Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Trump mengabaikan kebijakan luar negeri AS terkait Yerusalem sejak 1948. Dunia mengecam.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump melempar bola panas pada Rabu, 6 Desember 2017, lalu. Selain secara sepihak mengakui Yerusalaem resmi sebagai ibukota Israel, dia juga memerintahkan Kedutaan Besar (Kedubes) AS segera dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pernyataan itu langsung membuat berang negara-negara yang selama ini berada di belakang Palestina, termasuk Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) melayangkan kecaman di Istana Bogor sehari setelah pernyataan Trump itu. “Indonesia mengecam keras pengakuan sepihak AS terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel dan meminta AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Pengakuan sepihak tersebut melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan (DK) dan Majelis Umum PBB yang AS menjadi anggota tetapnya, serta bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia,” kata Jokowi dalam pernyatan pers-nya.
Selain melontarkan kecaman, pemerintah juga memanggil duta besar AS untuk Indonesia dan melontarkan protes. Indonesia juga mendesak para anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk menggelar sidang khusus.
Kecaman tak hanya datang dari negara-negara Islam atau negara dengan mayoritas penduduk muslim. Uni Eropa, Paus Fransiskus, dan PBB sendiri –yang selama ini acap mengeluarkan resolusi dewan keamanan terkait Yerusalem– ikut mengecam.
“Alasan Trump soal pengumuman akan pindahnya Kedubes AS (dari Tel Aviv ke Yerusalem) adalah dalam rangka memenuhi janji kampanye. Namun demikian, justru akan memicu instabilitas di kawasan dan dunia, serta mengganggu proses perdamaian Palestina-Israel,” ujar guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana kepada Historia.
Palestina dan khususnya Yerusalem telah ditangani PBB sejak setahun sebelum lepas dari British Mandatory 1948. Lewat “Jerusalem Corpus Separatum”, PBB merencanakan pemerintahan yang bakal menguasai Yerusalem berasal dari dunia internasional.
Namun belum lagi resolusi 181 PBB itu berjalan, Israel keburu menyatakan kemerdekaan pada 1948 yang diikuti hengkangnya Inggris dari Palestina.
Berdirinya Israel menyebabkan Yerusalem terpecah dua: Yerusalem Barat dikuasai Israel, sementara Yerusalem Timur dan Tepi Barat dikuasai Yordania. Pemecahan ini kemudian memicu aksi saling usir keduabelah pihak. Benny Morris dalam 1948: A History of the First Arab-Israeli War mencatat, 1500 penduduk Yahudi diusir dari kota tua Yerusalem dan ratusan lainya diciduki Legiun Arab. Sementara, di sisi barat, sekitar 30 ribu penduduk Arab kehilangan tempat tinggal mereka di Katamon dan Talbiya.
Perang Arab-Israel I pun pecah pada medio Mei 1948. Perang yang berlangsung selama 9 bulan 3 minggu 2 hari itu berakhir setelah Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah melakukan gencatan senjata di bawah supervisi PBB.
Yerusalem sendiri dideklarasikan menjadi ibukota Israel meski Yerusalem Timur kemudian dianeksasi Yordania pada 1950 dan tiga tahun kemudian dinyatakan menjadi “ibukota” kedua Yordania (setelah Amman). Inggris dan Pakistan mengakui klaim Yordania itu.
Kota yang disucikan tiga agama besar itu kembali jadi saksi bisu peperangan ketika Israel kembali adu kuat melawan Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Yordania dalam Perang Enam Hari, 5-10 Juni 1967. Meski dikeroyok, Israel yang disokong AS memenangi perang dan berhasil merebut Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Kemenangan itu tak hanya membuat Israel berhasil menyatukan Yerusalem tapi juga menguasai situs-situs suci yang dikeramatkan umat Yahudi, Kristiani, dan Islam. Dengan kemenangan itu, hegemoni Israel di Timur Tengah kian melambung. Sejak itulah permukiman Yahudi di Yerusalem mulai menjamur.
Pada 19 Juni 1967, Israel memutuskan ingin berdamai dengan negara-negara tetangga dengan mengembalikan beberapa wilayah mereka. “Sinai dikembalikan ke Mesir, Dataran Tinggi Golan dikembalikan ke Suriah. Kami juga membuka negosiasi terbuka dengan Raja Hussein dari Yordania terkait perbatasan di timur,” ujar mantan Presiden Israel Chaim Herzog dalam otobiografinya, The War of Atonement: The Inside Story of the Yom Kippur War.
Namun, Yerusalem tetap dalam penguasaan Israel meski pemerintah negeri itu membuka akses ke tembok kota tua yang terdapat situs-situs suci Yahudi, Kristen dan Islam. Pada 1980, Parlemen Israel meloloskan sebuah undang-undang yang menyebutkan Yerusalem sepenuhnya adalah ibukota Israel.
Undang-undang yang melanggar hukum internasional itu menuai respon internasional. PBB langsung mengeluarkan Resolusi 478, yang isinya mengutuk tindakan sepihak Israel mengklaim status Yerusalem, pada 20 Agustus 1980. Resolusi itu memaksa negara-negara pendukung Israel yang sudah menetapkan misi diplomatiknya menarik diri dari Yerusalem.
Resolusi itulah yang tempo hari dilanggar Trump. Klaim sepihak Trump itu sekaligus mengakhiri kebijakan luar negeri AS terkait status Yerusalem yang sudah berjalan hampir tujuh dekade. Sebelumnya, AS bersama beberapa negara lain menyatakan tidak akan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel sejak negeri Zionis itu merdeka pada 1948.
Toh, klaim sepihak Trump belum tentu bakal diikuti tindakan nyata dalam waktu dekat. “Memang belum tentu pemindahan Kedubes AS itu akan direalisasi dalam waktu dekat. Memindahkan Kedubes secara fisik (bangunannya) dari Tel Aviv ke Yerusalem membutuhkan waktu yang panjang. Lagipula dia juga sudah menandatangani memorandum untuk mengenyampingkan UU yang mewajibkan kepindahan Kedubes AS untuk enam bulan ke depan,” tandas Hikmahanto.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar