PULUHAN lukisan berbagai warna dan ukuran menghiasi Ruang Serbaguna di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Sepasang lukisan “kembar” yang menggambarkan seorang perempuan tengah duduk di alam terbuka diletakkan di dekat pintu masuk, seakan menyambut pengunjung yang datang ke pameran. Perempuan dalam lukisan tersebut adalah pelukis Kustiyah (1935–2012) dan pembuat lukisannya adalah Sudarso (1914–2006).
Karya-karya Kustiyah turut ditampilkan dalam pameran berjudul “Seakan-akan Tidak Ada Matahari” itu. Wanita kelahiran Probolinggo, 2 September 1935, itu lulus dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta pada 1956. Ia kemudian menikah dengan Edhi Sunarso, pematung kesayangan Presiden Sukarno, yang karya-karyanya menghiasi kota Jakarta.
Menurut Dhiyah Istina dalam “Penjenamaan Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso”, tesis di Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2023, Kustiyah ikut serta dalam sejumlah pameran sejak tahun 1950-an. “Terdapat arsip yang menunjukkan bahwa Kustiyah menjadi salah satu pelopor pameran yang diduga sebagai pameran perempuan pertama yang diselenggarakan di Indonesia pada 1956 di Yogyakarta,” tulis Dhiyah.
Baca juga: Lika-liku Memamerkan Karya Seni
Aktivitas Kustiyah di ASRI dan sejumlah sanggar lukis di Yogyakarta, seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Pelukis Indonesia, membuka jalan untuk mengenal para pelukis senior. Anton Rais Makoginta menyebut selama aktif dalam sanggar di Yogyakarta, Kustiyah mendapat bimbingan dari Hendra Gunawan dan Affandi. “Lukisan-lukisan Kustiyah menggambarkan lingkungan alam dan lingkungan sekitar dengan sapuan-sapuan warna yang cenderung kasar namun berkomposisi harmonis,” tulis Anton dalam Arby Samah: Pemulia Alam dan Ibu.
Melalui pendekatan artistik yang khas, Kustiyah melukiskan lingkungan hidup di sekitarnya, mengubah pemandangan alam yang familier dan bersahaja menjadi ungkapan rupa yang bergejolak dan penuh energi.
Baca juga: Emiria Sunassa, Perupa Perempuan Genius
Pelukis perempuan lain yang karyanya ditampilkan dalam pameran adalah Siti Ruliyati (1930–2023). Wanita kelahiran Jombang itu salah satu dari sedikit mahasiswa perempuan di ASRI. Ia juga tergabung dalam Sanggar Pelukis Rakyat dan Sanggar Pelukis Indonesia.
Grace Samboh dan Ratna Mufida dalam Edhi Sunarso–Penggubah Monumen Bangsa menyebut Pelukis Rakyat tergolong sanggar yang aktif pada masanya. Sanggar yang didirikan pada 1947 itu dikenal melalui slogan “Seni untuk Rakyat”. Tak hanya Kustiyah dan Ruliyati, sanggar ini juga beranggotakan Affandi, Trubus Soedarsono, Rustamadji, Edhi Sunarso, Soedarso, dan sejumlah seniman yang menjadi maestro seni rupa Indonesia.
Ruliyati dikenal memiliki estetika rupa yang serba kontras. Meski sapuan pensilnya kuat, tegang, kaku, dan keras, komposisi dalam karya-karya Ruliyati begitu lembut dan feminin. Ia telah aktif melukis sejak tahun 1950-an. Gambar-gambarnya dimuat di majalah Budaya Jaya, Indonesia, dan Zenith.
Selain karya Kustiyah dan Ruliyati, lukisan karya Kartika Affandi juga menghiasi pameran. Pada lukisan Kampung di Jepang (1970) dan Rumah Petani Austria (1991), terlihat bahwa wanita kelahiran Bandung, 27 November 1934, itu memiliki ketertarikan yang sama seperti ayahnya, yakni suka melukis on the spot tentang masyarakat.
Baca juga: Menolak Pandangan Lelaki Lewat Lukisan
Kartika juga kerap merefleksikan perasaan maupun kecemasannya dalam rangkaian potret diri. Meski begitu bukan berarti Kartika sepenuhnya mengikuti sang ayah dalam melukis. Menurut sastrawan Ajip Rosidi dalam Apa Siapa Orang Sunda perbedaan itu terlihat dari warna-warna yang digunakan oleh Kartika. “Hal ini tampak dalam pilihan warnanya yang lebih cerah daripada warna-warna yang biasa dipakai Affandi. Kartika banyak menggunakan warna yang lebih muda,” tulis Ajip.
Beberapa lukisan karya Sriyani Hudyonoto (1930–2006) juga dapat dinikmati pengunjung dalam pameran. Di antaranya lukisan Kambing (1973) dan Durian (1967). Menurut ahli sejarah seni, Helena Spanjaard dalam “Javanese Tradition, A Prettified Cage”, yang termuat di Framing Indonesian Realities: Essays in Symbolic Anthropology in Honour of Reimar Schefold, wanita kelahiran Yogyakarta itu memulai karier seninya sebagai anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan pada 1938.
“Ia berguru pada Sudjojono, salah satu pelopor seni lukis modern Indonesia, dan pada 1953, menjadi asisten art director untuk sutradara film terkenal Usmar Ismail,” tulis Spanjaard. Sriyani aktif mengikuti pameran di dalam maupun luar negeri sejak tahun 1950-an.
Baca juga: Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia
Selain pada Sudjojono, mengutip Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage–Volume 3, Sriyani juga pernah belajar melukis pada Ries Mulder di Departemen Seni Rupa ITB pada 1951, dan berguru pada Theo Bitter di Belanda. Sriyani tak membatasi diri pada seni lukis. Ia sempat belajar memahat pada pematung Sumadi di Mangkunegaran, Solo, pada 1947.
Pameran “Seakan-akan Tidak Ada Matahari” merupakan pameran kembali dari “Carnegie International ke-58: Is it morning for you yet?” di Pittsburgh, Amerika Serikat yang memamerkan koleksi Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Museum Universitas Pelita Harapan, Museum Affandi, dan OHD Museum. Judul pameran yang digagas kelompok peneliti Hypen ini berasal dari kutipan kritik penulis Nugroho dalam Harian Rakyat terhadap karya-karya dalam pameran Sanggar Pelukis Rakyat di Jakarta pada 1957.
Pameran yang berlangsung sejak 20 Oktober hingga 19 November 2023 itu menampilkan 54 lukisan. Beberapa di antaranya karya para pelukis perempuan Indonesia. Pameran dibuka untuk umum dan tanpa biaya, pengunjung dapat mengunjungi Ruang Serbaguna, Galeri Nasional Indonesia pada hari Selasa-Minggu, mulai pukul 11.00 hingga 19.00 WIB.*