GARIS-GARIS simetris horizontal, vertikal, dan diagonal itu tampak nyata membentuk sesosok pejuang bersurban putih. Warna-warnanya tegas memperlihatkan warna kebesaran Palestina: merah-hitam-putih-hijau. Juga terlihat dalam penampakan seekor kuda Arab dengan latar kerumunan rakyat. Lukisan bertajuk “Hawiyya” (terj. Identity) karya seniman Fathi Ghaben itu terang-benderan menggambarkan pergulatan akan perjuangan kemerdekaan Palestina.
Menurut Marion Slitine dalam artikel “The Metamorphoses of the Political in the Contemporary Art of Palestinian Post-Oslo Generation” yang termaktub di buku The Global Politic of Artistic Engagement: Beyond the Arab Uprisings, lukisan yang dibuat dari goresan akrilik di atas kanvas pada 1980 itu menyampaikan pesan kebangkitan perlawanan nasional menjelang Intifada Pertama (1987-1993). Ghaben sengaja tak menggambarkan wajah sang pejuang berdasarkan tokoh tertentu.
“Figur itu diperlihatkan berada di depan kerumunan rakyat yang berunjuk rasa di depan gerbang Kota Tua Yerusalem, di mana ia siap mengantisipasi Intifada Pertama. Sang Pejuang berdiri gagah di depan Gerbang Damaskus di Yerusalem menyimbolkan penaklukan Arab terhadap kota itu oleh Salahuddin pada 1187. Tetapi Ghaben tidak menggambarkan wajah sang pejuang menurut tokoh manapun demi merangsang perasaan kolektif dan persamaan nasib bagi para penikmat karyanya,” tulis Slitine.
Baca juga: Menyuarakan Nasib Nelayan Melalui Lukisan
Karya itu hanya satu dari sekian karya-karya Ghaben yang bak peluru menghujam jantung zionis Israel. Di antara beberapa pelukis Palestina generasi tua, seperti Sliman Mansour, Nasr Abdel Aziz Eleyan, Malak Mattar, dan Ibrahim Ghannam, Ghaben salah satu yang paling sering menelurkan lukisan-lukisan yang dianggap menghasut dan berbahaya hingga sering diciduk tentara pendudukan Israel.
“Pada 1982 sampai 1984, banyak seniman melukis dengan warna merah, hijau, hitam, dan putih dalam (lukisan) lanskap, potret, apapun. Dan pada 1984 seorang seniman dari Gaza melukis bendera Palestina lalu mereka (Israel) memenjarakannya selama enam bulan. Namanya Fathi Ghabin (Ghaben, red.). Sekarang dia di Gaza terus-menerus menghindari pemboman,” ungkap Mansour kepada Al Jazeera, Minggu (25/2/2024).
Kini Ghaben sudah tiada. Kementerian Kebudayaan Palestina menyatakan Ghaben menghembuskan nafas terakhir pada Selasa (25/2/2024) di usia 77 tahun. Ghaben yang sebelumnya mengalami masalah kesehatan pada jantung dan paru-parunya, ditolak Israel untuk mencari perawatan medis di luar Jalur Gaza seiring pemboman brutal dan blokadenya di Gaza sejak Oktober 2023. Blokade itu mengakibatkan nyawa Ghaben melayang karena kekurangan obat-obatan dan oksigen.
“Palestina akan selalu mempresentasikan semua detail karya Ghaben. Ia mengabadikan kehidupan desa-desa Palestina yang ingin dihapuskan oleh (peristiwa) Nakba, termasuk mengingat Harbia, desa di mana ia lahir,” ungkap Menteri Kebudayaan Palestina Atef Abu Seif, dikutip Palestine Chronicle, Selasa (25/2/2024).
Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr
Dari Penjara ke Penjara
Harbia atau Hiribya adalah sebuah desa di timur laut Jalur Gaza. Tak lama setelah lahir pada 1947 di desa itu, Ghaben dan keluarganya beserta segenap penduduk desanya terusir akibat Peristiwa Nakba seiring Perang Arab-Israel 1948. Hidupnya sudah pahit sedari kecil karena harus hidup dari tenda ke tenda di Kamp Pengungsian Jabaliya.
“Saya Fathi, dari kamp (pengungsi) Jabaliya, lahir pada tahun 1947. Kerasnya kehidupan mengharuskan saya putus sekolah di kelas enam sekolah dasar. Mengharuskan saya ikut mencari pekerjaan. Anak-anak Palestina dipaksa dewasa lebih cepat menjadi seorang pria sejati dan memenuhi kebutuhan keluarga,” tutur Ghaben dalam sebuah wawancara dengan majalah Sawt al-Bilad edisi September 1987.
Ghaben kecil bekerja serabutan jadi pekerja di perkebunan jeruk dan loper koran dan majalah untuk kantor Kamel Abed Rabu. Di sela pekerjaannya, Ghaben membunuh waktu dengan banyak membaca koran dan majalah yang ia jajakan, serta belajar menggambar secara otodidak.
“Sejak saat itu saya sudah sering membuat cerita bergambar untuk anak-anak lain dengan gambar-gambar yang menarik. Memang hidup saya menyedihkan tapi setidaknya saat itu belum ada pendudukan (Israel),” ujarnya saat diwawancara Hiyam Noir untuk kolom Palestine Chronicle, “Fathi Ghaben, Great Palestinian Painter” yang dimuat 15 Juli 2008.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Pasca-Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967), kanvas kehidupan Ghaben makin suram. Sejak saat itu Israel menduduki seluruh wilayah Palestina, baik Tepi Barat maupun Jalur Gaza. Kondisi itu memaksa Ghaben menjadi tenaga kerja di bawah otoritas Israel.
“Saat dimulainya pendudukan, terjadi pembantaian terhadap rakyat kami, tekanan psikis, serangan fisik, dan penahanan. Penduduk Jalur Gaza dipaksa bekerja di bawah otoritas Israel. Sebelum pendudukan kami miskin tapi kehidupan kami tenang. Lalu datang periode 1967 di mana tidak ada banyak kemungkinan buat kami untuk menafkahi keluarga walau setidaknya martabat dan kehormatan kami tetap utuh,” imbuhnya.
Namun gairah Ghaben untuk mengembangkan dirinya lewat lukisan tidak pernah luntur. Di sela pekerjaannya, ia mulai menjajakan lukisannya demi nafkah tambahan. Mulanya ia acap melukis lanskap dan keindahan alam, meski lama-kelamaan karya-karyanya mulai beralih pada tragedi, kehidupan sosial, politik, hingga perjuangan.
“Fathi Ghabin adalah seorang seniman yang lukisan-lukisannya membuatnya menjadi selebriti politik di dalam komunitasnya sendiri. Ghabin membuat karyanya berdasarkan keterlibatannya dalam aktivitas komunitasnya sehari-hari memprotes pendudukan,” tulis Philip Mattar dalam Encyclopedia of the Palestinians.
Baca juga: Kurikulum Merdeka di Palestina
Tak ayal Ghaben mulai diincar aparat Israel. Pada 1970 Ghaben dipenjara dengan tuduhan menanam bom dalam sebuah aksi unjuk rasa. Itu kali pertama Ghaben dipenjara. Hingga 1980-an, bak tokoh Indonesia Tan Malaka, Ghaben acap hidup dari penjara ke penjara.
“Ada beberapa tuduhan kepada saya tapi mereka (otoritas Israel) tak menemukan satupun bukti bahwa saya bersalah. Saya baru dibebaskan dari penjara setelah tujuh bulan,” sambung Ghaben.
Pun begitu, Ghaben tak pernah kapok. Sejak 1975 ia justru makin gencar membuat banyak karya yang membuat otoritas Israel resah. Salah satunya adalah lukisan potret keponakannya, Suhain. Suhain tewas ditembak tentara Israel di sebuah aksi unjuk rasa pada April 1982.
Banyak lukisan Ghaben yang kemudian dicetak menjadi poster-poster dan spanduk propaganda kebebasan Palestina. Akibatnya, Ghaben lagi-lagi dipenjarakan Israel berturut-turut pada 1975 dan 1984.
“Kali kedua mereka menangkap saya adalah pada 1975, di mana saya dipenjara selama 45 hari. Pada 1984 saya ditangkap lagi dengan motif (penghasutan) melalui lukisan-lukisan saya. Pengadilan Israel sampai menyita tujuh karya saya. Setelah dua hari ditahan, para aktivis perdamaian Israel memprotes dan menuntut pembebasan saya atas nama kebebasan berekspresi dalam seni,” kenangnya lagi.
Baca juga: Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan
Akan tetapi lewat lukisan saja takkan bisa memenuhi kebutuhan hidup Ghaben beserta anak-anak dan istrinya. Selebihnya selama 13 tahun, Ghaben menyambi pekerjaan sebagai guru seni privat di sekolah Islam Al-Naser.
“Alasannya karena kemiskinan dan minimnya sumber penghidupan di bawah masa pendudukan. Belum lagi sulit untuk membeli alat-alat (lukis). Namun saya bertahan meski saya harus membeli alat-alat buat saya berkarya dengan harga selangit. Saya menderita setiap hari tapi itulah harga bagi kreativitas seni saya demi perjuangan Palestina,” tandasnya.
Atas perjuangan dan pengabdiannya di bidang seni, ia menerima banyak penghargaan. Di antaranya Medali Pedang Kanaan dari Presiden Yasser Arafat dan Piagam Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan, dan Seni dari Presiden Mahmoud Abbas pada 2015, serta Annual Media Freedom Awards Appreciation dari kantor berita Safa News Agency pada Juli 2023.