Alkisah Gereja Tertua di Gaza
Dalam sebulan serangan Israel ke Jalur Gaza, sudah 203 sekolah, 52 masjid, dan tiga gereja yang terdampak. Salah satunya gereja tertua ketiga di dunia.
PASTUR Hanna Maher tak henti-hentinya memanjatkan doa. Istri dan ketiga anaknya masih terjebak di Jalur Gaza, Palestina. Makin hari ia makin cemas karena serangan Israel kian membabi-buta, termasuk menargetkan gereja.
“Saya merasa seperti ibu dan saudarinya Musa setelah mereka meninggalkan Musa di semak belukar. Yang saya bisa lakukan hanya menyaksikan dari jauh,” ujar Pastur Maher lirih, dikutip Christianity Today, Jumat (3/11/2023).
Pastur Maher pergi ke Mesir untuk sementara meninggalkan istri dan ketiga anaknya pada 28 September silam untuk mencari kemitraan denominasi atau kelompok keagamaan. Nahasnya, hampir dua pekan berselang Gaza membara dan semua akses keluar-masuk ditutup rapat.
Terakhir kali Pastur Maher mengontak, Janet istrinya dan ketiga anaknya masih berlindung di Gereja Santo Porphyrius. Tak hanya kekurangan suplai makanan, nyawa mereka acap terancam serangan-serangan Israel.
Sudah sebulan ini Israel menyerang Jalur Gaza dengan tidak pandang bulu. Ribuan warga sipil Palestina menjadi korban, sejumlah sekolah dan bangunan ibadah turut terdampak. Sebanyak 203 sekolah, 52 masjid, dan tiga gereja rusak akibat serangan udara Israel. Satu dari tiga yang jadi korban adalah gereja ortodoks Yunani Santo Porphyrius. Gereja yang disebut-sebut sebagai gereja tertua di Gaza ini ditargetkan Israel pada 19 Oktober silam. Gereja lain yang juga terdampak adalah Gereja Baptis Gaza dan Gereja Keluarga Kudus Gaza yang halamannya terkena serangan udara pada 1 November 2023.
“Saya tak bisa konsentrasi. Saya tak punya energi dan saya tidak bisa tidur sejak serangan ke gereja itu. Saya hanya bisa menyaksikan berita dan berdoa untuk keluarga saya. Istri saya bertanya, ‘ke mana mereka bisa pergi? Ke gereja Katolik?’ Gerejanya penuh (pengungsi). ‘Kembali ke apartemen?’ Tidak akan ada makanan. ‘Mengungsi ke selatan?’ Rasanya itu mustahil,” tukas Pastur Maher.
Saat jet-jet tempur Israel menyerang, ada sekira 500 penduduk Muslim maupun Kristiani yang sedang berlindung di Kompleks Gereja Santo Porphyrius. Serangan udara itu menghancurkan bagian eksterior dan beberapa lorong gereja hingga menewaskan 18 jiwa dan puluhan lainnya luka-luka.
Pihak Israel “ngotot” mereka hanya menyerang sebuah bangunan dekat gereja yang diduga markas komando milisi Hamas. Namun sejumlah petinggi organisasi Nasrani membantahnya dengan mengecam tindakan Israel sebagai kejahatan perang.
“Menargetkan gereja dan institusi-institusinya, serta tempat perlindungan untuk para penduduk sipil tak berdosa, terutama anak-anak dan perempuan yang kehilangan tempat tinggal karena serangan udara Israel, merupakan sebuah kejahatan perang yang tak bisa diabaikan,” ungkap pernyataan resmi Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem, dilansir Al Jazeera, 20 Oktober 2023.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Peninggalan Penyebar Kristen Ortodoks
Gereja Santo Porphyrius, ungkap Rania Filfil Almbaid dalam “Gaza: The Missing Tourism Assets” yang termaktub dalam buku The Politics and Power of Tourism in Palestine, hingga ini tercatat sebagai gereja tertua ketiga di dunia yang masih aktif digunakan untuk ibadah umat Kristen Ortodoks Yunani. Kompleks gereja yang bernaung di bawah Patriarkat Ortodoks Yunani Yerusalem itu memiliki luas 22,9 x 8,9 meter dan berlokasi di Alun-Alun Zaytun, kota tua Gaza.
“Gereja Santo Porphyrius berbentuk persegi panjang, di ujungnya terdapat kubah setengah lingkaran. Akses jalan masuk di sisi selatannya berada 1,8 meter di bawah tanah dan tiga meter di sisi selatan. Gerejanya terdiri dari satu lorong besar yang bercabang menjadi dua dan berbentuk setengah lingkaran. Arsitektur dan konstruksinya sangat mirip dengan bekas Katedral Santo Johannes Baptis (kini Masjid Agung Gaza),” tulis Almbaid.
Baca juga: Para Pembangun Yerusalem
Sesuai namanya, gereja itu didedikasikan untuk Porphyrius (347-420 Masehi). Ia tokoh yang menyebarkan agama dan menjadi uskup di Gaza sepanjang 395-420 M.
“Porphyrius datang ke Gaza dari Salonica, kota tua yang dikelilingi delapan gerbang. Saat itu usianya sudah 45 tahun dan ia mendapat tugas besar. Terlepas dari ia berasal dari keluarga Kristani yang beberapa di antaranya menjadi martir (dalam Persekusi Diocletianic 303 M), ia datang ke tempat yang mayoritas populasinya masih menyembah berhala,” ungkap Janine di Giovanni dalam The Vanishing: Faith, Loss, and the Twilight of Christianity in the Land of the Prophets.
Dalam menyebarkan agama, Porphyrius tidak sekadar merangkul penduduk Gaza untuk memeluk Kristen tapi juga menghancurkan banyak kuil berhala, serta membangun sejumlah gereja. Untuk membangun gereja, dananya ia dapatkan dari Ratu Eudoxia di Konstantinopel.
“Pada Mei 402, dimulailah pembakaran dan penghancuran kuil-kuil dan berhala di Gaza. Porphyrius mengawalinya dengan penghancuran Kuil Marneion yang dibangun Kaisar Hadrian untuk menghormati dewa pertanian, Zeus Marnas. Lalu gereja dibangun di atasnya dinamai dengan mengabadikan Ratu Eudoxia yang dibangun pada tahun 407. Paganisme pun berakhir dan Kekristenan berjaya,” lanjutnya.
Uskup Porphyrius wafat pada 26 Februari 420 M. Jasadnya dimakamkan di Gaza.
Lima tahun berselang, para pengikutnya membangun gereja kecil yang kemudian menjadi Gereja Santo Porphyrius. Akan tetapi pada tahun 640 gerejanya dihancurkan pasukan Persia. Lalu sepanjang kedatangan Islam, banyak umat Kristen yang memilih pindah dari Gaza. Gereja Porphyrius baru dibangun kembali pada abad ke-12 oleh pasukan Perang Salib.
“Kesamaan arsitektur dan pembangunannya mirip dengan gereja Latin lain di Gaza mengindikasikan gereja itu sempat hancur dan dibangun kembali (oleh pasukan Perang Salib) pada sekitar tahun 1150 atau 1160. Pada abad ke-12 itu memang gerejanya didedikasikan untuk Santo Porphyrius tapi di sisi lain sejak saat itu gerejanya juga didedikasikan untuk Bunda Maria,” tulis Denys Pringle dalam The Churches of the Crusader Kingdom of Jerusalem: A Corpus, Volume 1.
Pada 1856, gereja itu direnovasi lagi. Selain bentuk arsitektur dari era Perang Salib tetap diplihara, kompleks gerejanya sedikit diperluas. Tetapi sejak Perang Enam Hari pecah pada 1967, Gereja Santo Porphyrius tak luput dari sasaran serangan Israel.
“Beberapa kali bangunan gereja rusak oleh pemboman Israel dan sebagaimana diungkapkan anggota komunitas Ortodoks Yunani, banyak di antara artefaknya dijarah tentra Israel pada 1967 dan dipindahkan ke beberapa museum di Yerusalem,” ungkap Sarah Irving dalam Palestine.
Pun dalam konflik-konflik yang tak berujung antara Palestina-Israel sejak saat itu, Gereja Santo Porphyrius nyaris tak pernah luput dari serangan Israel. Padahal gereja itu acap jadi tempat berlindung para penduduk yang tak hanya memeluk Kristen Ortodoks tapi juga penduduk Muslim.
“Pada serangan Israel ke Gaza di musim panas 2014, gerejanya juga jadi tempat berlindung penduduk dan keluarga yang tempat tinggalnya dihancurkan. Seiring perang yang terjadi pada bulan suci Ramadhan, ibadah Laylat Alqadr (Salat Tarawih) yang jadi malam amalan Nabi Muhammad (SAW) pun didirikan di halaman gereja,” tandas Almbaid.
Baca juga: Gereja Kutuk Tentara Belanda
Tambahkan komentar
Belum ada komentar