Masuk Daftar
My Getplus

Memindai Sejarah Barcode dan QR Code

QR Code muncul sebagai pengembangan dari barcode konvensional. Sempat dianggap sebagai lelucon di negara Barat, QR Code justru menjadi teknologi yang populer ketika pandemi COVID-19 melanda dunia.

Oleh: Amanda Rachmadita | 17 Des 2024
Sebuah artwork yang menampilkan QR Code. (ZilvinasKa/Wikimedia Commons).

SEJARAH teknologi dipenuhi dengan berbagai penemuan yang di awal kemunculannya digembar-gemborkan, lalu menjadi kekecewaan namun kemudian diadopsi secara luas. Sejarah itu juga dipenuhi dengan benda-benda yang mulanya dirancang untuk satu tujuan, akan tetapi pada akhirnya digunakan dengan cara yang tidak terduga. Contohnya, QR Code.

Awal mula kehadiran QR Code tak dapat dilepaskan dari teknologi barcode yang lebih dulu muncul dan marak digunakan dalam berbagai bidang sejak tahun 1980-an. Menurut Jordan Frith, profesor di Clemson University spesialis komunikasi teknis dan studi komunikasi seluler, dalam Barcode, sejarah penciptaan barcode dapat ditelusuri kembali ke percakapan yang tidak disengaja di akhir tahun 1940-an.

Kala itu, seorang mahasiswa pascasarjana, Bernard Silver, mendengar seorang eksekutif toko kelontong menyampaikan ide tentang kasir supermarket otomatis kepada pihak kampus Universitas Drexel. Anggota fakultas universitas itu tidak tertarik, tetapi Silver yang terpikat dengan ide kasir otomatis itu menceritakan percakapan yang didengarnya kepada mahasiswa pascasarjana lain, Joseph Woodland. Keduanya bertukar pikiran mengenai ide tersebut, namun kesulitan untuk mengembangkannya. Tak lama berselang, Woodland meninggalkan Universitas Drexel.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Awal Mula Ponsel Pintar

Pada suatu pagi di bulan Januari, ketika sedang menghabiskan waktu di pantai di kawasan Miami, Florida, Amerika Serikat, Woodland mendapatkan inspirasi yang di kemudian hari membuatnya menjadi salah satu tokoh penting dalam perkembangan barcode.

“Ketika itu ia sedang duduk di atas pasir dan berpikir tentang titik-titik dan garis-garis yang menyerupai kode Morse dan menggambar empat garis di atas pasir. Ia melihat garis-garis itu dan menyadari bahwa, alih-alih titik dan garis, orang dapat menggunakan garis dengan lebar yang berbeda-beda untuk mengkomunikasikan data,” tulis Frith.

Woodland membawa idenya kepada Silver. Mereka kemudian mengajukan paten pada Oktober 1949 dengan nama Classifying Apparatus and Methode. Paten tersebut diberikan pada 1952, dan simbol yang ditampilkan di halaman pembuka paten adalah barcode pertama yang pernah ada.

Menurut Frith, satu elemen yang menonjol dalam paten Woodland dan Silver adalah simbol barcode di halaman pertama tidak terlihat seperti simbol barcode yang ditemukan di mana-mana saat ini. Alih-alih garis vertikal dan spasi yang telah dipindai ratusan juta orang berkali-kali, simbol barcode yang diciptakan Woodland dan Silver adalah serangkaian lingkaran konsentris yang memancar ke luar dalam bentuk bullseye.

Tujuh kandidat untuk simbol barcode yang akan dipilih oleh komite khusus. Pada akhirnya simbol yang dipilih adalah simbol IBM. (Jordan Frith, Barcode).

Bullseye yang diciptakan Woodland dan Silver mengikuti prinsip yang sama dengan objek yang pada akhirnya dipindai ratusan miliar kali, tetapi datanya terkandung dalam garis-garis melingkar, bukan garis-garis vertikal seperti simbol barcode yang ada saat ini,” tulis Frith.

Pemindai laser yang tersedia secara komersial pada akhir 1960-an memungkinkan barcode yang dikembangkan Woodland dan Silver digunakan dalam industri bahan makanan di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada paruh kedua abad ke-20, sejumlah perusahaan mulai melakukan uji coba di toko-toko kelontong untuk menilai kelayakan sistem barcode. Para eksekutif menyadari sistem ini hanya bisa digunakan jika ekosistem dalam industri tersebut –termasuk toko, produsen, pencetak, pengemas, dan distributor– menyetujui satu standar data dan satu simbol.

Baca juga: 

Sebelum Ponsel Merajalela

Oleh karena itu, para eksekutif kemudian membentuk komite untuk menentukan standar dan memilih simbol barcode. Setelah keduanya ditetapkan, barcode siap digunakan. Pada 26 Juni 1974, produk pertama dengan barcode UPC resmi –sebungkus permen karet Wrigley– dipindai di sebuah toko kelontong di Troy, Ohio.

Meski begitu, barcode sempat memicu protes pada 1970-an. Protes tersebut meliputi transparasi keuangan, otomatisasi, dan kekhawatiran penggantian tenaga kerja manusia dengan tenaga kerja mesin. Walau diwarnai gejolak, adopsi teknologi barcode UPC meningkat signifikan pada awal tahun 1980-an. Dua industri yang berperan besar dalam pengembangan barcode sebagai infrastruktur identifikasi dominan, yakni industri pertahanan dan industri otomotif. Melalui industri otomotif, QR Code lahir.

Quick Response Code (QR Code) merupakan pengembangan dari barcode standar yang ditemukan di hampir semua produk manufaktur di dunia. QR Code dikembangkan di Jepang oleh Masahiro Hara dari Denso Wave Inc., anak perusahaan Toyota, pada 1994, untuk melacak komponen kendaraan. Tujuan awal QR Code untuk inventaris, tetapi potensi dan penggunaannya jauh melampaui fungsi awal ini.

Menurut Celalettin Aktaş dalam The Evolution and Emergence of QR Codes, QR Code muncul sebagai hasil dari keterbatasan fitur terknologi barcode linear satu dimensi, yang disebut juga sebagai barcode klasik atau konvensional. Kendati Denso Wave Incorporated memilik hak terdaftar untuk QR Code, perusahaan ini melepaskan hak paten yang dimilikinya hanya untuk QR Code standar. Dengan demikian, sembari mengumumkan definisi yang jelas tentang spesifikasi teknik QR Code, Denso Wave memberi kesempatan bagi siapa saja untuk menggunakan barcode matriks dua dimensi ini tanpa tunduk pada kewajiban komersial atau hukum apapun.

Contoh barcode dua dimensi. Gambar bagian tengah merupakan Quick Response Code (QR Code) yang kini marak digunakan di berbagai bidang industri. (Jordan Frith, Barcode).

“Meskipun QR Code adalah barcode matriks dua dimensi yang mampu menyimpan informasi dalam arah horizontal dan vertikal, kode ini terutama digunakan sebagai simbol agar mudah diinterpretasikan oleh peralatan pemindai. Dengan demikian, pembacaan oleh pemindai untuk memecahkan kode data yang disandikan dalam simbol QR Code berlangsung dalam hitungan detik,” tulis Aktaş.

Tak lama setelah kemunculannya, QR Code diprediksi akan menjadi teknologi populer di akhir tahun 2000-an. Meski mendapat perhatian besar, QR Code yang dianggap “telalu cepat muncul” justru dianggap sebagai lelucon belaka di sebagian besar negara Barat. Menurut Frith, salah satu alasan kegagalan QR Code adalah karena penggunannya seringkali didasarkan pada kesalahpahaman tentang cara kerja komunikasi. Mereka “berakar pada visi yang sederhana: semakin banyak komunikasi, semakin baik.” Akibatnya, pada pertengahan tahun 2010-an –setidaknya di Barat– QR Code seakan jatuh ke dalam jurang.

Berbanding terbalik dengan negara Barat, QR Code justru sangat populer di Tiongkok. Negeri Tirai Bambu bahkan mengembangkan simbol dua dimensinya sendiri yang disebut barcode Han Xin. Meski begitu, QR Code-lah yang menjadi bagian penting dari ekosistem media Tiongkok.

“Salah satu alasan utama mengapa QR Code tumbuh sumbur di Tiongkok karena teknologi itu dimasukkan ke dalam layanan pesan dan pembayaran seluler WeChat yang digunakan oleh lebih dari satu miliar orang. Pada tahun 2020, pembayaran seluler yang tak terhitung jumlahnya di Tiongkok menggunakan QR Code,” tulis Frith.

Baca juga: 

Dari Batu sampai Ponsel

Pemanfaatan QR Code sebagai payment gateway juga dikembangkan di Indonesia. Aktaş menyebut Indonesia memiliki sistem pembayaran online, iPaymu, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negara ini menggunakan QR Code untuk proses otentikasi yang bekerja sama dengan PayPal dan Master Card. Microsoft, Apple, dan banyak perusahaan lain juga menggabungkan penggunaan QR Code dalam berbagai aktivitas mereka dalam interaksi dengan pengguna untuk memfasilitasi proses, selain menggunakan QR Code untuk pencatatan dan pelacakan internal mereka.

Setelah berita kematiannya banyak ditulis oleh berbagai media, QR Code kembali bangkit di Barat pada medio 2010-an. Salah satu pemicunya adalah kehadiran ponsel pintar yang kameranya dilengkapi teknologi pemindai QR Code. Teknologi tersebut memungkinkan pengguna ponsel pintar melompat langsung dari satu media komunikasi ke media komunikasi lain. Cukup dengan mengarahkan kamera ke QR Code dan sambungan internet, pengguna dapat mengakses situs web manapun tanpa harus menuliskan alamat url-nya yang seringkali terlalu panjang.

Pandemi COVID-19 turut memperkuat posisi QR Code di negara Barat –dan negara di belahan benua lainnya– karena beberapa negara menggunakan QR Code untuk melakukan segalanya, mulai dari memverifikasi status vaksin hingga mencatat siapa saja yang masuk ke suatu lokasi untuk tujuan pelacakan kontak.

Setelah 30 tahun sejak awal kemunculannya di tahun 1994, QR Code tak hanya menjadi hal yang lazim di Barat, tetapi juga populer di berbagai negara. Penggunannya sebagai metode pembayaran online berperan besar dalam perubahan kebiasaan masyarakat dalam transaksi keuangan, terlebih setelah pandemi COVID-19.*

TAG

barcode qr code

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Penyakit Sifilis di Hindia Belanda Asal Nama Bengkulu Babak Awal Sejarah Sepeda Motor Besi dan Nama Sulawesi Jejak Mesin Faks Menerangi Sejarah Lampu Melihat Lebih Jernih dengan Kacamata