SUATU pagi di jembatan keretaapi, Mak (diperankan Dewi Irawan) mendapati sesosok pemuda Papua dengan pakaian compang-camping tergolek tak sadarkan diri. Setelah diamati lebih dalam, orang itu ternyata masih hidup. Keduanya sama-sama kaget sampai Mak melayangkan tamparan spontan yang membuat pemuda Papua itu pingsan lagi.
Adegan kocak itu hanya sebagian dari pembuka drama komedi bertajuk Tabula Rasa garapan sutradara Adriyanto Dewo. Tabula Rasa mengisahkan perantauan Hans (Jimmy Kobogau) dari Serui ke Jakarta demi jadi pesepakbola.
Nasib getir menimpa Hans kemudian. Cedera patah kaki membunuh mimpinya hingga harus hidup menggelandang.
Baca juga: Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi
Cerita kemudian beralih ke adegan ajakan Mak pada Hans untuk membantu di rumah makan masakan Padang Takana Juo milik Mak. Rumah makan itu pasalnya hanya beroperasi dengan dibantu Natsir (Ozzol Ramdan) sebagai pelayan dan Parmanto (Yayu Unru) sebagai juru masaknya.
Hari di mana Mak menemukan Hans adalah hari spesial bagi penyintas gempa Padang 2009 itu. Mak meracik sendiri sajian istimewa untuk Hans, gulai kepala ikan kakap. Satu-dua suap, Hans menyesapi cita rasanya dan langsung jatuh hati pada kuliner Minang itu.
Baca juga: Bisnis Ikan Berkumis
Tetapi kehadiran Hans di RM Takana Juo tak disikapi hangat oleh Parmanto. Karena rumah makan mereka sedang sepi, tak semestinya mengambil karyawan baru. Alhasil Parmanto pilih angkat kaki.
Yang membuat Mak sakit hati adalah Parmanto bekerja di restoran Padang lebih besar tepat di seberang rumah makan mereka yang sederhana. Harapan Mak kini hanya bergantung pada Hans dan Natsir.
Mak mengajari Hans memasak aneka masakan Padang dengan sabar. Proses memasaknya masih memakai banyak peralatan sederhana, seperti tungku kayu bakar atau alat pemeras santan tradisional sebagaimana leluhur.
“Hans, ingat ini setiap masak randang ya. ‘Kurang kacau cik kambiangan, talampau kacau bapalantiangan.’ Kalau kurang diaduk, kuah santan akan menggumpal seperti tahi kambing. Aduknya pakai perasaan,” kata Mak berpesan dengan menyisipkan pantun.
Baca juga: Mengunyah Sejarah Randang
Namun, tetap saja rumah makan mereka sepi pengunjung. Mak, Hans, dan Natsir hanya menatap kosong saat melihat restoran lebih besar di seberang sedang ramai pembeli.
Dalam hati Hans, kunci mereka bisa menang persaingan hanya dengan menu istimewa yang pernah ia cicipi: gulai kepala ikan. Menu tersebut tidak dijajakan di semua rumah makan atau restoran Padang, termasuk Restoran Caniago yang jadi saingannya itu. Namun Mak urung mengabulkan ide Hans lantaran punya pengalaman getir terhadap sajian spesial itu.
Apakah Mak akan berubah pikiran? Apakah gulai kepala ikan itu akan menyelamatkan rumah makan mereka dari jurang kebangkrutan? Agar lebih seru, saksikan sendiri kelanjutannya di aplikasi daring Mola TV.
Gulai yang Menyatukan
Tabula Rasa memanjakan mata dengan aneka suguhan kuliner khas Minang dan telinga seperti kita sedang berada rumah makan Padang. Selain membumbui music scoring melankolis dan komikal di adegan-adengan jenaka, komposer Lie Indra Perkasa cukup banyak menyisipkan irama musik Melayu dan Minang.
Alur ceritanya memang cenderung klasik dan sederhana. Namun ibarat kuliner Minang itu sendiri, di sinilah letak esensinya: sarata nilai dan pesan di balik kesederhanaannya.
Kesederhanaan yang paling tampak namun punya makna mendalam adalah soal persatuan antarsesama orang Indonesia, antara Hans yang berasal dari timur dan Mak dari barat. Persatuan itu makin kuat lantaran adanya silang budaya, di mana Hans jatuh hati pada gulai kepala ikan khas Minang dan Mak menikmati masakan ikan kuah kuning dengan papeda Hans.
Baca juga: Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu
Semua itu dikemas dalam drama cantik yang bertolak dari riset mendalam. Tim produksi membuatnya dibantu advisor pakar kuliner Reno Andam Suri dan kakaknya, chef Adzan Tri Budiman. Risetnya dilakukan langsung di Pariaman, Sumatera Barat. Hasilnya kemudian dipresentasikan dalam sebuah workshop agar para pemerannya bisa menguasai teknik-teknik memasak dan juga menggunakan banyak peralatan tradisional.
“Karena enggak semua orang bisa masuk ke Sumatera Barat, ke dapur-dapur mereka karena dapur kan area tertutup. Enggak bisa berbagi cerita atau rahasia. Ya aku bantu karena sudah (mudah) lewat dari bukuku udah ketemu banyak ibu-ibu. Kita datang untuk bikin dokumentasi, untuk melihat dapur tradisionalnya juga, termasuk gimana bikin dapurnya Mak dalam film harus seperti apa,” kata Reno kepada Historia secara virtual.
Baca juga: Ikon Kuliner Kota Medan Tempo Dulu
Selain soal keotentikan cara meracik randang, yang jadi highlight dalam Tabula Rasa, yang tak kalah penting adalah soal cara mengolah dan menyajikan gulai kepala ikan khas Minang. Tidak seperti gulai dari daerah lain, gulai kepala ikan lazimnya dibuat orang-orang Minang dengan tidak menyajikan secara utuh dan matanya menghadap ke atas.
“Memang biasanya (gulai kepala ikan) disajikan terbalik, matanya di bawah. Dibelah dua dulu jadi kita enggak lihat (matanya). Ada yang bilang bahwa tega enggak tega lihat matanya. Ada yang bilang jadi lebih estetik,” imbuh penulis buku Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang dan Rendang: Minang Legacy to the World tersebut.
Gulai kepala ikan, diungkapkan Yuyun Alamsyah dalam Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional, sejak dulu jadi menu yang menggugah emosi dan menimbulkan pengalaman tersendiri bagi para penikmatnya. Cita rasa bumbu gulainya yang sensasional akan menggugah hati untuk berupaya keras mendapatkan daging yang sedikit di kepala ikannya.
“Cara makan dengan mengerahkan banyak tenaga baik dengan cara memecah kepala ikan sampai menghisap tulangnya ternyata menjadi kegiatan yang menyenangkan. Orang akan kembali menikmati gulai kepala ikan tidak hanya rasa gulainya yang sedap tapi cara makan yang unik,” tulis Yuyun.
Baca juga: Kriuk Sejarah Kerupuk
Hidangan itu, menurut Tabula Rasa, adalah versi gulai ikan khas pesisir dan perantauan yang memang jamak ditemui di rumah-rumah makan di luar Sumatera Barat. Perbedaannya dengan gulai dari daerah pedalaman Minang adalah penggunaan rempah-rempah yang lebih banyak.
“Jadi rata-rata orang (umum) mengenal gulai kepala ikan adalah (versi) orang-orang rantau: orang Bungus, orang Pariaman, Teluk Bayur; jadi orang pesisir. Orang rantau ini memasukkan rempah-rempah ke dalam gulainya. Bumbu dasarnya sama tapi kemudian yang rantau menambahkan rempah-rempah seiring perdagangan rempah-rempah,” sambung Reno.
Memang, berabad-abad lalu orang pedalaman Minangkabau banyak menanam rempah-rempah macam lada, damar, kayu manis, dan pala. Namun hasilnya diperdagangkan oleh para saudagar Aceh karena Minangkabau masuk dalam wilayah Kesultanan Aceh sejak awal abad ke-17.
“Mereka hanya menanam. Hasilnya dibawa oleh Aceh dan diperdagangkan sampai ke India dan ke mana-mana. Jadi perdagangan rempahnya itu ramai di pesisir. Kemudian ketika Aceh mengalami kemunduran, masuklah Belanda sehingga lebih terbuka. Tadinya begitu dikuasai Aceh itu inklusif, tertutup. Ketika mulai terbuka, masuklah lebih banyak orang-orang India sampai ke pesisir,” imbuh perintis bisnis kuliner rendang kemasan bermerk “Rendang Uni Farah” itu.
Baca juga: Banda, Rempah dan Titik Nol Indonesia
Maka, gulai kepala ikan dengan tambahan rempah-rempah, terutama gulai yang bumbunya sudah terkandung rempah-rempah asal India seperti kardamungu dan kapulaga, kemudian tak hanya dikenal masyarakat Minang tapi juga masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Satu yang tetap dilestarikan jadi ciri khas gulai kepala ikan Minang adalah pemakaian asam kandis dan daun ruku-ruku, sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu adegan Tabula Rasa.
“Jadi salah satu bahan utama yang ada di gulai kepala ikan adalah menambahkan asam kandis. Memang ada yang bilang asam kandis tanaman endemik Sumatera Barat, ada juga yang bilang itu dari India. Bedanya lagi, di Sumatera Barat pakai daun ruku-ruku. Kita (orang Minang) bangga banget dengan ruku-ruku itu untuk menghilangkan amis, menambah aroma dan buat menambah rasanya juga,” terang Reno.
Dari cara memasak dan komposisi bumbunya itu terkandung filosofi persatuan dari sekian yang berbeda, bhinneka tunggal ika. Jadi aneka kuliner kondang bersantan Minang, seperti gulai kepala ikan atau randang, bermula dari satu kumpulan bumbu dasar yang sama. Dari situ bisa lahir masakan yang berbeda-beda hanya karena berbeda proses memasaknya.
“Karena gulai sesungguhnya adalah proses memasak. Jadi bisa gulai apapun. Gulai kepala ikan, gulai tunjang, gulai (sayur) nangka dan sebagainya. Bumbu-bumbu membuat gulai itu adalah sama dengan membuat rendang. Makanya kalau ditanya sejarah sejak kapan gulai kepala ikan ada, hampir sama dengan waktu kapan kita mengenal randang,” jelasnya.
Baca juga: Hidangan Favorit Napoléon
Menurut Reno, cara orang Minang memasak hidangan bersantan berjenjang dengan tiga tahap: menggulai, kalio, dan merandang. Dari ketiga tahapan itu bisa lahir beraneka santapan. Daging sapi atau daging kerbau, misalnya, juga bisa digulai dan kepala ikan pun bisa dirandang.
“Kapan gulai kepala ikan itu dikenal? Ya seiring kita tahu ada randang. Karena menggulai adalah proses mematangkan bumbu-bumbu itu menjadi kuah santan yang sudah keluar sedikit minyaknya. Kalau sudah keluar lebih banyak minyaknya dan makin kental namanya kalio. Merandang jadi tahap akhir karena dia proses menihilkan air,” tandasnya.
Deskripsi Film:
Judul: Tabula Rasa | Sutradara: Adriyanto Dewo | Produser: Sheila Timothy | Pemain: Jimmy Kobogau, Dewi Irawan, Yayu Unru, Ozzol Ramdan | Produksi: Lifelike Pictures | Genre: Drama Komedi | Durasi: 107 menit | Rilis: 24 September 2014, Mola TV.