Dokter militer Mayor Ibnu Sutowo terpaksa mengungsikan keluarganya ke Muara Aman. Kota Palembang tempat mereka tinggal sudah dikuasai oleh tentara Belanda. Kota-kota kabupaten sekitarnya juga mulai diduduki. Sebagai kepala Jawatan Kesehatan Tentara, Ibnu Sutowo harus mengikuti pasukan TNI berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
“Tanggal 1 Januari 1947, subuh sekitar pukul lima, Belanda memulai serangan di Palembang Ilir. Itulah awal mulainya perang lima hari lima malam di kota Palembang,” tutur Ibnu Sutowo kepada Ramadhan K.H dalam otobiografi Ibnu Sutowo: Saat Saya Bercerita!
Sewaktu di Lubuk Linggau, terjadilah peristiwa nahas. Petaka menimpa Komandan Sub-Komando Sumatra Selatan Kolonel Bambang Utoyo. Entah bagaimana kejadiannya, tangan sang komandan bercucuran darah hampir hancur karena ledakan granat. Menurut desas-desus, Bambang Utoyo menerima granat itu ketika berada di daerah Kayu Agung, antara Palembang dan Jambi. Saat Bambang Utoyo meletakan granat ditangannya, tiba-tiba saja meledak. Rumor menyebutkan bahwa granat itu buatan orang di Sumatra Barat.
Baca juga:
Rosihan Tidur Berbantalkan Granat
“Maklum keadaan kita masih serba tidak teratur. Pengetahuan kita mengenai persenjataan juga masih amat kurang,” kata Ibnu.
Sebagai seorang dokter, Ibnu Sutowo segera bertindak. Sayangnya, keadaan saat itu tidak memadai. Ibnu Sutowo menjalankan tindakan operasi di klinik sederhana. Bermodal doa dan niat, Ibnu mengamputasi tangan kanan Bambang Utoyo menggunakan alat-alat sederhana. Beruntunglah Ibnu Sutowo terlatih waktu menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran (NIAS) Surabaya.
“Saya berusaha mengoperasi sebaik mungkin, sesuai ketentuan-ketentuan dalam ilmu kedokteran. Tetapi entah bagi Pak Bambang, saya tidak dapat membayangkan penderitaan yang dialaminya,” kenang Ibnu Sutowo.
Baca juga:
Nasib Tragis Dokter Pembawa Metode Bedah
Beberapa hari pasca amputasi, Bambang Utoyo mulai belajar menulis dengan tangan kirinya. Tidak berhenti hanya dengan belajar menulis, Bambang Utoyo bahkan kembali ke dinas ketentaraan. Ibnu Sutowo mengakui betapa Bambang Utoyo memiliki jiwa yang sangat kuat.
Bertahun-tahun kemudian, ternyata amputasi yang dilakukan Ibnu Sutowo dieksekusi dengan tepat meskipun ditengah berbagai kertebatasan. Hal ini diketahui ketika Bambang Utoyo berobat ke Jerman untuk pengobatan penyakit gula. Menurut pengamatan dokter di Jerman, kata Bambang Utoyo kepada Ibnu Sutowo, hasil amputasinya itu menuai pujian. Tentu saja Ibnu Sutowo senang mendengarnya.
Meski dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, Bambang Utoyo berhasil mencapai puncak kariernya dalam militer. Pada 1955, Bambang Utoyo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang ke-4. Bambang Utoyo pensiun dengan pangkat letnan jenderal dan pada 1997, pemerintatah Indonesia menaikan pangkatnya menjadi jenderal kehormatan.
Baca juga:
Permigan, Saudara Tua Pertamina
Sementara itu, Ibnu Sutowo pernah menjadi deputi II KSAD bidang operasi pada 1956. Ketika terjadi nasionalisasi aset Belanda, Ibnu dikaryakan untuk mengelola Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Sejak saat itu hingga pensiunnya sebagai letnan jenderal, nama Ibnu Sutowo lebih sohor sebagai bos Perusahaan Tambang Minyak Nasional atau Pertamina.