BEBERAPA hari terakhir, Kabupaten Kolaka dan sekitarnya digoyang gempa dengan magnitudo 5,1. Getarannya sampai ke Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara yang berjarak sekitar 167 km.
Kolaka dikenal sebagai penghasil nikel, yang ditambang di Kecamatan Pomalaa. Sudah lebih dari seabad nikel ditemukan di sana. Kendati Penemuan nikel di Kolaka kalah tua dari penemuan nikel di Saroako, kisah nikel di Kolaka cukup menarik.
Tersebutlah seorang pejabat kepala pengadilan bernama Jacques Henrij Abendanon (1852-1925), yang berdarah Yahudi Suriname. Dirinya pernah menjadi menteri pendidikan dan agama Belanda. Dari perkawinannya dengan Anna Elisabeth de Lange (1856-1882), dia mendapatkan beberapa anak. Salah satunya Eduard Cornelius Abendanon (1878-1962) yang lahir di Keresidenan Pati.
Setelah Anna Elisabeth de Lange meninggal, Henrij Abendanon kawin lagi dengan perempuan berdarah Spanyol, Rosa Manuela Madri (1857-1944). Rosa inilah Nyonya Abendanon yang sering berkirim surat dengan Raden Ajeng Kartini. Surat-surat itu lalu ada yang menjadi bagian dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Eduard Cornelius Abendanon kemudian menjadi insinyur tambang. Koran Bataviasche Nieuwsblad tanggal 28 Oktober 1909 memberitakan, Abendanon memimpin ekspedisi dari Paloppo melewati Pegunungan Latimodjong melalui Kalossi lalu menyusuri Sungai Sadang hingga muaaranya. Perjalanan ke arah lain lalu dilakukan oleh para geolog Belanda.
Sebagai insinyur tambang yang pernah bertugas di Hindia Belanda, Abendanon disebut-sebut sebagai orang yang menemukan nikel di Pomalaa, Kolaka. Itu terjadi setelah dirinya meneliti di Pomalaa sekitar tahun 1909. Daerah Kolaka sendiri dulu adalah Onderafdeling Kolaka, bagian dari Afdeling Luwu, Keresidenan Sulawesi dan sekitarnya.
Meskipun keberadaan nikel telah diketahui orang-orang Belanda, usaha penambangannya baru dilakukan pada 1930-an. Mineral Trade Notes Volumes 9 tanggal 19 Agustus 1939 menginformasikan, 20.000 metrik ton biji nikel dari Kolaka pada 1938 telah dikirim ke Pabrik Krupp di Essen, Jerman, untuk diuji. Hasilnya, nikel Kolaka dianggap bagus.
Potensi ekonomi besar itulah yang segera disambut para pebisnis. Awalnya, nikel Kolaka ditambang oleh NV Oost-Borneo Maatschappij (OBM) yang berkantor di Amsterdam. Dalam perjalanannya, terjadi perubahan. Koran De Locomotief tanggal 2 Maret 1939 memberitakan, OBM) mengalihkan hak eksplorasi atas nikel tersebut kepada NV Mijnbouw Maatschappij Boni Tolo, yang berkantor di Den Haag dan merupakan anak perusahaan OBM, pada 1 Maret 1939 untuk jangka waktu 40 tahun. Operasionalnya lalu dilakukan di Tanjung Pakar dan Lapaopao.
Setelah penambangan berjalan, terpikirkan juga upaya untuk peleburannya. Rencana pendirian pabrik peleburan nikel di Pomala, sekitar Teluk Mekongga pun dibuat. Namun rencana itu gagal diwujudkan karena Perang Eropa pecah sejak 1 September 1939. Menurut Bataviasche Nieuwsblad tanggal 3 Oktober 1939, rencana pendirian pabrik peleburan nikel itu dibatalkan pada Oktober 1939.
Pembatalan itu terkait erat dengan urusan politik. Mesin yang akan digunakan untuk pabrik itu tak bisa dipesan karena buatan Jerman, yang baru saja memulai perang di Eropa dan kelak menduduki Belanda. Selain batalnya pendirian pabrik, politik juga menghentikan ketrelibatan perusahaan Jerman Krupp dalam penambangan nikel di Kolaka yang telah dijalaninya selama beberapa tahun.
Pertambangan nikel Kolaka benar-benar macet setelah Jepang –sekutu Jerman dalam Perang Dunia II– masuk dan berkuasa di bekas Hindia Belanda. Militer Jepang mengambil alih pertambangan itu dari 1942 hingga 1945.
Kekalahan Jepang dalam perang membuat Belanda bisa kembali setelah 1946 dan Boni Tolo bisa beroperasi kembali. Namun, lagi-lagi urusan politik menjadi penghambat. Nasionalisasi perusahaan-purusahaan Belanda membuat aset yang seharusnya dikelola Boni Tolo selama 40 tahun itu diambil alih pemerintah Indonesia. Pengelolaannya kemudian dipercayakan kepada NV Pertambangan Toraja (Perto) sebelum PT Pertambangan Nikel Indonesia mengambil alihnya. Pada 1968, PT Aneka Tambang ikut mengelolanya hingga sekarang.