PAMERAN seni kini menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat. Para pengunjung mendatangi tempat-tempat pameran seni, seperti Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, saat akhir pekan. Namun, di balik pameran karya seni ada proses panjang dalam mempersiapkannya, mulai dari memilih karya, mengurus peminjaman koleksi, hingga menjamin keamanan karya seni rupa tersebut selama proses persiapan hingga pameran selesai.
Kurator Jejaring, Rimpang, Enin Supriyanto mengatakan dalam diskusi di Galeri Nasional Indonesia, pada Minggu, 29 Oktober 2023 malam, bahwa proses mempersiapkan pameran karya seni membutuhkan waktu yang tidak sebentar, karena mengumpulkan karya-karya yang akan dipamerkan, menghimpun data tentang karya-karya tersebut, dan menyusun narasinya, terbilang cukup sulit. Prosedur peminjaman koleksi juga susah-susah gampang. Apalagi bila karya atau arsip seni rupa berada di tanah air, baik di museum atau koleksi privat maupun milik negara.
Enin berpengalaman dalam membuat pameran. Ia terlibat dalam pameran “Beyond the Dutch” di Utrecht Centraal Museum, Belanda, pada 2009, dan pameran “Power and Other Things” bagian dari festival seni Europalia 2017. Enin membagikan pengalamannya saat mempersiapkan dua pameran tersebut.
Pada 2008, Enin sebagai co-curator pameran di Utrecht menyisir segi-segi kesejarahan yang menunjukkan keterhubungan maupun keterputusan perkembangan seni rupa Indonesia dan Belanda hingga awal abad ke-20. “Dengan cakupan seperti itu, dapat dibayangkan ada banyak sekali karya yang harus dipinjam, termasuk beberapa karya dari Indonesia maupun Belanda. Walau proses penelusuran data karya-karya itu cukup mudah, tetapi kesulitannya justru saat menelusuri keberadaan dan kondisi karya-karya seni tersebut,” kata Enin yang menjadi anggota dewan kurator Pekan Kebudayaan Nasional 2023.
Baca juga: Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi!
Kesulitan lain memastikan karya-karya seni itu dapat dipinjam dan mencari informasi mengenai prosedur peminjaman koleksi tersebut. Sayangnya, dari sejumlah karya yang sudah dipilih, karya-karya koleksi pemerintah tidak dapat dipinjam. “Karena lembaga-lembaga tersebut tidak tahu prosedur apa yang harus mereka lakukan untuk meminjamkan karya ini agar bisa dipamerkan di luar negeri,” jelas Enin.
Enin mengisahkan pengalamannya dua kali mendatangi Istana Bogor. Ia memeriksa lukisan-lukisan di sana secara manual dengan melihat buku legger atau buku catatan. Jika dilihat dari tulisan tangan maupun tinta yang digunakan, buku itu berusia puluhan tahun. Setelah data berhasil disusun, pengurus koleksi di Istana meminta waktu untuk mencari karya-karya tersebut dan memastikan kondisinya layak dipamerkan. Waktu pameran yang semakin dekat membuat Enin hanya meminjam koleksi milik privat atau lembaga swasta.
Enin kembali mendapat tawaran sebagai kurator pameran di festival seni Europalia. Pameran itu juga ingin menunjukkan sejarah perkembangan seni rupa Indonesia dari pertengahan abad ke-19 hingga kontemporer. Pengalaman kurang mengenakan pada 2008 membuatnya lebih dulu mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama proses persiapan pameran. Salah satunya mengusulkan dibuat surat perjanjian kerja sama antara pemilik koleksi dengan penyelenggara pameran. Dengan surat perjanjian tersebut diharapkan lembaga-lembaga negara tak hanya memiliki prosedur untuk memamerkan karya di luar negeri, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengelola dan merawat koleksi-koleksi itu. Terlebih, bila mengacu pada aspek sejarah, karya-karya seni koleksi lembaga negara termasuk benda berharga yang dapat menjadi bagian dari diplomasi budaya di luar negeri.
“Oleh karena itu, meski kembali gagal meminjam koleksi Istana untuk dipamerkan di Europalia, tetapi belakangan upaya untuk memiliki prosedur peminjaman karya mulai menjadi perhatian sejumlah pihak,” ungkap Enin.
Baca juga: Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak”
Dibandingkan dengan lembaga negara, kurator dan peneliti yang turut mendirikan kelompok riset Hyphen, Grace Samboh menyebut lembaga swasta memiliki kesadaran lebih besar dalam mengelola maupun merawat koleksi karya-karya seni. “Karena walaupun karya-karya seni tersebut tidak dipandang sebagai suatu kekayaan intelektual, tetapi koleksi tersebut dianggap sebagai sebuah aset yang berharga secara nilai,” sebutnya.
Enin menambahkan, terbatasnya informasi yang dimiliki lembaga-lembaga negara mengenai koleksi seninya membuat mereka tak sadar tengah mengelola kekayaan yang luar biasa. “Sebagai upaya untuk mengetahui nilai berbagai karya seni kita bisa membuat valuasi tentang koleksi-koleksi itu yang dibandingkan dengan nilai pasar sekarang. Saya kira nilai seluruh koleksi bisa mencapai triliunan, terlebih kita tahu bahwa suatu karya seni seiring berjalannya waktu dihargai semakin tinggi. Hal ini menjadi alasan mengapa lembaga swasta menggolontorkan dana yang tidak sedikit untuk merawat koleksi karya seninya,” ungkap Enin.
Di sisi lain, proses riset dan kerja pengarsipan karya seni juga menjadi penting. Hasilnya dapat digunakan sebagai dasar informasi berkaitan dengan cerita di balik pembuatan suatu karya seni, terlebih bila karya seni yang dipamerkan hasil reproduksi.
Hasil riset atau pengarsipan umumnya menjelaskan tentang aliran dan gaya sang seniman, bahan-bahan yang digunakan, dan tahun pembuatan. Itu dapat menjadi acuan bagi publik untuk mengetahui dan membedakan karya asli dengan reproduksi.
Tak hanya sebagai penunjang informasi mengenai karya seni yang akan dipamerkan, bagi Enin, pengarsipan dan riset juga berperan penting dalam membuka pengetahuan baru tentang sejarah seni rupa Indonesia.
Baca juga: Menjelajahi Era Jepang di Nusantara dalam Pameran Sakura di Khatulistiwa
Diskusi ini merupakan bagian dari peluncuran katalog pameran “Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak”. Pameran itu sendiri telah digelar di Galeri Nasional Indonesia pada Januari hingga Maret 2022. Judul pameran yang diambil dari karya seniman S. Teddy Darmawan, “Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak” tahun 1997 ini menampilkan 150 objek yang terdiri dari karya, dokumen, arsip, dan foto dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Hamburger Bahnhof–Museum für Gegenwart–Berlin, MAIIAM Contemporary Art Museum, Singapore Art Museum, dan berbagai institusi dan kolektor lainnya.
Selain itu, pameran ini merupakan upaya untuk memantik keragaman pembacaan, kemungkinan penulisan, dan pemahaman atas sejarah seni rupa di Indonesia melalui karya-karya dalam koleksi, sekaligus memaparkan hasil kerja sama antara empat kurator dari Thailand, Singapura, Indonesia, dan Jerman, yang diprakarsai dan didukung oleh Goethe-Institut.*