Suatu sore di pesisir Tawau, Malaysia, pada 1961. Rasid, pemuda dari Suku Tidung yang mendiami Pulau Sebatik, sedang menjual panennya. Dia sudah biasa ke Tawau dan hafal keadaan sekitarnya. Tapi sore itu berbeda. Banyak tentara Malaysia berjaga di beberapa sudut.
Setahun berikutnya, Rasid menjual panen di Pulau Nunukan, Indonesia. Kali ini dia melihat banyak tentara Indonesia. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Tentara di mana-mana.
Setahun berselang, Rasid baru tahu mengapa tentara muncul di dua pulau itu. Dia mendengar Indonesia mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia setelah Inggris berencana membentuk Federasi Malaysia pada 20 Januari 1963.
Rasid tinggal di Pulau Sebatik, gugus pulau terdepan di Kalimantan Utara. Pulau kecil ini terbagi dua. Satu masuk wilayah Indonesia, satu lagi bagian Malaysia. Dia tinggal di Pulau Sebatik wilayah Indonesia. Tempat tinggalnya diapit dua wilayah: Nunukan di barat dan Tawau di timur. Itu dua tempat di mana Rasid menjual panen. Sebab di dua tempat itu penduduknya lebih banyak dan pembangunannya lebih maju ketimbang di Sebatik.
Baca juga: Asal-Usul Suku Tidung
Rasid, sebagaimana orang-orang Tidung di Pulau Sebatik, menjalin hubungan erat dengan orang-orang di Nunukan dan Tawau. Sebagian kerabat dan rekan dagang mereka ada di Nunukan, Tawau, dan wilayah Sebatik yang masuk dalam kepemilikan Malaysia. Ini membuat Rasid dan orang Tidung lainnya berada dalam dilema.
“Sebagai masyarakat perbatasan, mereka tidak menginginkan adanya konfrontasi,” kata Sugih Biantoro, peneliti sejarah di Puslitbang Kebudayaan, Kemdikbud, kepada historia.id. Sugih meneliti kehidupan Suku Tidung selama masa Konfrontasi. Dia sempat menemui sejumlah penyintas Konfrontasi dari Suku Tidung, termasuk Rasid.
Sugih menuturkan, orang-orang Tidung seperti Rasid harus memilih: menegaskan identitasnya sebagai warga negara Indonesia atau sebagai masyarakat perbatasan yang bersaudara. Mereka memilih yang pertama. Tapi mereka menekankan, keterlibatannya dalam berperang bukanlah melawan saudaranya sesama orang Tidung di Malaysia, melainkan terhadap Inggris.
“Konfrontasi itu awalnya berkenaan dengan Inggris, orang Malaysia itu bertetangga, kita mengusir Inggris dari Malaysia, kami membantu negara, kalau perang kami siap…” kata Kahar, orang Tidung lainnya penyintas Konfrontasi kepada Sugih dalam tesisnya “Masyarakat Perbatasan di Sebatik Masa Konfrontasi 1963–1966” di Universitas Indonesia.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Sejumlah pemuda Tidung kemudian bergabung ke barisan sukarelawan dan pasukan pembantu. Keduanya sama-sama bersifat sukarela. Perbedaannya terletak pada tanggung jawab. Barisan sukarelawan bertanggung jawab ikut membantu militer Indonesia memasuki wilayah musuh, sedangkan barisan pembantu tak wajib ikut masuk.
Pemuda Tidung dalam barisan sukarelawan dan pasukan pembantu memperoleh latihan dari pasukan KKO (kini Marinir) TNI AL selama tiga bulan di Nunukan. Materinya dari baris-berbaris, menggunakan senjata api dan granat, pengetahuan berperang, sampai cara menyerang musuh di palagan.
Setelah menuntaskan latihan tiga bulan, para pemuda Tidung kembali ke Sebatik. Di sini mereka berlatih lagi. Tapi tak sesering seperti di Nunukan. Seraya kepulangan mereka ke Sebatik, ribuan pasukan KKO mendarat di pulau itu.
Pemuda Tidung dalam barisan sukarelawan dan pasukan pembantu memperoleh tugas sebagai penunjuk jalan. Mereka menuntun militer Indonesia mempelajari kondisi lapangan dan kekuatan lawan.
“Sukarelawan dianggap sebagai pasukan yang paling mengetahui lokasi di lapangan. Hal itu dikarenakan banyak sukarelawan merupakan penduduk lokal,” catat Sugih.
Baca juga: Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah
Menurut Muhammad Yamin Sani dan Rismawati Isbon dalam “Orang Tidung di Pulau Sebatik” termuat di jurnal Al-Qalam No. 24 Tahun 2018, orang Tidung telah mendiami pulau ini sejak abad ke-17. Sebatik kala itu hampir sepenuhnya tertutup hutan lebat. Tak mudah bagi luar Sebatik masuk ke sini. Hanya orang setempat yang tahu seluk-beluk wilayah ini.
Atas tugasnya itu, para sukarelawan dan pasukan pembantu mendapat upah Rp2 uang lama dan Rp25.000 uang baru. Selain itu, ada juga uang makan, beras, dan rokok untuk mereka.
Sepanjang bertugas dengan militer Indonesia, Kahar mengaku dua kali berkontak senjata dengan militer Malaysia. “Kita dihantam sama Gurkha. Kita tidak punya senjata. Hanya granat saja. Kami pun lari. Ada yang kena di kaki kena darah,” kenang Kahar.
Gurkha adalah kesatuan tentara yang berasal dari Nepal dan berada di bawah militer Inggris. Mereka ikut bertugas di Sebatik selama masa Konfrontasi menghadapi Indonesia.
Baca juga: Ngeri-Ngeri Sedap di Long Bawang
Rombongan Kahar pernah juga dihantam mortir di dalam hutan. Dia dan rombongannya langsung tiarap. Tiga kali mortir menghantam mereka. Mereka semua selamat. Tak ada korban. Tapi setelah kejadian itu, Kahar menangis sendirian di hutan. Betapa dekatnya dia dengan kematian. Dia juga mengingat orang tua dan keluarganya di rumah.
Sementara itu, Ibrahim, pemuda Tidung lainnya dalam barisan sukarelawan, mengatakan pernah menyerang pos jaga Malaysia di wilayah Simpang Tiga, Malaysia, bersama 14 orang temannya. “Waktu itu kita menyerang pos Gurkha, ada teman saya sersan Trisno dari KKO tewas. Ada juga yang luka kena tembak di kakinya,” terang Ibrahim.
Penduduk Tidung lainnya yang tak bergabung dalam sukarelawan dan pasukan pembantu juga ikut membantu militer Indonesia selama Konfrontasi. Macam-macam bentuk bantuannya. Mereka memberikan lauk pauk dari hasil bumi setempat kepada militer Indonesia untuk ditukar dengan makanan kaleng.
“Sayur kangkung ditukar dengan makanan kaleng,” kata Maswari, orang Tidung yang tak ikut dalam sukarelawan dan pasukan pembantu.
Hubungan antara orang Tidung dan militer Indonesia cukup baik. Beberapa anggota KKO mempelajari bahasa Tidung sehingga pergaulan lebih lancar. Pasukan KKO juga sempat mendirikan sekolah rakyat. Pengajarnya dua orang. Dua puluh anak Tidung bersekolah di tempat itu. Salah satunya Maswari.
Maswari mengatakan, ada kalanya juga orang Tidung agak takut dengan militer Indonesia. Ini sebenarnya berkaitan cerita dari anggota sukarelawan dan pasukan pembantu. Seorang di antara mereka menceritakan ke orang Tidung lainnya tentang hukuman dari anggota KKO jika mereka lalai dalam tugas.
Baca juga: Hantu Laut (KKO) Bertemu Hantu Laut
Ketika Konfrontasi berakhir pada 1966, pemuda Tidung dalam barisan sukarelawan dan pasukan pembantu kembali menjadi nelayan atau petani. KKO pun berangsur-angsur meninggalkan tanah Tidung. Kegiatan di sekolah buatan KKO tak berlanjut.
“Sedih ketika KKO pulang, karena ada yang baik sudah seperti saudara… Anggota KKO masih muda-muda semua,” kenang Maswari.
Para pemuda Tidung seperti Rasid, Kahar, dan Ibrahim mengatakan, mereka senang bisa bergabung dan membantu militer Indonesia selama Konfrontasi. Tapi setelah Konfrontasi berakhir, mereka cukup kecewa dengan sikap abai pemerintah terhadap pembangunan Pulau Sebatik.
“Dirinya yang dulu ikut bersama-sama berjuang mempertahankan wilayah Indonesia dilepas begitu saja tidak diperhatikan oleh pemerintah,” kata Sugih menirukan pengakuan eks sukarelawan dan pasukan pembantu.