Di Balik Senandung Kemerdekaan Husein Mutahar
Husein Mutahar bukan sekadar pencipta lagu “Hari Kemerdekaan” dan pendiri Paskibraka. Penyelamat bendera pusaka yang menyandang dua pangkat.
SETIAP kali menjelang HUT Kemerdekaan RI, tembang bertajuk “Hari Merdeka” senantiasa terngiang. Lagunya yang menghentak selalu membangkitkan semangat. “Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita. Hari Merdeka, nusa dan bangsa. Hari lahirnya bangsa Indonesia. Mer..de..ka!”
Api semangat dari lagu patriotik itu tak lekang zaman meski usia lagunya sudah genap 78 tahun. Lagu itu diciptakan Husein Mutahar pada 1946 atau saat republik masih berumur setahun.
Mutahar sendiri lahir di Semarang pada 5 Agustus 1916 dengan nama Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Saim bin Ahmad al-Mutahar. Dari namanya, ia seorang Sayyid, sebutan keturunan Nabi Muhammad SAW yang belakangan lebih kondang jadi gelar “Habib”.
Walau berdarah Arab, “dada” Husein Mutahar sudah Merah-Putih sejak usia muda. Terlibat aktif di antara kalangan nasionalis berdarah Arab, Husein Mutahar sudah ikut organisasi pemuda keturunan Arab di Semarang, Wihdatul Syubban Islamiyah (Persatuan Pemuda Islam), dan kemudian ikut bergabung ke gerakan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan A.R. Baswedan pada 1934.
“Ia sempat menjadi ketua cabang PAI Semarang pada tahun 1937. Keterlibatannya di dalam PAI memang tidak berlangsung lama. Hal ini bisa jadi disebabkan karena ia memiliki banyak keaktifan lainnya, teruatma di bidang kepanduan, di mana pada tahun 1938 ia mengikuti Jambore Internasional di London,” tulis Nabel A. Karim Hayaze dalam Mendendang Gambus Memeluk Indonesia: Legenda Seniman Musik Indonesia Keturunan Arab.
Kendati begitu, saat aktif di PAI itulah minat Husein Mutahar pada seni mulai tumbuh. Beberapa kali ia turut jadi kru tata rias dan kostum pementasan tonil Fatimah yang diramaikan para pemuda PAI. Sedangkan bibit kecintaannya pada musik muncul seiring zaman pendudukan Jepang (1942-1945).
“Ketika Mutahar menjadi pegawai Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api) di Jawa Tengah Utara di Semarang (Mutahar) mendirikan Korps Musik Kereta Api. Sejak saat itulah kecintaan Husein Mutahar terhadap musik dan lagu mulai berkembang. Ia belajar otodidak sebelum akhirnya belajar dari seorang (seniman) Polandia dan Hungaria,” lanjutnya.
Baca juga: Husein Mutahar, Penggerak Nasionalisme
Komposer Republikan
Sebagai pemuda nasionalis, Husein Mutahar turut menyandang senjata ketika revolusi memanggil. Ia yang tergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut turut terjun di Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-19 Oktober 1945) melawan serdadu Jepang. Di masa ini pula Husein Mutahar menciptakan tembang “Syukur” yang terinspirasi dari keadaan rakyat kecil di Semarang semasa revolusi itu.
“Lagu itu bukan terlahir dari ruang hampa, melainkan situasi di mana sang komposer pada suatu siang menyaksikan banyak warga Semarang makan bekicot untuk mempertahankan hidup di masa penjajahan Jepang. Pada sore harinya, Mutahar masuk kelas musik dan langsung memainkan organ sembari berurai air mata,” ungkap Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M. Dahlan dalam 100 Konser Musik Indonesia.
Menurut buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 2 yang disusun tim Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Untuk Indonesia, mulai 1946 Husein Mutahar ditunjuk menjadi sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI, kini TNI AL) Laksamana III Mohammad Nazir dengan pangkat kapten. Tetapi tak lama setelah itu, ia diminta jadi salah satu ajudan Presiden Sukarno dan diberi pangkat kedua.
“Ketika mendampingi Nazir, Bung Karno mengingat Mutahar sebagai sopir yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari setelah Pertempuran Lima Hari. Ia kemudian diminta oleh Bung Karno dari Nazir untuk dijadikan ajudan dengan pangkat mayor angkatan darat,” tulis tim penyusun buku tersebut.
Ketika sudah jadi ajudan Bung Karno itulah Husein Mutahar diminta mengatur agenda pengibaran bendera pusaka Merah Putih menjelang HUT Kemerdekaan ke-1 di Gedung Agung, Yogyakarta. Mutahar menggagas ide pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) dengan formasi awal 10 pemuda.
Menjelang HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1946 itu pula, Husein Mutahar melahirkan lagu yang menggugah semangat, “Hari Merdeka”. Lagu tersebut juga berawal dari permintaan “Bung Besar” pada suatu pagi.
“Sukarno mengajukan perintah, ‘Cak, kon nggaweo aubade (kau tolong buatkan nyanyian).’ Mutahar berguman, ‘Aubade kok isuk-isuk (nyayian kok pagi-pagi).’ Untuk mengetes lagu tersebut, Mutahar meminjam orkes keraton. Dengan bersemangat, ia mengonduktori permainan dengan naik di meja reyot. Saking bersemangatnya, meja itu ambruk,” sambung Anas dan Muhidin.
Meski begitu, karyanya “Hari Merdeka” disukai Presiden Sukarno. Maka mulai 1946 itu pula lagunya kerap dilantunkan.
Pada masa genting saat ibukota Yogyakarta diserbu (Agresi Militer Belanda II) pasukan Belanda pada 19 Desember 1948, Presiden Sukarno sebelum ditawan Belanda menitipkan bendera pusaka pada Mutahar. Jelas merupakan tugas berat menjaga dengan baik bendera yang dijahit Ibu Negara Fatmawati itu.
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andai kata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya,” kata Bung Karno mengamanahkan pada Mutahar, dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Menurut Hamid Alhadad dalam buku Hamid Algadri: Tokoh Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Tokoh-Tokoh Lain Penerusnya, Husein Mutahar mencari akal agar bendera pusaka itu tak direbut Belanda. Dengan berat hati ia mencabuti jahitannya sehingga kain bagian merah dan putihnya terpisah. Bagian merah ia sembunyikan di balik bajunya di bagian pinggang dan bagian putihnya ia simpan di dalam koper.
Baca juga: Cornel Simanjuntak, Komponis yang Bertempur
Baru menjelang Peristiwa Yogya Kembali pada 29 Juni, Husein Mutahar menjahitnya seperti sedia kala. Lantas ia serahkan kembali melalui tangan Mr. Sudjono yang mewakili pemerintah RI dalam Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia, UNCI.
“Hingga akhirnya Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta,” sambung Nabiel.
Hingga 1960-an, Husein Mutahar senantiasa di sisi Bung Karno dan acap ikut mengatur protokoler menerima tamu di Istana Negara dan Istana Merdeka, Jakarta. Di era pemerintahan Presiden Soeharto, pada 1967 Husein Mutahar kembali mengabdi di bidang kepanduan sebagai Dirjen urusan Pemuda dan Pramuka di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sosok penerima Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra itu sempat pula “didubeskan” di Kedutaan RI untuk Vatikan (1969-1973), lantas jadi pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri pada 1974. Selebihnya, ia balik lagi mendarmabaktikan dirinya di kepemudaan dan kepanduan.
Menukil Tempo, Volume 12 tahun 1982, pada 1981 ia sempat lagi menciptakan lagu “Jambore Pramuka”. Lagu tersebut “dipesan” Ibu Negara Tien Soeharto.
“Saya mengenyal Nyonya Tien sejak 1945 ketika sama-sama menjadi anggota Pandu Rakyat Indonesia. Lagu (jambore) yang berirama mars itu mudah dihafal. Mendengar dua-tiga kali saja anak-anak sudah bisa menyanyikannya,” kata Husein Mutahar.
Di sisa hidupnya, Husein Mutahar tercatat telah menciptakan 116 lagu. Selain lagu jambore Pramuka itu, di antaranya “Gembira”, “Tepuk Tangan Silang-Silang”, “Mari Tepuk”, “S’lamatlah”, “Jangan Putus Asa”, dan “Tiba Saat Berpisah”. Karya terakhirnya adalah “Dirgahayu Indonesiaku”.
Baca juga: Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun
Mutahar menjalani hari tua dengan kehidupan yang sederhana. Meski tak beristri, setidaknya ia punya 10 anak angkat (8 putra, 2 putri). Tetapi warisannya, utamanya lagu “Hari Merdeka”, tetap abadi. Terlebih setelah lagu itu digarap ulang komposer Addie MS.
“Ia tampak terharu ketika ciptaannya yang berjudul ‘Syukur’ dan ‘Hari Merdeka’ digarap ulang oleh Addie MS dengan Orkes Philharmonic di Australia. Matanya terkatup dan beberapa tetes air mata meleleh di pipinya yang renta,” ungkap jurnalis Bondan Winarno dalam tulisan obituarinya di kolom harian Kompas, 14 Juni 2004, “In Memoriam Husein Mutahar”.
Husein Mutahar tutup usia pada 9 Juni 2004, dua bulan sebelum berulangtahun ke-88. Sebagaimana wasiatnya kepada anak-anak angkatnya, Husein Mutahar dikebumikan di perkuburan biasa, Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Baca juga: Peranakan Tionghoa dan Lagu "Indonesia Raya"
Tambahkan komentar
Belum ada komentar