Awal Mula Ponsel Pintar
Gagasan mengenai ponsel pintar telah ada sejak akhir abad ke-19. Proyek pengembangannya dilakukan pada 1990-an. Namun, penjualannya kurang memuaskan.
DI masa kini smartphone atau ponsel pintar menjadi benda yang tak pernah lepas dari genggaman. Berbagai fitur dan aplikasi dalam perangkat elektronik yang tersambung dengan internet ini, tak hanya memudahkan penggunanya berkomunikasi jarak jauh maupun mengakses informasi, tetapi juga mempermudah aktivitas sehari-hari.
iPhone disebut sebagai pionir perkembangan ponsel pintar. Namun, gagasan mengenai perangkat elektronik canggih yang memiliki fitur seperti ponsel pintar sudah ada sejak akhir abad ke-19. Sejarawan Amerika Robert Phillip Kolker menulis dalam Media Studies: An Introduction, pada 1879 kartunis Inggris terkemuka George du Maurier menggambar kartun untuk majalah satir London, Punch, yang mengkhayalkan komunikasi jarak jauh tak hanya mengandalkan suara tetapi juga gambar.
Kartun yang populer disebut Edison’s telephonoscope itu, mengisahkan pasangan Victoria yang berusia senja di Inggris tengah menyapa putri mereka di Antipodes, sebuah koloni di belahan dunia lain.
Pasangan Victoria digambarkan tengah berkomunikasi dengan putri mereka melalui telepon bergambar. Edison’s telephonoscope memancarkan cahaya dan suara. Setiap malam, sebelum tidur, pasangan tersebut memasang kamera elektrik-obscura di atas perapian kamar tidur mereka, dan menyenangkan mata mereka dengan pemandangan anak-anaknya di Antipodes, serta berbicara dengan riang dengan mereka melalui kabel.
Baca juga: Telepon Sepanjang Zaman
“Lima belas tahun sebelum Lumiere Brothers memproyeksikan film mereka di Paris, Maurier mengambil penemuan Edison dan Bell, menggabungkannya dengan perangkat yang lebih tua yakni kamera obscura, di mana gambar dunia luar melewati lubang jarum dan masuk ke sisi berlawanan dari sebuah kotak hitam, berfantasi tentang kombinasi televisi layar datar dan telepon genggam. Dunia dibawa masuk ke dalam rumah melalui transmisi visual,” tulis Kolker.
Jika dianalogikan dalam kehidupan masa kini, menurut kolumnis teknologi Los Angeles Times, Brian Merchant, kartun yang dibuat oleh Maurier seakan menggambarkan orang tua yang kaya sedang melakukan FaceTime dengan anak-anak mereka di perkemahan musim panas.
“Spekulasi Maurier membuat promosi yang sama dengan yang diiklankan oleh para pengiklan ponsel pintar saat ini, yakni promosi untuk tidak pernah melewatkan waktu bersama teman dan keluarga, komunikasi tanpa batas, serta memiliki akses informasi ke berbagai wilayah di belahan dunia manapun,” tulis Merchant dalam The One Device: The Secret History of the iPhone.
Baca juga: Ponsel Segede Sepatu
Selain Maurier, pada 1890 ilustrator dan penulis Prancis, Albert Robida juga menggambarkan sebuah telefonoskop dalam novel bergambarnya berjudul The Twentieth Century. Telefonoskop mentransmisikan “dialog dan musik” serta pemandangan suatu tempat “pada cakram kristal dengan kejernihan visibilitas langsung yang membuat seseorang dapat melihat gambar dari suatu tempat maupun peristiwa yang berada jauh dari lokasinya saat ini.”
Menurut Erkki Huhtamo, profesor di Departemen Desain Media Seni dan Film, Televisi, dan Media Digital Universitas California, Los Angeles, dalam “Screenology; or, Media Archaeology of the Screen”, yang termuat dalam The Screen Media Reader: Culture, Theory, Practice, telefonoskop yang diimajinasikan oleh Robida, tak hanya membuat penggunanya dapat menikmati pertunjukan langsung atau rekaman dari opera serta melihat berita terbaru, tetapi juga memungkinkan mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain secara tatap muka.
Baca juga: Halo Pentil Kecakot
Pada masa itu, dua kisah telefonoskop tersebut dipandang sebagai satir. Dua pengarangnya yang hidup di akhir abad ke-19, melihat dunia yang terhubung dan teraliri listrik sebagai dunia yang penuh absurditas.
Robida membayangkan orang-orang menggunakan telefonoskop untuk hiburan menonton drama, olahraga, maupun menyaksikan berita yang melaporkan peristiwa dari wilayah yang jauh. Sementara Maurier membayangkan orang-orang menggunakannya untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman.
“Itulah daya tarik paling kuat dari smartphone saat ini; dua fungsi utamanya –jejaring sosial secepat kilat dan komunikasi audiovisual– telah diuraikan sejak tahun 1870-an,” tulis Merchant.
Pada 1990-an, ponsel pintar tak hanya sekadar proyeksi kehidupan di masa depan. Gagasan mengembangkan sebuah perangkat elektronik yang menggabungkan tiga aspek, yakni audio, visual, dan internet, kian terbuka.
Frank Canova Jr. melihat peluang tersebut. Pada 1992, insinyur di laboratorium IBM di Boca Raton, Florida itu mengembangkan prototipe ponsel pintar pertama, yakni Simon Personal Communicator.
Elizabeth Woyke menulis dalam The Smartphone: Anatomy of an Industry, Canova mengembangkan ponsel genggam layar sentuh yang menggabungkan fitur panggilan dan komputasi. Perangkat elektronik ini dirancang layaknya telepon rumah, di mana pengguna tinggal mengangkat handset dan menekan nomor untuk melakukan panggilan, dan tidak seperti komputer, pengguna juga tidak perlu mem-boot atau mengkonfigurasikannya.
“Desain layar sentuh ponsel ini mendukung konsep tersebut. Layar sentuh yang lebih tipis dari keyboard built-in memungkinkan pengguna mengoperasikan perangkat elektronik ini dengan satu tangan, seperti telepon biasa,” tulis Woyke.
Baca juga: Dari Analog sampai 4G
Saat mengutak-atik layar sentuh, Canova menyadari harus memaksimalkan tampilan layar ponsel genggam yang tengah dikembangkannya. Menu ponsel itu harus disusun seperti menu komputer dengan ikon-ikon kecil untuk mengakses aplikasi. Manajemen IBM memutuskan untuk mengikutsertakan ponsel genggam layar sentuh yang tengah dikembangkan Canova dalam pameran teknologi di Computer Dealer’s Exhibition (COMDEX) 1992, sebuah pameran dagang terbesar di industri komputer yang diadakan di Las Vegas setiap November.
Di hari pertama pameran, setelah berhasil mendemonstrasikan fitur-fitur panggilan telepon dan email, para pengunjung mengerumuni stan IBM untuk melihat lebih dekat prototipe ponsel genggam layar sentuh yang dikembangkan Canova. Tak hanya mencuri atensi pengunjung, perangkat ini juga menarik perhatian media.
“Pada minggu itu, USA Today menerbitkan dua artikel yang menyoroti ponsel ini. Artikel pertama mengagumi kecepatan IBM dalam mengembangkan perangkat ini. Artikel kedua menampilkan foto Canova yang sedang memegangnya dan menggambarkan demo COMDEX IBM ‘seperti tanpa cela’,” tulis Woyke.
Baca juga: Sebelum Ponsel Merajalela
Ponsel berwarna hitam, berbentuk kotak, dan sebesar batu bata itu dilengkapi fitur-fitur canggih yang mendukung berbagai bentuk komunikasi, seperti telepon, email, faks, dan pesan pager. Ponsel ini didesain dengan tampilan layar sentuh yang memungkinkan penggunanya menavigasi fungsi telepon, faks, dan kalender dengan cukup menyentuh ikon pada layar. Selain itu, ponsel ini juga menyertakan perlindungan kata sandi, dan fitur buku catatan yang dapat menyimpan memo yang diketik, serta informasi penunjuk waktu di berbagai belahan dunia.
Di masa kini, fitur-fitur tersebut telah menjadi hal biasa di ponsel pintar, namun pada awal 1990-an merupakan sesuatu yang tidak biasa dan visioner. Oleh karena itu, didorong oleh perhatian media, IBM pun setuju mendanai produksi massal ponsel yang dikembangkan Canova. Segera setelahnya, operator yang berbasis di Atlanta, BellSouth, juga menyatakan ketertarikannya untuk memasarkan ponsel genggam tersebut.
Baca juga: Musabab Ponsel Murah
Namun, segala pujian dan atensi kepada ponsel Simon Personal Communicator tak sejalan dengan penjualannya. Merchant menyebut IBM hanya menjual 50 ribu Simon selama enam bulan antara tahun 1994 dan 1995, sebelum perusahaan menghentikan produksi ponsel genggam tersebut.
“Ada beberapa alasan mengapa Simon tak mampu menarik pembeli. Beberapa alasannya adalah harganya yang mahal; Simon dijual dengan harga $895, ukurannya besar, berat, dan ponsel pintar ini hadir sebelum wi-fi marak digunakan oleh masyarakat. Ponsel ini hanya dapat digunakan untuk mengirim email melalui dial-up, dan tidak seperti iPhone masa kini, kemampuan medianya sangat terbatas; tidak dapat memutar video atau musik berkualitas tinggi, dan permainannya sangat sederhana,” tulis Merchant.
Hasil penjualan Simon yang kurang memuaskan, dan masalah finansial yang dihadapi IBM, membuat upaya mengembangkan Simon sulit dilakukan. Canova sendiri meninggalkan IBM pada 1994 ketika perusahaan itu menutup laboratorium Boca Raton dan memindahkan proyek ke lokasi lain. Kala itu Canova telah merancang penerus Simon, yakni Neon yang memiliki ukuran lebih kecil dan dilengkapi “sensor kemiringan” yang akan memutar layar ketika ponsel diputar ke samping. IBM mencoba mengembangkan Neon, tetapi proyek ini gagal karena keterbatasan sumber daya dan hilangnya tenaga ahli.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar