Gaza dalam Lintasan Sejarah
Dari Peradaban Zaman Perunggu, Gaza menjadi “penjara ruang terbuka” bagi jutaan sipil Palestina.
BALASAN Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke Jalur Gaza, Palestina lepas serangan roket Hamas pada 7 Oktober 2023 makin menggila. Tak hanya memutus semua akses kebutuhan hidup dasar untuk penduduk sipil Palestina, serangan-serangan IDF turut menyasar permukiman, kamp pengungsian, dan rumahsakit.
Kementerian Luar Negeri Palestina dalam sejumlah posting-an di akun X-nya, @pmofa, pada Rabu (18/10/2023) mengungkapkan, sudah lebih dari tiga ribu jiwa yang tewas dan 12 ribu terluka. Jumlah itu sudah termasuk ratusan orang yang tewas kala Israel membombardir Rumahsakit Al-Ahli Arab atau Rumahsakit Baptist di pusat kota Gaza.
Kecaman pun bermunculan. Tak hanya dari WCC atau Dewan Gereja Dunia tapi juga sejumlah badan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“UNICEF mengecam keras serangan terhadap Rumahsakit Al Ahli Arab di Gaza yang menelan ratusan korban sipil yang tewas dan terluka. Kami menyerukan perlindungan terhadap semua warga sipil, termasuk anak-anak dan infrastruktur kebutuhan mereka. Kami mendesak gencatan senjata sesegera mungkin dan akses terhadap bantuan kemanusiaan,” ungkap badan dana amal anak-anak PBB di akun X-nya, @UNICEF, Rabu (18/10/2023).
Baca juga: Bom Fosfor Putih dari Dublin hingga Gaza
Namun bantuan kemanusiaan masih nyaris mustahil untuk masuk ke Gaza. Selama menyerang Gaza secara membabi-buta, Israel juga menghentikan suplai air, makanan, hingga listrik ke Gaza.
Rafah sebagai satu-satunya gerbang perbatasan –di selatan Gaza– untuk bisa mengungsi menuju Mesir atau jalur keluar-masuk bantuan kemanusiaan pun masih diblokade Israel. Tak ayal banyak pihak, termasuk Human Rights Watch (HRW) menyebut Jalur Gaza sebagai open-air prison atau penjara ruang terbuka sejak 2007 seiring Hamas yang jadi bebuyutan zionis Israel merebut kekuasan politik di Gaza.
“Bagi banyak orang, sudah bukan rahasia lagi bahwa Gaza sudah menjadi penjara ruang terbuka dengan jutaan orang kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar mereka. Menargetkan warga sipil adalah kejahatan perang, peduli setan siapa pelakunya. Blokade Israel terhadap suplai makanan, air, dan kebutuhan lain ke Gaza adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional,” seru Senator Amerika Serikat, Bernie Sanders, dikutip Business Insider, 11 Oktober 2023.
Titik Temu Jalur Perdagangan Asia dan Afrika
Wilayahnya sempit. Hanya sekitar 365 kilometer persegi luasnya yang membentang dari Erez di ujung utara hingga Rafah di ujung selatan. Posisinya pun “terpojok”: berada di pinggir Laut Mediterania di sebelah barat, Gaza tentu juga diblokade Angkatan Laut (AL) IDF sejak 16 tahun lewat.
Baik di utara maupun barat, Gaza berbatasan langsung dengan wilayah Israel. Ia terpisah dari Tepi Barat yang sama-sama merupakan wilayah negara Palestina sejak berdirinya pada 1988. Hanya selatan ia berbatasan dengan Mesir yang “bersahabat”. Begitulah gambaran geografis Jalur Gaza warisan Resolusi PBB 1947.
Padahal, sejak Zaman Perunggu (3300-1200 Sebelum Masehi) wilayah Gaza jadi tempat bermukim banyak bangsa. Nama “Gaza” sudah ada sejak abad ke-15 SM dari catatan penguasa Mesir Kuno, Thutmose III. Gaza berarti tangguh atau kuat. Michael Dumper dkk. dalam Cities of the Middle East and North Africa: A Historical Encyclopedia mengungkapkan, sejumlah temuan arkeologis membuktikan kota Gaza menjadi salah satu kota tertua di dunia yang jadi titik temu jalur perdagangan laut antara Afrika Utara dan Levant (kini Siprus hingga Suriah). Bukti arkeologis lain juga menyebutkan bahwa bangsa Kanaan sudah bermukim di Tell es-Sakan (kini lima kilometer selatan kota Gaza) di Zaman Perunggu (abad ke-14 SM).
Baca juga: Goliat yang Gagah dari Filistin
Gaza, sebagaimana diungkapkan Colin Fluxman dalam audiobook bertajuk Ancient Gaza: The History and Legacy of the Crucial Territory during Antiquity, kemudian silih berganti dikuasai oleh kaum Filistin, Babilonia, Yunani, Mesir, hingga Romawi di abad ke-6 SM. Gaza memainkan peran sebagai sistem pertahanan pesisir bagi tiap pihak yang menguasai dari zaman ke zaman.
“Bangsa Filistin menghilang sekitar abad ke-6 SM. Sementara bangsa Romawi setelah menaklukkan pemberontakan orang-orang Yahudi di Yudea (tahun 66-70 Masehi), orang-orang Romawi menamai wilayahnya sebagai provinsi Palaestina. Penamaan itu merupakan upaya untuk menghapuskan ingatan pemberontakan Yahudi,” ungkap Fluxman yang menarasikan audiobook tersebut.
Gaza selalu jadi wilayah rebutan bagi setiap penakluk yang ingin menguasai Asia, Afrika, dan Eropa. Entah bangsa Romawi, Mongol, Utsmaniyah, bahkan Napoleon Bonaparte sepanjang ekspedisinya ke Mesir dan Suriah (1798-1801). Kekalahan Napoleon membuat Gaza kembali jatuh ke pangkuan Kesultanan Utsmaniyah.
Baru pada 1917, Palestina direbut Inggris dari Utsmaniyah, termasuk Gaza. Hingga 1948, Gaza berada di bawah pemerintahan Mandatory Palestine yang dikontrol wakil mahkota tinggi Inggris. Masyarakat Muslim, Yahudi, dan Nasrani hidup rukun kala itu. Namun, semuanya berubah usai Inggris menyerahkan urusan Palestina ke tangan PBB mulai 1947.
Baca juga: Para Pembangun Yerusalem
Resolusi PBB Memisahkan Palestina
Dua tahun lepas Perang Dunia II, PBB mengambilalih Palestina dari Inggris. Sidang Majelis Umum PBB pada 29 November 1947 menetapkan Resolusi 181 atau Rencana Pemisahan Palestina.
Beberapa butir resolusinya menyebutkan Inggris diharuskan menarik mundur militernya dari Palestina paling lambat 1 Agustus 1948. Lalu, rencana pendirian negara Arab dan negara Yahudi yang berdaulat, serta satu wilayah otoritas khusus internasional untuk menaungi kota Yerusalem.
“Rencana (resolusi) itu untuk menyelesaikan konflik yang berasal dari klaim dua pihak, pergerakan nasionalisme Palestina dan Zionisme. Rencana itu juga mendesak adanya perjanjian ekonomi dan perlindungan terhadap hak-hak keagamaan dan minoritas, di mana pelaksanaannya diserahkan kepada UNSCOP atau Komite Khusus PBB untuk Palestina,” ungkap William B. Quandt dkk dalam The Politics of Palestinian Nationalism.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Namun, sejumlah petinggi nasionalis Arab Palestina dan Liga Arab menganggap rencana pembagian wilayah itu tidak adil lantaran UNSCOP terang-terangan berkolaborasi dengan organisasi Yahudi internasional. Rencana pemisahannya oleh Komite Ad Hoc UNSCOP berupa wilayah negara Palestina di Jalur Gaza yang membentang dari Isdud di utara sampai Auja di selatan. Sementara Tepi Barat berwilayah dari Akra di utara sampai kota perbatasan Beersheba di selatan dengan ibukotanya di Yerusalem Timur.
Sekira 62 persen sisa dari bekas wilayah Mandatory Palestina menjadi wilayah negara Yahudi atau Israel, membentang dari Safad dan Tiberias di utara hingga Teluk Aqaba. Hanya kota Yerusalem yang kemudian direncanakan diduduki otoritas khusus internasional.
Kendati mendapat banyak tentangan dari pihak nasionalis Arab dan Liga Arab, rencana PBB jalan terus. Terlebih pihak Zionis merasa di atas angin karena mendapatkan dukungan Amerika Serikat.
“Pihak Zionis intens melobi Gedung Putih untuk mendorong rencana UNSCOP. Partai Demokrat yang mayoritas penyandang dananya orang Yahudi, menekan Truman bahwa jika ia tak mendukung klaim pihak Yahudi di Palestina maka akan berefek bahaya bagi partai,” tulis Michael Joseph Cohen dalam Truman and Israel.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Alhasil, Amerika pun jadi “kepanjangan tangan” Zionis untuk menekan sejumlah anggota PBB saat voting Majelis Umum untuk memutuskan realisasi rencana pemisahan tersebut. Banyak anggota yang “diintimidasi” bahwa takkan ada dukungan dana apapun lagi dari Amerika jika menolak. Dari beberapa negara, akhirnya hanya 13 negara yang menolak Resolusi PBB 181. India salah satunya.
“Perdana Menteri (India) Jawaharlal Nehru sampai marah. Ia menyatakan pihak Zionis tak hanya mencoba menyuapnya tapi juga mencoba menyuap adiknya yang menjabat Duta Besar India untuk PBB, Vijaya Lakhsmi Pandit,” ungkap Najma Heptulla dalam Indo-West Asian Relations: The Nehru Era.
Namun mayoritas menyetujui Resolusi PBB 181. Maka jadilah wilayah Yahudi tadi dikuasai negara Israel yang kemudian berdiri pada 1948. Sementara, wilayah Arab dibagi dua untuk sementara, di mana Jalur Gaza diduduki Mesir dan Tepi Barat bernaung di bawah Yordania.
Alih-alih menyelesaikan konflik Arab-Israel, pembagian itu justru mengkristal pada Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel Ketiga (5-10 Juni 1967). Akibatnya Israel sebagai pemenang menguasai nyaris seluruh wilayah Gaza dan Tepi Barat.
Namun selama penjajahan Israel, perlawanan di Gaza dan Tepi Barat tak pernah reda. Intifada Pertama pada Desember 1987 berujung pada Konferensi Perdamaian Madrid 1991 dan Perjanjian Oslo 1993, serta berdirinya Otoritas Nasional Palestina PNA pada 13 September 1993. Meski IDF mundur dari Gaza dan Tepi Barat, bukan berarti penindasan dan aksi-aksi teror IDF terhadap sipil Palestina berhenti.
Belenggu Israel terhadap Palestina, utamanya Jalur Gaza, makin diperkuat sejak organisasi Hamas mengalahkan Fatah dalam pemilu Palestina hingga kemudian Gaza dikuasai Hamas. Sebagai balasan perlawanan dari Hamas, Israel mulai memblokade pesisir laut dan mengontrol suplai air hingga listrik ke Gaza hingga kini menjadikannya penjara ruang terbuka terbesar bagi jutaan sipil Palestina.
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Tambahkan komentar
Belum ada komentar