KOTA Bandung yang sejuk memang begitu kondusif jadi destinasi pelesiran sejak masa kolonial. Tapi di balik semua pesona yang dimilikinya itu, kota berjuluk “Kota Kembang” atau “Parijs van Java” yang juga kota pendidikan itu berangsur-angsur jadi kota pergerakan kebangsaan Indonesia. Hampir semua tokoh pergerakan dan organisasi yang bernafaskan nasionalisme baik sebelum maupun sesudah berdirinya Boedi Oetomo di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) Batavia (kini Jakarta) pada 20 Mei 1908 lahir di kota ini.
“Kota Bandung menurut Soekarno adalah kota ideologi pergerakan yang sangat khas dibanding dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Bila Surabaya sebagai kota basis pusat Sarekat Islam dengan ciri khas ideologi Islam Sosialis, maka Semarang lebih bermuatan ideologi Marxisme, sehingga kedua kota ini saling terhubung-berkaitan. Tetapi kota Bandung mempunyai yang berbeda. Di Bandung berkembang aliran pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia,” kata narasi yang terdapat di salah satu ruang pamer Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5 Kota Bandung.
Gedung Indonesia Menggugat di masa kolonial merupakan gedung Landraad (pengadilan khusus bumiputera). Di gedung ini Sukarno di hadapan majelis hakim kolonial menyampaikan pleidoinya yang sohor, “Indonesia Menggugat”.
Baca juga: Di Sekitar Indonesia Menggugat
Bandung sebagai kota ideologi kebangsaan dengan tujuan kemerdekaan penuh itu berkelindan dengan narasi “Bandung Bergerak” yang memenuhi ruang-ruang pamer di Museum Kota Bandung. Museum yang terletak di Jalan Aceh No. 47 Bandung ini hanya berjarak 700 meter dari Gedung Indonesia Menggugat.
Di ruang-ruang pamer Museum Kota Bandung terdapat sejumlah narasi para tokoh dan organisasi pendidikan hingga pergerakan yang lahir di Bandung pada awal abad ke-20. Di antaranya Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Istri di Pendopo Bandung; tokoh pers Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan suratkabar nasional pertama, Medan Prijaji, di Naripan (kini Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan) pada 21 Maret 1907; tiga serangkai Ernest Douwes Dekker-dr. Tjipto Mangoenkoesoemo-Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang mendirikan partai politik pertama Indische Partij pada 25 Desember 1912; Algemeene Studieclub yang didirikan Sukarno dkk. pada 9 April 1926 sebagai cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI, berdiri 4 Juli 1927); dan Emma Poeradiredja sebagai perempuan anggota Gementeraad Bandoeng (Dewan Kota Bandung) pada 1938.
“Padahal di masa itu Bandung belum termasuk kota besar. Tapi bahkan waktu ada kongres (All Indie Congres 1922) itu sudah ada wakil-wakil partai dari Jawa Timur dari daerah lain, sudah ikut hadir. Kebetulan karena di Bandung tokoh-tokoh partai (pergerakan) ada di Bandung. Seperti Sukarno, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan sebagainya. Yang jelas dari dulu Bandung juga kan kota pendidikan. Selain Sukarno juga banyak tokoh-tokoh yang bersekolah di Bandung. Tokoh Indische Partij si Douwes Dekker juga tinggalnya di Bandung,” ujar pemerhati sejarah cum penulis buku Album Bandoeng Tempo Doeloe (2005) Sudarsono Katam kepada Historia.ID.
Bandung Menginspirasi Sukarno
Dengan mendirikan Sakola Istri –khusus untuk perempuan– di Paseban Kulon Pendopo Balai Kota Bandung pada 12 Januari 1904, Dewi Sartika mendobrak patriarki di daerahnya. Setelah setahun berdiri dan berkembang pesat, sekolah itu berpindah lokasi dan berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Kini, bangunan sekolahnya masih berfungsi sebagai SD Dewi Sartika di Jalan Kautamaan Istri No. 12 Kota Bandung.
“Dia ingin memajukan pendidikan kaum bumiputera, utamanya perempuan. Itu karena proses setelah dia melihat penindasan dari Belanda. Maka dia bergerak di bidang pendidikan. Dia meminta bantuan bupati Bandung (Raden Adipati Aria Martanegara, kakek Dewi Sartika) dan dibolehkan buat sekolah di pendopo,” sambung Katam.
Sebagai “Kota pendidikan”, tentu bukan semata sekolah yang didirikan bumiputera macam Sakola Kautamaan Istri yang ada di Bandung. Sekolah “negeri” jelas banyak di sana. Di kemudian hari, sejumlah tokoh yang kelak jadi pemimpin bangsa pun pernah mengenyam pendidikan di kota ini. Sebelum sekolah hukum di Belanda, Sutan Sjahrir lebih dulu masuk Algemeene Middlebare School (AMS/setara SMA) di Bandung. Tan Malaka bahkan pernah mendirikan Sarekat Islam School di Bandung.
Baca juga: Sudarsono Katam "Merekam" Sejarah Urban Bandung
Oleh karenanya, sangat masuk akal bila Bung Karno melanjutkan sekolah tinggi di Bandung meskipun Bandung jadi opsi keduanya. Setelah rampung pendidikan di Hogere Burger School (HBS) Surabaya sembari “berguru” politik pada H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno memilih hijrah ke Bandung setelah diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Niatnya ingin seperti banyak pemuda macam Moh. Hatta dan Sjahrir yang kuliah di Belanda pupus karena kesulitan dana. Lagipula, Ida Ayu Nyoman Rai ibundanya juga kurang merestui jika putranya sampai harus jauh dari bangsa yang ia perjuangkan.
“Semua anak-anak yang lulus dari HBS dengan sendirinya pergi ke Negeri Belanda. Itulah jalan yang biasa. Kalau orang mau memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri Belanda. Tapi aku mendaftarkan diri ke universitas di Bandung. Mungkin suara ibu yang kudengar. Akan tetapi sesungguhnya tangan Tuhanlah yang menggerakkan hatiku,” ungkap Sukarno dalam otobiografi yang dituliskan Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tak disangka, di Bandung pulalah segala pemikiran tentang kerakyatan dan kebangsaan yang terekam dari ajaran-ajaran Tjokroaminoto semasa di Surabaya terus “mekar” di Bandung. Bahkan, ketika usianya belum menginjak 21 tahun seiring studinya di Bandung, Sukarno menemukan “marhaenisme” usai bersua seorang petani bernama Marhaen alias Kang Aeng di Bandung Selatan.
“Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” tambahnya.
Baca juga: Kisah Kang Aeng dan Bung Karno
Masih di Bandung juga Sukarno bersua para anggota Tiga Serangkai. Sukarno mengaku terkesan dengan gagasan nasionalisme sekuler yang diusung para tokoh pendiri Indische Partij itu.
“Sukarno menyerap gagasan nasionalisme sekuler (Douwes Dekker) yang menolak dasar Islam dan realisme-sosial komunis sekaligus, serta memimpikan sebuah negara merdeka tempat manusia dengan ras dan aliran berbeda namun terikat kesetiaan pada satu tanah air,” tulis Muhammad Iqbal dalam Sukarno: Bapak Revolusi Indonesia.
Kendati begitu, “sosialisme Indonesia dalam praktek” tak serta-merta ditinggalkannya. Bersama perkumpulan diskusinya yang didirikan pada 1926, Algemeene Studieclub, Sukarno mulai mengusung pentingnya sebuah front nasional bersama yang terdiri dari kalangan nasionalis, Islam, dan Marxisme sebagaimana yang ia tuangkan dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme”, dan Marxisme” di majalah Soeloeh Indonesia Moeda tahun 1926.
“Paham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin bahwa kita dengan terang-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula bahwa, walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai,” tulis Sukarno dalam penggalan akhir artikelnya yang termaktub dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I.
Gagasan kebangsaan dan persatuan yang diusung Sukarno cs. bersama PNI sejak 1927 membuat pemerintah kolonial gerah. Sukarno pun ditangkap di Yogyakarta pada Desember 1929 dan diadili di Landraad Bandung pada Desember 1930. Namun, gagasan yang inspirasinya muncul dari Bandung itu tak pernah padam sekalipun Sukarno beberapa kali mesti meringkuk di penjara hingga diasingkan ke Ende hingga Bengkulu.
Baca juga: Sukarno dalam Pusaran Islam, Nasionalisme, dan Komunisme