Masuk Daftar
My Getplus

Menyelami Sejarah Busana Muslim

Pensiun menyanyi, Ida Royani memilih berbisnis. Dia jadi salah satu pionir bisnis busana muslim di Indonesia.

Oleh: Nur Janti | 16 Mar 2018
Salah satu pagelaran busana karya Ida Royani. (Dok. Ida Royani/Historia.id).

Suatu hari, aktris senior Ida Royani kedatangan lima orang pengelola Sarinah, termasuk direktris Sarinah Thamrin. Mereka menawarkan kerjasama kepada pasangan duet Benyamin Sueb itu.

"Saya lihat baju dan kerudung Mbak Ida Royani bagus-bagus, fancy-fancy. Terus saya dengar juga Mbak Ida mendesain baju. Tolong dong, bisa nggak dimasukin ke Sarinah, soalnya belum ada yang jual," kata Ida Royani, pionir bisnis busana muslim Indonesia, menirukan pihak manajemen Sarinah Thamrin, kepada Historia.id.

"Saya kan baru bikin buat saya saja. Saya bikinnya baru satu-satu, nggak banyak," jawab Ida.

Advertising
Advertising

"Nggak apa-apa. Kita tunggu sampai banyak, nanti dimasukin ke tempat kita. Jadi masukinnya kita beli putus saja."

Tawaran pengelola Sarinah itu menjadi titik awal Ida menggeluti bisnis busana muslim. Kala itu, Ida baru saja memutuskan berhenti menyanyi menyusul keputusannya memakai jilbab tahun 1978. Meski harus perang batin karena harus meninggalkan profesi yang dicintainya itu, Ida akhirnya menemukan profesi baru yang tak kalah dia gandrungi.

"Aku sama Benyamin kan lagi populer-populernya. Tapi aku nekat saja karena suara itu aurat, jadi harus berhenti nyanyi. Perang batin itu. Tapi Allah kasih jalan dan aku memang suka desain," kata Ida.

Baca juga: Ida Royani Sang Legenda

Untuk mewujudkan keinginannya membuka butik, Ida mencari penjahit untuk mengeksekusi desain bajunya. Satu demi satu desain yang ia buat rampung dikerjakan. Satu desain baju tidak dia produksi masal, tapi hanya satu dua potong. Begitu baju yang diproduksi cukup banyak, butik pertama yang menjual baju muslim akhirnya buka di Sarinah Thamrin pada awal 1980-an.

Tapi, busana muslim rancangan Ida bukan tanpa cela. Kala itu busana muslim belum menjadi pilihan pakaian yang lumrah. "Yang ngatain banyak banget. Itu kok baju muslim warnanya merah, kuning, hijau, biru. Kok bajunya aneh-aneh gitu. Dipikiran orang-orang itu baju muslim harus putih," kata Ida.

Ida tak gentar. Yang terpenting baginya adalah busana muslim yang menutupi aurat dan tidak ketat. Ketika mendesain busana muslim berkain tipis, Ida tak habis akal. Ia menambahkan furing, kain tambahan di bagian dalam pakaian agar tidak tembus pandang.

 

Pertengahan 1980-an, Ida membuka butik keduanya di Pasaraya Blok M. Mall busana itu tak hanya mewah dan elit, tapi sekaligus pusat mode ibukota sebelum ada Sogo, Seibu, atau Metro. Bisnis pakaian muslim Ida berkembang. Dia kerap menggelar pameran busana di beberapa negara, mulai Malaysia hingga Rusia. "Terus setelah itu baru Anne Rufaidah, Ida Leman, itu mulai masuk Pasaraya. Anne Rufaidah juga salah satu pionir," kata Ida.

Baca juga: Dari Hijab hingga Hijrah

Anne Rufaidah pada 1985 sudah mengekspor rancangannya ke Arab Saudi. Desain-desainnya terkenal hingga mancanegara melalui berbagai pagelaran busana, seperti di Malaysia, Aljazair, Dubai, dan India.

Alhasil, popularitas busana muslim meningkat pada 1990-an. Peningkatan itu terjadi tak lepas dari makin diterimanya identitas keislaman oleh rezim Orde Baru. Setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani, Soeharto mendekat ke kalangan Islam.

Hal itu, menurut Eva F. Amrullah dalam "Indonesian Muslim Fashion Styles & Designs" yang dimuat dalam ISIM Review No. 22, 2008, mengakibatkan jumlah kelompok pengajian naik pada 1990-an. Kelompok-kelompok itu seringkali dipimpin mubalighah seleb yang tentu berpenampilan modis. Selain Ida sendiri, ada Neno Warisman yang memutuskan berjilbab pada 1990-an. Di kalangan pria, ada kiai muda Abdullah Gymnastiar, Jefry al-Buchori, atau Ahmad al-Hasby yang menjadi ikon busana muslim pria.

Mereka menjadi faktor penting yang menarik masyarakat menggunakan busana muslim, terutama busana muslim modis. Ida memanfaatkan betul posisi itu untuk bisnisnya. "Kebetulan aku public figure, jadi lebih cepet terkenal brand-nya daripada orang biasa. Itu keuntungan aku," kata pasangan duet Benyamin Sueb itu.

Baca juga: Ida Royani dan Sejarah Jilbab

Ida kemudian tak hanya membuat busana muslim untuk perempuan. Mukena, baju koko, dan baju muslim anak merupakan varian produk bisnis busana muslimnya.

Ketika pasar jilbab dan busana muslim ramai, banyak pihak ikut terjun ke dalamnya. Brand-brand seperti Zoya, Rabbani, Elzatta, bahkan brand kenamaan seperti Dolce and Gabbana, DKNY, atau Zara bermunculan. Mereka tak hanya menawarkan beragam model jilbab tapi juga kemewahan dan status lewat citra mereka di masyarakat.

"Ketika pasar mulai naik, orang-orang banyak yang ikut bikin baju muslim. Ketika sudah banyak yang bikin, aku tidak merasa tersaingi karena aku punya desain sendiri, karakter sendiri. Customer aku tetap ke aku. Terutama jahitan, jahitannya harus rapi," kata Ida.

Kemajuan mode, adanya ikon busana muslim, dan peningkatan bisnis busana muslim menyediakan pilihan bagi para konsumen. Namun di sisi lain, menurut Wiwiek Sushartami dalam disertasinya, Representation and Beyond: Female Victims in Post-Suharto Media, perkembangan busana muslim di perkotaan Indonesia pada 1990-an menodai niat berjilbab dan menjadikan mereka korban konsumerisme.

 

TAG

islam busana perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965