USAI merapikan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas, Emiria Sunassa meninggalkan Jakarta. Tak ada yang tahu kapan persisnya dia pergi dan ke mana rimbanya. Sejak awal 1960-an hingga meninggal, kabar Emiria tak terdengar. Kepergiannya menjadi suatu yang misterius.
Emiria dikenal sebagai perempuan-pelukis yang produktif. Karier melukisnya dimulai sejak 1930-an. Dari 1940 hingga 1950-an, Emiria rutin menggelar pameran. Dia menjadi satu dari segelintir pelukis yang produktif di masa penjajahan.
Sedikit pelukis yang sanggup membuat banyak karya untuk menggelar pameran tunggal. Hanya pelukis sekelas Affandi, Kartono Yudhokusumo, dan Basuki Abdullah yang sanggup mengadakan pameran tunggal di masa itu.
Emiria menjadi satu-satunya perempuan-pelukis yang sanggup mengadakan pameran di era itu. Pada 1943, dia mengadakan pameran tunggal pertamanya di Poesat Tenaga Rakyat (Poetra), Jalan Sunda, Jakarta.
Tiga tahun berikutnya, dia kembali mengadakan pameran tunggal di Jakarta. Sekira 50 lukisannya, seperti Petik Padi, Tari kebyar, Bahaya di Belakang Kembang Teratai, dan Pasar dipajang dalam pameran ini. Hasil pameran dia donasikan untuk kegiatan kemanusiaan.
“Emiria memproduksi banyak lukisan, sampai bisa bikin pameran tunggal. Emiria melukiskan kenyataaannya sendiri sebagai seorang perempuan,” kata Heidi Arbuckle saat mendiskusikan disertasinya tentang Emiria di Beranda Rakyat Garuda.
Karya awal Emiria menangkap bentuk, warna, dan suasana budaya yang dia kagumi. Pada karya-karyanya yang lain, Emiria menuangkan keresahannya sebagai perempuan. Dia menolak cara pelukis era itu, terutama para pelukis dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) atau Mooi Indie, menggambarkan perempuan yang tak lebih dari objek pandangan lelaki nan statis dan patuh: menunduk atau melihat ke arah lain.
Karya-karya Emiria menggambarkan perempuan secara hidup. Mata perempuan di lukisan-lukisannya memandang langsung mata pemirsa seni, bersemangat, dan tanpa belenggu. Emiria menolak pandangan lelaki (male gaze) ketika melukis perempuan.
Tapi ada kalanya Emiria melukiskan perempuan yang terhimpit. Misalnya, Gadis Bali di Pintu Batu. “Perempuan terlihat terhimpit oleh sebuah bangunan. Seolah ia terhimpit oleh konstruksi budaya yang menghimpit perempuan. Tapi perempuan dalam lukisan Emiria membalas pandangan mata pemirsanya,” kata Heidi.
Lewat lukisan, menurut Heidi, Emiria juga berusaha menolak pengidealan tubuh perempuan. Ia juga menggambarkan tubuh yang renta, yang sudah terbebas dari fungsi reproduksinya. “Ketika Emiria melukiskan tubuh perempuan yang mirip monster, ia melepaskannya dari tubuh perempuam yang dianggap ideal,” kata Heidi.
Jiwa pemberontak Emiria atas bangunan budaya terhadap perempuan tak lepas dari lingkungan sosial-politik masa lalunya. Emiria merupakan putri sultan Tidore. “Kesultanan Tidore sangat rebelious terhadap penjajah. Ratu Nukila dulu juga berontak. Jadi ada kecenderungan untuk berontak dan melawan yang tinggi. Itu berpengaruh pada diri Emiria,” kata sosiolog Thamrin Amal Tomagola.
Jiwa pemberontak Emiria sudah terlihat sejak kecil. Meski ayahnya berpikiran maju, Emiria hanya boleh sekolah sampai Europese Lagere School (setingkat SD). Hal itu memicu Emiria bertekad untuk pergi ke berbagai negeri guna mempelajari hal baru kelak. Tekad itu terbukti, Emiria berhasil berpetualang keliling Eropa.
“Emiria seorang pemberani yang menggugat pusat. Dia berontak terhadap patriarki. Dia juga berontak dari dominasi laki-laki dalam dunia lukis,” kata Thamrin.