Para Pembangun Yerusalem
Tentang para pemukim awal Yerusalem dan klaim politis atas sejarah kota suci bagi tiga agama monoteistik.
Kesucian Yerusalem atau al-Quds dalam bahasa Arab, telah lama diyakini jauh sebelum kemunculan tiga agama monoteistik: Islam,Yudaisme, dan Kristen. Adalah orang Kanaan yang diyakini mendirikan kota di wilayah Yerusalem sekarang pada 3.000 SM. Selain orang Islam, Kristen, dan Yahudi yang mengakui kesakralan Yerusalem, orang Kanaan pun menganggap kota ini sebagai ciptaan Tuhan mereka.
Sebagaimana ditulis Haitham F. Al-Ratout, arsitek dan arkeolog An-Najah National University, Palestina, dalam The Architectural Development of Al-Aqsa Mosque in the Early Islamic Period: Sacred Architecture in the Shape of the ‘Holy’, makna religius wilayah Yerusalem itulah yang mungkin telah mendorong kemakmuran arsitektur dan perkotaan kawasan itu bahkan sebelum ketiga agama itu lahir. Kesuciannya telah lebih dulu dipercaya bahkan sejak periode Kanaan pada 3.300–1.200 SM.
“Itu karena nama paling awal Uru-Salim mengacu pada nama Tuhan orang Kanaan,” tulis Haitham.
Pemukim Terawal
Apa yang disebut sebagai periode Kanaan adalah masa saat pertama kali sebuah kota berdiri di wilayah Yerusalem sekarang. Banyak yang yakin, orang Kanaan adalah pemukim asli Yerusalem.
Laman Live Science menjelaskan, orang Kanaan merupakan mereka yang tinggal di tanah Kanaan. Menurut teks-teks kuno, wilayah itu mungkin termasuk bagian dari Israel, Palestina, Lebanon, Suriah barat daya, dan Yordania pada zaman modern.
Baca juga: Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Kebanyakan pengetahuan para ahli tentang orang Kanaan berasal dari catatan yang ditinggalkan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Ditambah pula dengan temuan-temuan arkeologi di situs-situs yang diduga pernah didiami oleh orang Kanaan.
Jodi Magness, arkeolog, orientalis, dan sarjana agama, dalam The Archaeology of the Holy Land: From the Destruction of Solomon’s Temple to the Muslim Conquest menjelaskan temuan arkeologi yang sebagian besar berupa bejana tembikar dari kuburan kuno dan struktur dinding permukiman membuktikan bahwa Yerusalem pertama kali dihuni pada awal zaman perunggu, sekira 3.000 SM. Sementara pada zaman perunggu pertengahan, sekira 1.800 SM, permukiman itu telah dibentengi dan dilengkapi dengan sistem air yang canggih.
Teks dari Mesir Zaman Perunggu yang disebut Execration Text (1.900 SM) dan Surat el-Amarna (1.400 SM) mengkonfirmasi pula keberadaan permukiman di Yerusalem kala itu. “Dokumen-dokumen ini menyebut Yerusalem sebagai ‘Rushalimum’,” jelas Magness. “Nama itu mirip dengan sebutan ‘Uru-Salim’ yang tercatat kemudian dalam lempengan tanah liat, penemuan di el-Amarna, Mesir Tengah.”
Baca juga: DNA Yahudi pada Orang Indonesia
Israel Finkelstein, arkeolog, profesor emeritus di Universitas Tel Aviv, Israel, dalam The Forgotten Kingdom: The Archaeology and History of Northern Israel menjelaskan pada akhir abad ke-19 ditemukan 370 lempengan tanah liat di el-Amarna. Termasuk di dalamnya adalah korespondensi diplomatik Firaun Amenophis III dan Amenophis IV dan penguasa negara kota Kanaan.
“Orang-orang yang menulis atau menerima surat dari Mesir semuanya adalah penguasa negara kota,” catat Israel.
Menurut Haitham, kondisi geografis kota dan iklimnya yang moderat kemungkinan menjadi daya tarik orang Kanaan awal untuk menetap di tempat itu. Temuan arkeologis mengkonfirmasi kelangsungan penggunaan situs ini sampai setidaknya abad ke-8 SM, yakni ketika ekspansi ke arah utara dimulai.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Jatuh Bangun Kuil Solomon
Yerusalem menjadi penting bagi orang Yahudi ketika Raja Daud mulai membangun ibu kota kerajaannya di kota itu. Kitab Perjanjian Lama menggambarkan bagaimana pasukan yang dipimpin Raja Daud menembus tembok Yebus pada sekira 1.000 SM. Bagi Kristen dan Yahudi, Daud atau David adalah raja kedua Bani Israel, sedangkan bagi umat Islam, dia dipandang sebagai seorang nabi.
Menurut Alkitab, pada puncak bukit di mana Daud membangun altar pengorbanan, Solomo atau Sulaiman, putra Daud, mendirikan Kuil Yahudi Pertama pada abad ke-10 SM. Namun, kuil ini dibangun hanya untuk dirobohkan 400 tahun kemudian oleh pasukan Raja Babilonia, Nebukadnezar.
Sebagaimana dilansir Smithsonian Magazine, banyak orang Yahudi yang dikirim ke pengasingan kala itu. Mereka baru diizinkan kembali ke Yerusalem dari pengasingan usai Babilonia dikalahkan Kerajaan Persia. Pada 538 SM pembangunan Kuil Kedua pun dimulai.
Baca juga: Suatu Hari di Yerussalem
Kekuasaan Persia di tanah suci itu tak bertahan selamanya. Mereka dipaksa bertekuk lutut di bawah kuasa Raja Aleksander Agung dari Kekaisaran Makedonia. Pada 332 SM, kata Haitham, Kekaisaran Helenistik itu juga mencaplok Yerusalem sebagai bagian dari wilayahnya.
Pada sekira abad ke-2 SM, kekuasan atas kota itu berpindah lagi. Kali ini kepada Kaum Makabe. Mereka adalah pemimpin pasukan pemberontak Yahudi yang mengambil alih Provinsi Yudea.
Kota kembali hancur ketika pemerintahan Romawi dimulai pada 63 SM. Namun, ketika Raja Herodes berkuasa pada 37 SM pembangunan di kota itu kembali dilakukan, termasuk Kuil Kedua, yang kali ini diperluas dan diperbarui.
“Terjadi perluasan ke arah utara dan beberapa aktivitas di area Masjid al-Aqsa sekarang,” jelas Haitham.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Sayangnya, kuil kedua itu kembali dihancurkan oleh orang Romawi dalam pemberontakan Yahudi pada 70 M. Untuk kali ini kuil Yahudi itu tidak pernah dibangun kembali. Bukti arkeologi menegaskan peristiwa penghancuran dan betapa hampir musnahnya kota itu.
Adalah Titus Flavius Vespasianus yang bertanggung jawab membawa kehancuran pada Yerusalem. Titus terkenal sebagai komandan militer di bawah kepemimpinan ayahnya, Kaisar Romawi Vespasian, di Yudea selama Perang Yahudi-Romawi Pertama. Titus kemudian menggantikan ayahnya pada 79–81 M.
“Setelah penghancuran Kuil pada 70 M, orang Romawi mungkin telah mensucikan sebuah kuil atau patung,” kata Haitham. “Tetapi ketika agama Kristen mengambil alih kekaisaran, daerah itu tetap dibiarkan rusak.”
Baca juga: Sikap KAA pada Konflik Israel-Palestina
Pembangunan Gereja dan Masjid
Sebagai tempat penyaliban, kebangkitan dan kenaikan Kristus, serta banyak peristiwa lain dalam inkarnasi, Yerusalem pun dihormati secara luas dalam kekristenan. Ini terutama setelah Kaisar Konstantin Agung melegalkan agama itu pada 325 M. Ditambah pula ibunya, Helena, yang memastikan kawasan Yerusalem merupakan tempat di mana mukjizat terjadi di dalam hidup Kristus.
Alih-alih menggantikan kuil Yahudi yang hancur, orang Kristen membuat situs baru untuk memperingati peristiwa paling sakral dalam kepercayaan mereka. Lokasinya di Golgota, sebuah bukit di sebelah barat laut Temple Mount, di Christian Quarter kini. Tempat ini dihormati sebagai tempat penyaliban Kristus, gua penguburan dan kebangkitan-Nya.
“Ibu dari Kaisar Romawi Konstantin, mendirikan beberapa gereja di kota, termasuk Gereja Makam Suci,” lanjut Haitham.
Baca juga: Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban
Setelah penaklukan muslim atas Yerusalem pada 637 M, pembangunan lebih lanjut dimulai. Peran religius Yerusalem yang juga signifikan bagi Islam, menjadikan kota ini sebagai pusat keagamaan Khalifah Umayyah.
Bagi umat Islam, Bayt al-Maqdis atau Yerusalem adalah rumah bagi Masjidil Aqsa atau Al-Haram al-Sharif (Tanah Suci yang Mulia) yang merupakan kompleks seluas 144.000 meter persegi. Kompleks ini menampung beberapa bangunan penting, seperti Jami’ Al-Aqsha dengan kubah biru keabuan dan Kubah Shakhrah (Dome of the Rock), bangunan berbentuk persegi delapan berkubah emas.
Umat Muslim di seluruh dunia menghadap ke Masjidil Aqsa ketika salat dan berdoa, sebelum akhirnya kiblat berubah ke Kakbah di Makkah. Nabi Muhammad pun melakukan perjalanan malam hari bersama Malaikat Jibril dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa. Dari situ, Rasulullah diangkat ke langit ketujuh, bertemu dengan Allah Swt, dan menerima perintah salat lima waktu atau yang disebut dengan peristiwa Isra Mikraj.
“Kawasan suci ini dianggap keramat, baik oleh orang Muslim maupun Yahudi, sebagai tempat di mana Nabi Ibrahim (Abraham) dicegah untuk mengorbankan putranya Ismail atau Ishak bagi orang Kristen dan Yahudi, oleh Tuhan,” catat Aljazeera.
Baca juga: Makanan Orang Romawi Kuno
Kehadiran Masjid al-Aqsa termasuk Dome of the Rock dan bangunan besar lainnya, jaringan jalan, dan drainase menegaskan sejauh mana ledakan pembangunan yang dilakukan di bawah Khalifah kelima Dinasti Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (685–705 M) dan putranya Al-Walid Ι (705–715 M).
“Ini adalah periode terakhir pembangunan skala besar di Yerusalem hingga zaman modern,” lanjut Haitham.
Mencari Akar Agama
Pada masa modern, Haitham berpendapat, status Yerusalem sebagai kota suci menarik orang-orang Yahudi, Muslim, dan Kristen untuk menjelajahi akar sejarah dan geografis dari agama mereka masing-masing. “Investigasi semacam itu mungkin telah dilakukan oleh Helena [ibu Kaisar Konstantin],” catatnya.
Pada awal paruh kedua abad ke-19, beberapa otoritas dan institusi arkeologi Barat memulai eksplorasi Alkitabiah di Yerusalem. Banyak yang percaya, termasuk para ahli, bahwa Dome of the Rock dibangun di atas Kuil Pertama dan Kedua. Al-Haram al-Sharif bagi orang Yahudi pun dikenali sebagai Temple Mount.
Baca juga: Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan
Ratusan orang Yahudi Ortodoks hingga kini berkumpul dalam pengabdian di depan sisa-sisa tembok itu. “Ritual yang mungkin pertama kali terjadi pada abad ke-4 M dan telah dipraktikkan terus menerus sejak awal abad ke-16,” catat Smithsonian Magazine.
Masalahnya, sebagaimana dijelaskan Wendy Pullan, dkk., sarjana arsitektur dan studi perkotaan di Clare College, Cambridge, sekaligus Direktur Pusat Penelitian Konflik Perkotaan di Cambridge dalam The Struggle for Jerusalem’s Holy Places, tak ada lagi sisa-sisa peninggalan kuil-kuil itu yang masih bisa ditemukan pada masa kini. Sumber tentang adanya Kuil Pertama hanya didasarkan pada keterangan di Alkitab.
“Alasannya sederhana. Kuil Kedua dihancurkan sekira 600 tahun sebelum Dome of the Rock dibangun,” jelas Wendy.
Dari sudut pandang arkeologis, apa yang telah dihasilkan dari penelitian tentang kuil-kuil Solomon atau Herodian tampaknya tidak memuaskan para sarjana Alkitab. Kurangnya bukti arkeologis menyulitkan untuk membuat kesimpulan yang tegas.
“Berbagai hipotesis kontroversial tentang lokasi Kuil Yahudi lebih disebabkan oleh interpretasi politik daripada bukti yang lebih obyektif,” jelas Haitham. “Penggalian dan analisis ilmiah di area Masjid al-Aqsa saat ini tidak mengungkapkan aktivitas struktural apa pun dari abad ke-12 SM hingga abad ke-6 SM.”
Baca juga: Perdana Menteri Israel: Pemimpin Muslim Palestina Ada di Balik Holocaust, Bukan Hitler
Menurut Haitham, daripada berkeras bahwa tembok kuno yang kini tersisa sebagai bagian dari Kuil Herodes, masih ada pertimbangan lainnya. Misalnya, tembok itu adalah bagian dari tembok kota dan area tertutup di dalamnya adalah bagian dari Kota Yerusalem.
“Asumsi ini sebagian besar masih bersifat hipotesis, tetapi mungkin memberikan penjelasan dan interpretasi yang lebih baik tentang area yang luas ini,” jelas Haitham.
Sejauh ini para peneliti terlalu membatasi diri dengan berprasangka bahwa wilayah Al-Aqsa awalnya adalah Kuil Yahudi. Namun, menurut Haitham, jika dibandingkan dengan deskripsi kuil yang diterangkan dalam Alkitab, laporan Flavius Josephus, dan Kitab Mishnah, ukuranya tidak akan sesuai dengan enklave Al-Aqsa saat ini.
“Ini mengharuskan para sarjana untuk mencari kemungkinan lokasi lain bagi Kuil Yahudi,” tegas Haitham.
Baca juga: Pasang Surut Hubungan Lebanon-Israel
Seperti yang dilakukan Ernest L. Martin dalam “New Evidence for the Real Site of the Temple in Jerusalem (Abridged)” yang terbit dalam Bible and Spade (Second Run) BSPADE 14:4 (Fall 2001). Dia lebih yakin situs asli Kuil Yahudi letaknya bukan di Dome of the Rock atau Al-Haram al-Sharif. Menurutnya, situs yang asli berada di Mata Air Gihon, tepat di utara Kota Daud (Sion) kuno di punggung tenggara Yerusalem.
“Semua saat ini yang bertempur di Yerusalem untuk memperebutkan Al-Haram al-Sharif atau situs Kuil sedang berperang untuk tempat yang salah,” jelas Ernest.
Bagaimanapun, kata Eero Kalevi Junkkaala, arkeolog dan teolog Finlandia, dalam Three Conquests of Canaan, penelitian arkeologi Yerusalem penuh dengan kontroversi. Penelitiannya begitu sulit karena kota ini sudah tertutup oleh bangunan-bangunan yang lebih baru. Beberapa komunitas permukiman juga tak terputus, misalnya di Bukit Ophel yang ditempati sejak abad ke-10 hingga awal abad ke-6 SM.
“Hanya menyisakan sedikit dari aktivitas pembangunan sebelumnya. Bangunan tua terus-menerus dihancurkan, bangunan baru didirikan di atasnya,” jelas Eero.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar