Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Kang Aeng dan Bung Karno

Marhaenisme menjadi simbol ideologi yang berisi refleksi pemikiran politik Sukarno. Tercipta dari hasil dialog dengan seorang petani miskin.

Oleh: Hendi Jo | 14 Mar 2018
Pertemuan para tokoh PNI dengan istri Marhaen pada 1969. Foto: Repro "Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Kapita Selekta" karya Drs. H. Hardjantho Sumodisastro

SUATU pagi di tahun 1920-an, Sukarno mengayuh sepeda tak tentu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar dia sudah ada di pelosok Bandung bagian selatan. Pandangannya membentur sosok petani yang tengah mencangkul sawah. Dia menghentikan sepedanya dan mendekati sang petani. Terjadilah dialog yang cukup akrab sebagaimana dikisahkan dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno.

“Saya, Juragan,” jawab sang petani.

Advertising
Advertising

“Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”

“Oh tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.”

“Apa kau membeli tanah ini?”

“Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun temurun dari orangtua saya.”

“Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?”

“Ya, Gan.”

“Dan cangkul itu?”

“Milik saya juga, Gan.”

“Bajak?”

“Juga milik saya.”

“Lalu hasilnya untuk siapa?”

“Untuk saya, Gan.”

“Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”

“Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?”

“Tapi semua ini milikmu?”

“Iya, Gan.”

Sukarno terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini memenuhi benaknya. Pada bagian akhir pertanyaannya, dia teringat teori yang dilontarkan ahli ekonomi tentang suatu kelas yang disebut sebagai “penderita minimum”. Inikah dia?

“Siapa namamu?”

“Marhaen.”

[pages]

Simbol Ideologi

Sejak bertemu dengan Marhaen, Sukarno kerap menyebut ajaran-ajarannya sebagai marhaenisme. Ide ini bertolak dari sosialisme dan keyakinan Sukarno akan penemuan kembali kepribadian rakyat Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” ujar Sukarno.

Menurut jurnalis sejarah Peter A. Rohi, mengangkat nama Marhaen merupakan upaya Sukarno untuk membuat suatu simbol ideologi yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia. Secara cerdas, dia tidak mengambil mentah-mentah ide-ide yang datang dari luar lalu menerapkannya, tetapi justru dia terlebih dahulu “mengindonesiakannya”.

“Bung Karno itu kan penyuka simbol-simbol. Dia sangat paham untuk melawan kolonialisme diperlukan simbol-simbol yang mengakar,” ungkap Peter kepada Historia.

Peter sangat yakin bahwa secara politis, pemilihan nama Marhaen sendiri tak lepas dari dramatisasi. Sebagai contoh, saat dia menelusuri kisah Marhaen ini ke selatan Bandung, nama Marhaen sendiri tak dikenal di sana.

Kepada Peter, salah seorang cucu Marhaen yang masih hidup mengisahkan bahwa nama Marhaen sebetulnya hanya kreasi Bung Karno saja. Yang benar nama moyangnya itu adalah “Aeng”, bukan Marhaen. Lantas mengapa Bung Karno memutuskan untuk mengubah nama “Aeng” menjadi Marhaen?

“Tepatnya saya tidak tahu, tapi untuk membuat simbol ideologi yang kuat, itu jelas,” ujar salah satu anggota tim riset pembuatan film dokumenter Jejak-Jejak Bung Karno tersebut.

Tahun 1966, muncul pendapat yang menyebut bahwa Marhaen merupakan kependekan dari Marx, Hegel, Engels. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya, kali pertama pendapat tersebut muncul dipicu oleh editorial surat kabar Angkatan Bersenjata yang langsung dijawab oleh Osa Maliki dari Tim Lembaga Pembinaan Marhaen.

Namun, masuknya unsur marxisme dalam marhaenisme bisa jadi memang benar. Menurut sejarawan Peter Kasenda, kalau ada yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme gaya Indonesia, itu beralasan. Sukarno sendiri kerap mengatakan orang tidak akan paham marhaenisme jika dia tidak mengerti marxisme.

“Berulangkali Sukarno bilang bahwa dirinya seorang marxis dan pernah menyatakan bahwa 'marxisme adalah pembakar Sukarno punya jiwa',” ungkap Peter Kasenda dalam makalah "Sukarno, Sejarah dan Kontroversi."

Terlepas dari polemik tersebut, Sukarno tetap memperhatikan nasib Marhaen alias Kang Aeng. Berbagai kunjungan dilakukan ke tempat Marhaen. Bahkan pada 1950-an, menurut Peter Rohi, Sukarno secara khusus mengundang orang yang namanya dijadikan simbol ideologi PNI (Partai Nasional Indonesia) itu ke Istana Negara.

“Sayang dokumentasi pertemuan tersebut tak ada lagi di tangan keluarga Kang Aeng,” ujar Peter Rohi.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sentot Alibasah Prawirodirjo, Putera, Hansip Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto