad Girls. Ada juga yang menamakan diri mereka Sobat Ambyar (hancur). Fans juga menjuluki Didi Kempot, pria yang juga terkenal di Suriname itu, sebagai The Godfather of Broken Heart.
“Ya, mungkin karena tema patah hati mengena di anak-anak masa kini. Itu buktinya tiap saya nyanyi mereka selalu berjoget,” kata Didi. Fenomena tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Begitu Didi Kempot naik panggung, ribuan penggemarnya langsung histeris bahkan sampai menangis.
Di panggung PKN, Didi tampil sekira pukul 20.00 WIB. Dia menyapa penggemarnya. “Sobat Ambyar, sing penting aja jotos-jotosan yo (Sobat Ambyar, yang penting jangan berkelahi, ya).” Salam pembukanya disambut riuh oleh ribuan Sobat Ambyar. Kemudian pria berusia 52 tahun tersebut melantunkan lagu-lagu andalannya: Cidro, Stasiun Balapan, Banyu Langit, dan Pamer Bojo. Orang-orang turut bernyanyi.
Di tengah jeda lagu, Didi berucap, “Wah ternyata di Jakarta pun kalian masih menghargai musik tradisional. Terima kasih!” Tanpa basa-basi lagi, Lord Didi, julukan lainnya, kembali menggempur panggung. Malam itu benar-benar milik Sobat Ambyar. Mereka merayakan patah hati daripada meratapinya. Ditemani langsung oleh sang Godfather. Salam Ambyar!