SEJAK berdiri pada 1927, PNI timbul-tenggelam. Sempat bubar karena beberapa tokoh utamanya ditangkap pemerintah kolonial, beberapa bekas anggotanya lalu mendirikan partai-partai politik sendiri.
Setelah Indonesia merdeka, ada yang mencoba menghidupkan kembali PNI dan ada pula yang mendirikan partai-partai nasionalis baru. Hal yang sama terjadi setelah Reformasi 1998. Semua mengklaim sebagai penerus atau pewaris sah PNI.
Partai Indonesia (Partindo)
29 April 1931–18 November 1936
Pendiri/anggota: Sartono, Suwirjo, A. Sudirdjad, Manadi
Dalam konferensi di Yogyakarta (26–27 November 1932), Partai Indonesia berganti nama menjadi Partindo. Sifat perjuangannya, non-kooperatif, membuat pemerintah kolonial menindak dengan keras. Sukarno, yang jadi anggota pada 1932, kembali ditangkap pada 31 Juli 1933. Sartono selaku ketua lalu membubarkan Partindo pada 18 November 1936.
Pendidikan Nasional Indonesia Baru (PNI-Baru)
29 April 1931
Pendiri/anggota: Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir
Penangkapan kembali Sukarno oleh pemerintah kolonial dan pembubaran PNI membuat kalangan pergerakan khawatir api perjuangan padam jika tak dilanjutkan. Sepulang dari Belanda, Mohammad Hatta menggandeng Sutan Sjahrir dan beberapa rekan lain mendirikan PNI-Baru. Wadah untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan itu menitikberatkan perjuangannya pada pendidikan kader.
Baca juga: Partai Nasional Indonesia dan Ahli Warisnya
Partai Indonesia Raya (Parindra)
Desember 1935–pendudukan Jepang
Pendiri/anggota: Sutomo, Supomo, T.M.A. Wurjaningrat
Politik tangan besi pemerintah kolonial membuat kaum pergerakan mencari jalan lain untuk bisa meneruskan perjuangan. Beberapa anggota Boedi Oetomo dan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) seperti Sutomo, Supomo, dan W.R. Supratman lalu mengusahakan penggabungan kedua organisasi tadi menjadi satu. Kedua organisasi resmi melebur menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dalam kongres di Surakarta, 24–26 Desember 1935.
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
24 Mei 1937–pendudukan Jepang
Pendiri/anggota: Sartono, A.K. Gani, M.H. Thamrin, Amir Sjarifuddin, Wilopo
Bubarnya Partindo mendorong para bekas anggotanya mencari cara untuk melanjutkan perjuangan sekaligus memelihara api idealisme. Mereka lalu membentuk Gerindo. Resminya, Gerindo kooperatif dengan pemerintah kolonial. Namun, praksisnya beda. Tak seperti Parindra, yang bisa menerima fasisme, Gerindo amat menentang. Gerindo menekankan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita. Keadilan, menurut Gerindo, baru bisa terwujud bila asas demokrasi dijunjung tinggi.
Serikat Rakyat Indonesia (Serindo)
13 Desember 1945–28 Januari 1946
Pendiri/anggota: Sartono, Mangunsarkoro, Suwirjo, Lukman Hakim, Wilopo, Sudiro, Sabillal Rasjad
Partai ini berdiri setelah beberapa mantan anggota PNI lama memikirkan cara untuk mendirikan partai yang bisa mengakomodasi perjuangan PNI. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang mendorong pendirian partai politik, memberi mereka momentum baik. Pada 13 Desember, mereka sepakat mendirikan partai baru bernama Serindo. Usia Serindo tak lama karena kemudian melebur dengan beberapa partai lain menjadi PNI.
Baca juga: Saat Natsir Gagal Merangkul PNI
Partai Nasional Indonesia (PNI)
29 Januari 1946–1973
Pendiri/anggota: Sartono, Ki Mangunsarkoro, Suwirjo, Wilopo, Sudiro, Sabillal Rasjad, pimpinan Partai Republik Indonesia (Madiun), Partai Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Gerakan Rakyat Indonesia (Madiun), dan bekas cabang PNI Madiun, Pati, Palembang, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kalimantan.
Kongres pertama Serindo di Kediri, 28 Januari–1 Februari 1946, dihadiri banyak organisasi masyarakat dan partai politik nasionalis. Pada 29 Januari, mereka sepakat melebur menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tanggal itu lalu ditetapkan sebagai hari lahir PNI. Dalam pemilu 1955, PNI menjadi pemenang. Perpecahan terjadi pada masa transisi dari kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Setelah menyingkirkan elemen radikal dan Sukarnois, di awal Orde Baru PNI kemudian fusi dengan partai-partai nasionalis lain.
Partindo 1958
5 Agustus 1958–akhir Orde Lama
Pendiri/anggota: Asmara Hadi, Winarno Danuatmodjo, Winoto Danuasmoro
Pertentangan antara anggota PNI pendukung dan penentang pembaruan dalam tubuh partai mengakibatkan terjadinya perpecahan. Golongan pro pembaruan akhirnya mendirikan Partindo yang juga berazas Marhaenisme. Di kemudian hari, azas tersebut dan adanya kader PKI daerah yang menjadi anggota Partindo menyulitkan partai ini ketika Soeharto mulai menapaki kekuasaan hingga akhirnya merebut kekuasaan dari Sukarno.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
10 Januari 1973–10 Januari 2003
Pendiri/anggota: PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik
Kemunculan PDI tak lepas dari aturan fusi yang ditetapkan pemerintahan Orde Baru untuk menyederhanakan partai politik. Bersama empat partai nasionalis lain, PNI lalu melebur menjadi PDI. Terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa pada 1993, membuat Presiden Soeharto tak senang. Melalui kongres tandingan tiga tahun setelahnya, PDI kembali memilih Soerjadi menjadi ketua umum. Perpecahan terjadi, yang bermuara pada Peristiwa 27 Juli 1996. PDI kehilangan banyak suara di Pemilu 1997 karena pendukung Megawati lebih memilih PPP –dikenal dengan sebutan “Mega Bintang”.
Baca juga: Bayang-bayang Mega-Bintang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
1 Februari 1999 tetapi ulang tahun 10 Januari
Pendiri/anggota: Megawati Soekarnoputri
Pertentangan dengan kubu PDI Soerjadi mendorong Megawati membuat wadah perjuangannya sendiri. Pasca Reformasi, yang membuka keran kebebasan berdemokrasi, Megawati mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada 1 Februari 1999. Partai ini langsung menjadi pemenang dalam pemilu pertama yang diikutinya, Pemilu 1999. Sempat terus menurun dalam perolehan suara di dua pemilu berikutnya, PDI-P kembali menjadi pemenang pemilu bahkan tiga kali berturut-turut, Pemilu 2014, 2019, dan 2024.
PNI Front Marhaenis
10 Februari 1999, dideklarasikan 21 Maret 1998
Pendiri/anggota: Supeni, Bachtar Oscha Chalik, Maruli Pardede, Edwin Sunawar Soekowati, dan Probosutedjo
PNI Front-Marhaenis mengklaim sebagai jelmaan PNI 1927 yang didirikan oleh Sukarno cs. Selain azas dan ideologi partai yang banyak meng-copy PNI 1927, PNI Front Marhaenis juga didukung tokoh lawas PNI seperti Supeni. Namun, naiknya Probosutedjo, adik tiri Presiden Soeharto, menjadi ketua umum mengecewakan banyak orang. Beberapa di antaranya memilih keluar dan mendirikan partai baru.
Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI
PNI Supeni
20 Mei 1998
Pendiri/anggota: Supeni
Partai ini berdiri setelah terjadi ketidakcocokan pendirinya dengan petinggi-petinggi lain di dalam PNI Front Marhaenis. Dengan dukungan Usep Ranuwidjaja dan Sukmawati Soekarnoputri, pada 20 Mei 2002 PNI Supeni kemudian berubah menjadi PNI Marhaenisme.
PNI Massa Marhaen 1927
21 Mei 1998
Pendiri/anggota: Bachtar Oscha Chalik
Partai ini lahir dari kekecewaaan Bachtar dan beberapa temannya di PNI Front Marhaenis terhadap naiknya Probosutedjo, adik tiri Presiden Soeharto, menjadi ketua umum. Bachtar keluar bersama beberapa teman yang sepandangan, sepetri Maruli Pardede. Dia lalu mendirikan PNI Massa Marhaen 1927. Pada akhir Desember 1998, partai ini bergabung dengan PNI Irawan Soenario (berdiri pada 4 Agustus 1998) dan berganti nama menjadi PNI Massa Marhaen.
Baca juga: Ketika PNI Terbelah
PNI Irawan Soenario
4 Agustus 1998
Pendiri/anggota: Irawan Soenario
PNI Irawan Soenario merupakan satu dari sekian banyak partai yang menggunakan nama PNI. Partai ini merupakan satu-satunya partai “serumpun” yang menerima usulan penggabungan dari Bachtar. Pada akhir Desember, PNI Irawan Soenario bergabung dengan PNI Massa Marhaen 1927 menjadi PNI Massa Marhaen.
PNI Massa Marhaen
Desember 1998
Pendiri/anggota: Bachtar Oscha Chalik dan Irawan Soenario
PNI Massa Marhaen merupakan gabungan dari PNI Massa Marhaen 1927 dan PNI Irawan Soenario. Untuk mendongkrak perolehan suara, PNI Massa Marhaen menggaet Gempar Soekarnoputra.
Partai Indonesia (Partindo)
1 Desember 1999
Pendiri/anggota: Soetomo Martopradoto
Para pendiri partai ini ingin melanjutkan perjuangan Partindo lama. Pada 2003, Partindo melebur ke dalam PNI Marhaenisme.
Baca juga: PNI Pasca-Peristiwa 1965
PNI Marhaenisme
20 Mei 2002
Pendiri/anggota: Supeni, Sukmawati Soekarnoputri, dll.
Melanjutkan perjuangan PNI Supeni, PNI Marhaenisme mengklaim sebagai partai yang paling mirip PNI 1927. Menurut Sukmawati, PNI yang dia kenal adalah PNI yang berlogo banteng segitiga dan berazas Marhaenisme. PNI Marhaenisme menggunakan keduanya. Pada 2003, PNI Marhaenisme mendapat kekuatan baru dengan bergabungnya Partindo.
Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK)
27 Juli 2002
Pendiri/anggota: Eros Djarot
Kemunculan PNBK tak lepas dari kemelut yang ada di tubuh PDI-P. Eros Djarot, berada di barisan kader yang menghendaki reformasi di tubuh partai, gagal mencalonkan diri sebagai ketua umum partai karena namanya dicoret. Merasa dilecehkan, dia lalu keluar. Eros lalu mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno. Partai itu lalu berganti nama menjadi Partai Nasional Banteng Kerakyatan.
Partai Pelopor
29 November 2002
Pendiri/anggota: Rachmawati Soekarnoputri
Berdirinya partai ini berawal dari dicalonkannya Rachmawati Soekarnoputri sebagai calon presiden oleh Partai Persatuan Bangsa Indonesia. Adanya kans membuat Rachmawati membentuk partai sendiri (Partai Pelopor) setahun kemudian. Partai Pelopor mengandalkan konstituennya pada Marhaenis muda perkotaan.*
Tulisan ini telah dimuat di Majalah Historia No. 31 Tahun 2016