SATU lagi bangunan yang punya nilai penting bagi sejarah pers dan pergerakan nasional Indonesia menemui ajal. Bangunan bekas kantor redaksi harian De Locomotief di Jalan Kepodang (dulu van Hogendorpstraat), Semarang itu diduga hancur karena sengaja dirobohkan oleh pemiliknya.
Pantauan Historia di lapangan (Jumat, 19/6) bangunan yang roboh bernomor 20. Adapun bangunan bernomor 22 yang berada di sebelahnya, dan masih bagian dari kantor redaksi koran tersebut, dalam kondisi rusak.
Menurut Stn, tukang parkir di Jalan Kepodang, bangunan berlantai dua itu roboh sekitar tiga pekan lalu. Gedung itu roboh setelah sehari sebelumnya, pemilik membongkar balok-balok kayu penopang lantai dua. Tindakan pemilik, ujar Stn, didasari oleh kejengkelan terhadap ulah pencuri di gedung itu.
“Sebelum sengaja dibongkar, papan-papan yang jadi alas lantai II dipreteli pencuri. Kejadiannya sampai dua kali. Mungkin karena jengkel dan khawatir kayu-kayunya diambil semua oleh pencuri, pemilik memutuskan untuk ‘menyelamatkannya’ sendiri. Balok-balok penopang diambil, sehingga bangunan yang tak punya kekuatan itu roboh pada keesokan hari,” kata Stn.
Namun menurut Stn, perobohan bangunan itu diduga dilakukan atas sepengetahuan pihak berwenang. Informasi tersebut dia dapatkan dari informasi orang kepercayaan pemilik bangunan. Stn mengaku kerap melihat orang kepercayaan itu datang ke lokasi sambil membawa bendel kertas yang dia duga berkas perizinan pembongkaran.
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo, dkk., dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, setelah Batavia (Jakarta) dan Surabaya, Semarang merupakan kota ketiga yang penting bagi kelahiran pers Belanda dengan korannya De Locomotief.
Awalnya bernama Semarangsch Advertentieblad yang terbit pada 1851 (sumber lain menyebut 1845), kemudian berganti nama menjadi De Locomotief pada 1863. Setelah terbit mingguan, dalam waktu singkat De Locomotief dapat terbit dua kali seminggu, dan akhirnya menjadi harian pada 1879. Dalam waktu 15 tahun, koran ini berpindah tangan dua kali, tetapi peredarannya makin bertambah. Sejak 1866, surat kabar ini tidak mendapat saingan dari surat kabar lain di sekitar Semarang. Beberapa surat kabar yang muncul kalah bersaing, dan akhirnya malah dibeli oleh De Locomotief.
Meski terbit di daerah, De Locomotief punya jangkauan pembaca di seantero Hindia Belanda. Tak hanya itu, ia juga punya pengaruh kuat di lapangan politik. De Locomotief merupakan penyokong utama politik etis di Hindia Belanda.
“Ia merupakan surat kabar yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik kolonial,” tulis Abdurrachman. “De Locomotief adalah pembawa suara ‘politik etika’ yang terutama didukung oleh gabungan perusahaan perdagangan impor. Sebaliknya, para eksportir dan kantor-kantor administrasi perkebunan menolak gagasan peningkatan kemakmuran penduduk bumiputra. Mereka lebih suka membaca Soerabajaasch Handelsblad.”
Sedangkan, menurut mantan wartawan dan kurator Jim Supangkat, pembaca De Locomotief beragam mulai dari para pedagang, pengusaha perkebunan, industrialis, masyarakat pribumi terpelajar, dan para pegawai di kalangan pemerintahan. “Pengaruh ini membuat visi De Locomotief diakui sebagai visi masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu,” tulisnya dalam CP Biennale 2005: Urban/Culture.
Pieter Brooshooft, redaktur utama De Locomotief adalah seorang reformis yang peduli pada hak-hak pribumi, khususnya hak-hak para petani dan buruh perkebunan. Dia melihat mereka sebagai masyarakat yang berjasa mendatangkan keuntungan, namun diabaikan kesejahteraannya.
“Brooshooft adalah pencetus gagasan Politik Etis,” tulis Jim. Istilah Politik Etis berasal dari tulisan Brooshooft: “Die Etische Koers in de Koloniale Politiek” (1901). Dasar pemikiran Politik Etis sudah bergulir sejak cultuur stelsel (tanam paksa) dikritik dan dianggap sebagai penindasan. Politik Etis merupakan kelanjutan pemikiran ini, suatu penyusunan konsep politik yang menurut pendukungnya harus dijalankan Kerajaan Belanda sebagai tanggung jawab moral. De Locomotief –yang berusia lebih dari seabad (1851-1956)– menjadi media massa pertama yang berani secara terus menerus mempersoalkan hak-hak pribumi.