ALFRED Simanjuntak yang menciptakan lagu “Bangun Pemudi-Pemuda” memang bukan tokoh yang terlibat dalam momen Sumpah Pemuda di Kongresi Pemuda II, 28 Oktober 96 tahun lampau. Namun semangat yang tertuang dalam irama dan lirik lagu patriotis itu selalu jadi inspirasi harapan dan semangat para penerus bangsa.
Alfred yang lahir di Parlombuan, Tapanuli Utara pada 8 September 1920 menggeluti musik secara otodidak semasa dikirim bersekolah oleh orangtuanya ke Jawa. Meski ekonomi keluarganya pas-pasan, setidaknya Alfred masih bisa disekolahkan ke Hollandsche Inlandsche Kweek School (HKS) di Solo, Jawa Tengah.
Medio 1943 ketika Jepang sudah menduduki Indonesia, Alfred enggan ikut bekerja dengan Jepang. Ia memilih menerima tawaran jadi guru musik di sekolah rakyat “Sempoerna” di Semarang yang didirikan beberapa tokoh pergerakan, tokoh pers Parada Harahap, anggota Jong Sumatranen Bond Bahder Djohan, dan tokoh pergerakan Wongsonegoro.
Untuk memupuk semangat murid-muridnya, Alfred menciptakan beberapa lagu yang bernada patriotik, di antaranya “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, “Indonesia Bersatulah”, serta “Bangun Pemudi-Pemuda”. Lagu-lagu tersebut tentu ia konsultasikan lebih dulu dengan Parada atau Bahder demi menghindari sensor dan atau tindakan keras Jepang.
“Kepada anak-anak (Sekolah Sempoerna) tersebut, kami mengajarkan semangat keindonesiaan secara halus karena kalau secara terang-terangan, kepala saya bisa hilang,” kenang Alfred dalam majalah Bahana, 1 Juli 2000.
Baca juga: Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis, Alfred Simanjuntak
Inspirasi Selagi Mandi
Lagu “Bangun Pemudi-Pemuda” dengan birama 4/4 yang memantik semangat sejatinya nadanya berasal dari lagu mars Sekolah Sempoerna yang juga ia ciptakan pada medio 1943. Alfred mendapatkan ilham mengubah liriknya di balik kamar mandi saat sedang membersihkan badannya.
“Waktu itu saya lagi mandi, sayup-sayup saya seperti mendapat inspirasi mendengar lagu tersebut. Liriknya datang dari hati saya,” ujar Alfred kepada majalah Tempo edisi 17 November 2002.
Selepas mandi, ia segera mencatat lirik-lirik yang masih terngiang di kepalanya. Menariknya, ia mendahulukan kaum perempuan dengan lema “pemudi” sebelum menuangkan lema “pemuda” di lagunya.
“Kenapa begitu? Karena saya berontak sama tradisi orang Batak. Lihat saja kalau ada pesta, laki-laki pasti didahulukan daripada wanita. Kalau rapat di gereja, hanya bapak-bapak yang ngumpul,” katanya di majalah Bahana tahun 2005.
“Dalam hati saya pikir, orang Batak mesti ditegur tentang kesetaraan laki-perempuan. Di luar negeri, wanita sangat dihormati: Ladies and Gentlemen. Ladies duluan disebut. Mungkin lewat judul lagu itu, saya bisa ikut memperjuangkan kedudukan wanita,” lanjutnya.
Baca juga: Perempuan dalam Kongres Pemuda
Secara tidak langsung, Alfred juga mewarisi semangat “Sumpah Pemuda” sebagai hasil Kongres Pemuda II. Meski temanya “Kongres Pemuda”, sosok pertama yang naik ke mimbar utama sebagai pembicaranya adalah tokoh perempuan anggota Jong Java, Nona Poernomowulan. Turut hadir di kongres itu beberapa tokoh perempuan lain, di antaranya Emma Poeradiredja (pendiri Pasundan Istri/PASI), Siti Sundari (tokoh pers), Suwarni Pringgodigdo (pendiri gerakan Istri Sedar), dan Nona Tumbel (anggota Jong Celebes).
Lagu “Bangun Pemudi Pemuda” kemudian Alfred ajarkan ke semua muridnya. Tapi tetap saja harus diam-diam karena jika diajarkan secara terbuka maka akan dianggap subversif oleh Jepang.
“Lagu ‘Bangun Pemudi Pemuda” itu digubahnya dalam suasana batin yang gundah di negeri yang sedang terjajah. Rasa untuk merdeka kuat sekali di kalangan anak muda saat itu. Dikarenakan lagunya yang sangat patriotik, nama A. Simanjuntak masuk daftar orang yang dicari Kempeitai, polisi militer Jepang,” tulis Dr. Sopan Arianto dalam Indonesia Pusaka.
Baca juga: Di Balik Senandung Kemerdekaan Husein Mutahar
Beruntung, hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia, Alfred tak mengalami penangkapan. Hingga ajalnya menjemput pada 25 Juni 2014, Alfred tak pernah berhenti menggeluti musik dan menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu nasional oleh pemerintah kendati tak pernah mendapat apresiasi apalagi royalti dari pemerintah.
Lagu “Bangun Pemudi Pemuda” yang acap berkumandang di hari-hari besar nasional, termasuk Hari Sumpah Pemuda, merupakan rekaman anyar yang lebih menggelegar berkat aransemen ulang komposer Addie MS pada 1998. Lagu “Bangun Pemudi Pemuda” turut dimasukkan ke dalam album Simfoni Negeriku bersamaan dengan beberapa lagu wajib nasional lain.
“Aransemen lagu-lagu nasional Indonesia yang hendak dimasukkan dalam album, dilakukan Addie dan juga temannya dari Yogyakarta, Singgih Sanjaya. Lagu-lagu yang dipersiapkan antara lain: ‘Indonesia Raya’, ‘Bagimu Negeri’, ‘Bangun Pemudi Pemuda’, ‘Hari Merdeka’, ‘Syukur’, ‘Tanah Airku’, ‘Indonesia Pusaka’, ‘MARS Pancasila’, ‘Rayuan Pulau Kelapa’, ‘Berkibarlah Benderaku’,” tandas Evariny Andriana dalam biografi Addie MS.
Baca juga: Peranakan Tionghoa dan Lagu "Indonesia Raya"