Saat Natsir Gagal Merangkul PNI
Ditawari memimpin kabinet baru, Natsir berusaha melibatkan semua partai. Kendati dipersulit oleh PNI, Presiden Sukarno justru mendukungnya.
Pada 1950, setelah berhasil mengamankan pemerintahan pasca pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir resmi melepas jabatan Menteri Penerangan di Kabinet Hatta I (1948-1949). Dia segera mengalihkan fokus kepada urusan lain, yakni mengemban amanah sebagai ketua Partai Masyumi. Natsir bertekad menjadikan partai berasas Islam itu garda terdepan perjuangan.
Namun di tengah upaya tersebut, Natsir harus membuat keputusan yang sulit. Pada 22 Agustus 1950 di Istana, Presiden Sukarno menyampaikan keputusannya menunjuk Natsir menjadi formatur kabinet. Menurut Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, berdasar keputusan muktamar Masyumi tahun 1949, ketua partai dilarang menduduki jabatan di pemerintahan, termasuk menjadi perdana menteri.
Baca juga: Cara Natsir Menghidupkan Pendidikan Islam
“Natsir merespon keputusan presiden itu dengan mengatakan bahwa hal tersebut akan dia musyawarahkan dulu dengan pimpinan partai Masyumi. Sesudah mendapat persetujuan dari pimpinan partai, keesokan harinya Natsir kembali menemui Bung Karno, dan menyatakan kesiapannya melaksanakan tugas dari presiden,” tulis Lukman.
Dalam melaksanakan tugas formatur kabinet, Natsir dibantu oleh dua pimpinan Masyumi lain: Sjafruddin Prawiranegara, dan K.H. Abdul Wahid Hasyim. Ketiganya sepakat membentuk kabinet yang akan diisi oleh sebanyak mungkin partai dan sebesar mungkin suara di parlemen. Mereka merasa harus mendapat dukungan luas agar sifat kesatuan nasional dari kabinet yang akan disusun benar-benar tercermin sebagai persatuan bangsa Indonesia.
Selain Masyumi, mereka juga merasa perlu membuat basis dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) agar kebinet berdiri kokoh. Ketika Natsir menyampaikan pemikirannya itu kepada Sukarno, presiden merasa senang dan mendoakan agar Natsir dapat berhasil mengemban tugasnya.
Ternyata menjalankan keinginan baik itu tidaklah mudah bagi Natsir. Menurut Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Intergralism, sikap PNI seringkali bersebrangan dengan Masyumi, begitu pula sebaliknya. Sulit rasanya membuat kedua partai ini menyepakati sebuah hal bersama-sama. Banyak perundingan yang berujung perdebatan keras di antara keduanya, seperti ketika koalisi PNI dan PSI menolak usulan Masyumi soal bentuk Negara Kesatuan yang seharusnya dikelola dalam sistem pemerintahan presidensil bukan parlementer.
Baca juga: Masyumi Meradang
Di dalam kabinet yang akan dibentuk Natsir, PNI menuntut hak yang sama dengan Masyumi. Bukan saja soal jumlah kursi, tetapi juga dalam menentukan posisi mana saja yang hendak mereka isi. PNI misalnya, meminta jatah Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan.
“Tuntutan yang tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Natsir, sebab bagaimanapun dirinyalah (sebagai Masyumi) yang ditunjuk oleh presiden menjadi formatur kabinet. Sebagai formatur, tentu saja Masyumi harus mendapat hak lebih, dibanding partai lain,” tulis Lukman.
Demi tercapainya kabinet ideal yang dicita-citakan, Natsir mencoba menurunkan ego kepartaiannya. Dia memilih berdialog dengan pimpinan PNI untuk mencari solusi terbaik dari permintaan kursi tersebut. Beberapa kali Natsir menghubungi dua pimpinan PNI, Sidik Djojosukarto dan Sarmadi Mangungsarkoro. Tetapi tidak mudah menemui keduanya. Pimpinan PNI lainnya, Mr. Soewirjo, meski berhasil dihubungi selalu berdalih tidak bisa asal memutuskan dan perlu kesepakatan partai. Akibatnya, upaya berunding dengan PNI selalu terhambat.
Baca juga: Tentang Lambang PNI
Ternyata Presiden Sukarno tidak begitu saja lepas tangan dalam upaya pembentukan kabinet ini. Dia mencoba mendukung Natsir karena rupanya presiden tidak ingin Natsir gagal dalam mewujudkan kabinet yang menurutnya sangat baik tersebut. Beberapa kali Sukarno mengundang Natsir dan beberapa pemimpin partai untuk mendiskusikan pembentukan kabinet itu.
Meski para pimpinan beberapa partai sepakat menjalani koalisi, Natsir tatap tidak puas selama PNI belum bergabung memberi dukungan. Tanpa keikutsertaan partai yang dibentuk Sukarno itu, Natsir merasa penyusunan kabinetnya tidak akan ideal. Karena tidak kunjung mendapat dukungan PNI, Natsir merasa telah gagal menjalankan tugas.
“Apa salah saya kepada PNI?” keluh Natsir kepada Anwar Harjono seperti ditulis Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan.
Natsir lalu menghadap Sukarno bermaksud mengembalikan mandat yang diberikan kepadanya. Tetapi presiden menolak. Bantuan lain malah diberikan Sukarno dengan menawarkan diri berdiskusi dengan Djojosukarto dan Mangunsarkoro. Upaya itu juga ternyata mengalami kegagalan. Natsir kembali menemui Sukarno dengan maskud yang sama seperti sebelumnya. Namun Sukarno tetap pada pendiriannya menunjuk Natsir sebagai formatur.
Baca juga: Ketika Masyumi Memimpin Kabinet
Natsir mulai ragu dengan keputusannya menjalankan kabinet. Melihat hal itu, Sukarno menegaskan keputusannya: membentuk kabinet dengan atau tanpa PNI di dalamnya. Menurut Lukman, itulah kali pertama Sukarno “meninggalkan” PNI untuk memberikan sokongan penuh kepada Natsir dalam pembentukan kabinetnya.
“Di masa itu, Sdr. Natsir masih tetap favorit Bung Karno,” kata Mohammad Hatta seperti diutarakan Yusuf Abdullah Puar dalam Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Akhirnya pada 6 September 1950, Kabinet Natsir terbentuk. Sehari setelahnya, Presiden Sukarno secara resmi mengumumkan pendirian kabinet pertama setelah Indonesia resmi memakai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar