Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Setengah juta penduduk kota Gaza mengungsi ke selatan. Déjà vu peristiwa Nakba 75 tahun silam.
WAJAH perempuan sepuh itu sudah penuh keriput. Dari sela kerudung putihnya tampak rambutnya sudah memutih seluruhnya. Tubuhnya pun sudah membungkuk hingga tangannya harus digandeng dua kerabatnya saat terpaksa berjalan kaki dengan tergopoh-gopoh mengungsi dari kota Gaza, Palestina.
Anam, begitu perempuan renta itu teridentifikasi dalam video berdurasi 24 detik yang di-posting Belal Khaled, fotografer dan videografer lepas untuk Time, The Wall Street Journal, dan Al Jazeera di akun Instagramnya, @belalkh, Jumat (10/11/2023). Tampak di belakang Anam dan dua kerabatnya, sejumlah warga kota Gaza yang lain berbondong-bondong melakukan eksodus baik dengan hanya berjalan kaki atau menggunakan gerobak yang ditarik keledai.
“Anam berusia 90 tahun. Hidupnya sudah melewati (peristiwa) Nakba pada 1948 dan hari ini ia kehilangan tempat tinggal lagi dari kota (Gaza) ke selatan Jalur Gaza,” tulis Khaled dalam keterangan video itu.
Di hari itu, Anam bersama belasan ribu warga kota Gaza mengungsi untuk menghindari kebrutalan tentara Israel yang sudah merangsek ke utara Jalur Gaza dan jantung kota. Serangan pasukan Zionis makin intensif setelah merasa di atas angin karena dibekingi Prancis, Jerman, Inggris, dan utamanya Amerika Serikat.
Seruan resolusi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 31 Oktober 2023 untuk mendesak gencatan senjata pun diabaikan negeri Zionis itu. Tel Aviv bahkan makin di atas angin lantaran parlemen Amerika menyetujui paket bantuan senilai 13,3 miliar dolar untuk Israel pada 2 November silam.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Sementara, banyak negara lain bungkam saat Israel secara terbuka terus melancarkan genosida dengan pengeboman nyaris tiada henti selama lebih dari sebulan terakhir ke permukiman, kamp-kamp pengungsian, sekolah-sekolah PBB, rumah ibadah hingga rumahsakit. Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara juga termasuk jadi sasaran. Hingga Jumat, (10/11/2023), sudah lebih dari 11 ribu warga sipil Gaza tewas.
“Korbannya termasuk 4.506 anak-anak, 3.027 perempuan, dan 678 lansia, sementara 27.490 lainnya terluka. Serangan Israel juga turut menewaskan 198 tenaga medis dan 53 ambulans hancur. Israel menargetkan 135 fasilitas kesehatan dan sudah membuat 21 rumahsakit dan 47 pusat kesehatan lainnya hancur total,” tutur Ashraf al-Qudra, juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina, dikutip Anadolu Ajansı, Jumat (10/11/2023).
Sejak pertengahan Oktober 2023, sudah mulai muncul gelombang pengungsian warga di utara Gaza dan jantung kota Gaza ke wilayah selatan. Namun seiring makin intensifnya serangan darat dan udara Israel pasca-jeda empat jam waktu yang diberikan Israel untuk ribuan warga Gaza meninggalkan tempat tinggalnya, lebih dari setengah juta warga Gaza menjadi tunawisma yang senasib dengan Anam.
“Pemboman terus-menerus, 6.000 bom dijatuhkan setiap pekan di Jalur Gaza, sebuah wilayah kecil di mana penduduknya terjebak dan kehancurannya masif. Memang ada jeda empat jam agar penduduk bisa bernafas dan mengingat seperti apa suara kehidupan tanpa pemboman sebelum pemboman dimulai lagi. Itu sangat sinis dan keji,” ungkap pelapor khusus PBB, Francesca Albanese, dilansir The New Arab, Jumat (10/11/2023).
Fakta itu makin menguak kemungkinan Israel ingin melakukan pembersihan etnis, yang makin diperkuat dengan bocornya sebuah dokumen ke publik pada 28 Oktober lewat. Adalah media Israel sendiri, Mekomit, yang menyingkap sebuah dokumen dari Kementerian Intelijen Israel yang isinya rencana untuk menyingkirkan dua juta penduduk Gaza ke Semanjung Sinai, Mesir. Meski begitu, Menteri Luar Negeri Amerika, Anthony Blinken, tak sepakat jika Jalur Gaza diklaim Israel.
“Gaza tidak boleh…untuk seterusnya (pemerintahannya) dijalankan Hamas; itu sama saja akan mengulang (serangan) 7 Oktober. Juga untuk lebih jelasnya Israel tidak boleh menduduki Gaza. Sekarang realitasnya mungkin dibutuhkan suatu periode transisi di akhir konflik. Kami tidak melihat adanya pendudukan kembali dan yang saya dengar dari para pemimpin Israel adalah mereka tidak berniat menduduki Gaza kembali,” tegas Blinken, disitat The Guardian, Rabu (8/11/2023).
Derita Peristiwa Nakba
Nakba artinya “bencana” dalam bahasa Arab, merujuk pada pengusiran dan eksodus orang-orang Palestina selama Perang Arab-Israel 1948, begitu yang diterangkan PBB dalam laman resminya. Namun kenyataannya lebih dari itu. Kelompok pergerakan Zionis yang menyingkirkan ratusan ribu warga Palestina turut meninggalkan getir intimidasi, persekusi, hingga pembantaian di balik itu. Parahnya, ada “tangan” PBB yang turut andil.
Semua berawal dari Inggris yang menyerahkan pemerintahan wilayah Palestina kepada PBB. Pada sidang majelis umumnya pada November 1947, PBB menghendaki tanah Palestina dibagi menjadi dua negara: untuk bangsa Palestina dan para imigran Yahudi.
Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Langkah tersebut didukung dan diakui Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika Liga Arab menolaknya, pecahlah Perang Arab-Israel (15 Mei 1948-10 Maret 1949). Seiring itu pula tanggal 15 Mei dikenal sebagai permulaan Hari Nakba.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Dampaknya, ratusan ribu penduduk Palestina terusir dari tanah tempat tinggal yang sudah mereka diami selama puluhan tahun. Menurut Benny Morris dalam Israel’s Border Wars, 1949-1956: Arab Infiltration, Israel Retaliation, and the Countdown to the Suez War, di hari pertama saja, 15 Mei, sebanyak 250-300 ribu orang Arab-Palestina harus terusir ke Mesir, Lebanon, Suriah, dan Yordania.
“Sekretaris Jenderal (sekjen) Liga Arab mengirim kabel kepada Sekjen PBB pada 15 Mei 1948 menjustifikasi intervensi negara-negara Arab yang menyebutkan bahwa, ‘seperempat juta populasi Arab (Palestina) telah terusir dari tempat tinggal mereka dan terpaksa pindah ke negara-negara Arab tetangga’,” tulis Morris.
Ratusan ribu penduduk yang terusir itu berasal dari sekitar 400 perkampungan Arab-Palestina di Tiberias, Haifa, dan Beersheba yang dihancurkan milisi Israel untuk memaksa penduduknya hengkang. Ribuan di antara mereka yang mencoba melawan atau sekadar bertahan, berujung jadi korban pembersihan etnis seperti yang terjadi di sejumlah desa.
Desa Deir Yassin salah satu yang paling awal dan paling parah yang dijadikan sasaran ofensif Zionis. Sekira 120 milisi Zionis membantai lebih dari 100 penduduknya. Atau peristiwa rudapaksa milisi-milisi Zionis cikal-bakal IDF (Israel Defense Forces/Tentara Israel) di sejumlah desa di Akra, Jaffa, dan Qula.
“Saya sendiri terkejut saat melihat arsip IDF. Tidak hanya pembantaian tapi juga ada banyak kasus pemerkosaan. Kurun April-Mei 1948 unit-unit Haganah (cikal-bakal IDF) memberi perintah operasional secara eksplisit untuk menghancurkan desa-desa dengan cara mereka sendiri. Tentang pemerkosaan, di Akra empat serdadu memerkosa seorang gadis dan membunuh ayahya. Di Jaffa juga oleh serdadu Brigade Kiryati, di Hunin dua gadis diperkosa lalu dibunuh. Juga di Tantura dan Haifa,” aku jurnalis Ha’aretz, Ari Shavit, dikutip Susan Slyomovics dalam artikelnya, “The Rape of Qula, a Destroyed Palestinian Village” yang termaktub dalam buku Nakba: Palestine, 1948, and the Claims of Memory.
Setidaknya ada selusin kasus di mana korban yang jadi tawanan diperkosa lalu dibunuh, lanjut Shavit. Apa yang tertera dalam arsip itu diyakini sang jurnalis hanya puncak gunung es karena kasus itu selalu jadi pola milisi-milisi Zionis setiap kali menyerang sebuah desa namun tak tercatat dalam arsip.
Sekira 30 ribu populasi Palestina memang bisa bertahan di Yerusalem. Tapi tercatat, sekira lima ribu orang kehilangan nyawa saat Israel melakukan pembersihan etnis di sejumlah wilayah yang dicaplok.
Pada 1950 usai perang, Israel mencaplok hampir 80 persen wilayah yang sebelumnya didiami populasi Arab-Palestina, menyisakan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara sekira 150 ribu penduduknya tetap bertahan di wilayah Israel dan terpaksa menjadi warga Israel.
Mereka yang terpaksa menjadi tunawisma dengan mengungsi di negara-negara tetangga mencapai sekitar 700 ribu jiwa. Sebagaimana yang dialami Mohamed Hadid, ayah dari kakak-adik supermodel Bella dan Gigi Hadid.
“1947/48 dan hari ini tiada yang berubah. Usia saya 9 tahun saat menjadi pengungsi ke perbatasan Suriah. Ayah saya sempat memberi perlindungan bagi beberapa tetangga Kristen kami, keluarga Khoury dan keluarga Sabagh melakukan hal yang sama di kota Safad. Sekarang semua orang tahu cerita bagaimana mereka yang enggan pergi akan dibantai. Ayah saya tak pernah berkata hal buruk tentang Yahudi. Ayah dan ibu saya tak ingin menularkan kebencian di hati kami,” ungkapnya di akun Instagram-nya, @mohamehadid, 21 Oktober 2023.
Sejak saat itu, Israel merekayasa historiografinya. Utamanya Soal Peristiwa Nakba yang hingga kini menjadi trauma kolektif bagi masyarakat Palestina.
“Palestina pada 1948 adalah kasus tipikal sebuah sejarah yang penuh kekosongan antara sejarah yang direkayasa oleh historiografi Israel dan absennya historiografi sejarah Arab atau Palestina. Historiografi Israel mengadopsi penyangkalan Nakba dan menolak untuk mendengar suara dan kesaksian para korban. Sebaliknya historiografi Arab dan Palestina tak pernah berhasil membentuk satu narasi yang solid dan lengkap untuk mengonfrontasikan beban perang 1948 yang pada akhirnya melahirkan masalah pengungsi Palestina yang menjadi jantung dari konflik Israel-Arab sampai saat ini,” tukas Abdel Jawad, sejarawan Universitas Birzeit, dikutip Slyomovics.
Baca juga: Duka Desa Tantura di Palestina
Tambahkan komentar
Belum ada komentar