SURAT Izin Mengemudi (SIM) merupakan dokumen penting yang harus dimiliki pengemudi kendaraan. Tak berbeda dengan masa kini, SIM di zaman kolonial Belanda yang disebut rijbewijs bisa didapatkan pengemudi dengan mengikuti serangkaian tes, salah satunya ujian berkendara di jalan umum. Saat menjalani tes ini pengemudi didampingi seorang inspektur polisi yang akan menilai kemampuan mereka selama berkendara.
Menurut G.H. von Faber dalam Oud Seorabaia, melalui tes berkendara ini pihak berwenang akan menilai kemampuan pengendara. Biasanya peserta akan diminta mengemudikan kendaraannya melewati sejumlah jalan. Lalu, mereka diuji untuk bermanuver di antara barisan bendera, menggerakan mobil maju dan mundur, hingga berbelok. Bagi banyak orang, ujian berkendara ini menjadi tes yang paling sulit dalam rangkaian ujian mendapatkan SIM.
Dalam beberapa kasus, alih-alih lolos ujian berkendara, sejumlah peserta justru mengalami kecelakaan. Seperti pengalaman seorang peserta ujian SIM yang diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13 Juli 1909. Dikisahkan, Tuan B dari Magelang pergi ke kantor polisi di Surabaya untuk mengajukan permohonan SIM bagi sopirnya seorang penduduk lokal. Mulanya ujian berkendara itu berjalan dengan lancar. Masalah mulai muncul ketika sopir Tuan B yang didampingi seorang inspektur polisi tiba di kawasan Passer Besar, dekat toko Savelkoul. Sebuah kereta kuda berhenti di depan toko, dan dua gerobak muncul dari arah yang berlawanan sehingga membuat jalan itu menjadi sulit dilalui.
Baca juga:
“Akibatnya, pengemudi itu sangat bingung dan menabrak kereta kuda milik Tuan L dengan kecepatan penuh, sehingga pohon-pohon patah dan kereta ini bertabrakan dengan gerobak yang terbalik dan rusak parah,” tulis surat kabar itu.
Tak hanya merusak gerobak, kuda-kuda dari kereta milik Tuan L juga mengalami luka ringan di kaki belakangnya. Insiden ini tak hanya membuat peserta ujian gagal, ia juga dilaporkan ke polisi dan harus membayar denda sebesar 50 gulden sebagai ganti rugi atas kerusakan yang dialami Tuan L dan pemilik gerobak.
Namun, ujian berkendara bukan satu-satunya penyebab pengemudi gagal mendapatkan SIM. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Oktober 1938 dilaporkan, beberapa peserta justru gagal ketika mengikuti ujian teori berkaitan dengan tata cara berkendara dan rambu-rambu jalan.
“Saat ini ada banyak pengemudi yang layak yang tidak dapat lagi mengemudi karena mereka telah gagal dalam ujian terlalu sering… Seorang sopir yang telah bekerja selama dua puluh tahun sekarang justru duduk di bangku belakang, sementara majikannya berada di belakang kemudi. Semua itu karena orang ini tak dapat menjawab pertanyaan penguji, pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan keahlian mengemudi,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.
Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada peserta ujian itu berkaitan dengan jumlah lampu belakang yang dimiliki mobil. Beberapa peserta umumnya menjawab satu, tetapi jawaban tersebut dianggap salah, karena menurut penguji, mobil memiliki tiga lampu; satu untuk penerangan nomor, satu lampu belakang merah dan satu lampu setop. “Jawaban ini sesungguhnya juga salah; sebab dalam banyak kasus, lampu belakang merah juga berfungsi untuk menerangi pelat nomor,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.
Pertanyaan lainnya yang juga kerap mengecoh peserta adalah “Di mana bos Anda selalu duduk?” Pertanyaan ini umumnya akan dijawab, “Tepat di bangku belakang.” Namun, bagi penguji jawaban ini tidak tepat. “Salah! Di tangan Anda! Nyawanya ada di tangan Anda, bukan?” katanya.
Baca juga:
SIM untuk Kusir dan Tukang Becak
Sementara itu, beberapa tahun sebelumnya, surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Februari 1925 melaporkan, seorang pengemudi gagal lima kali dalam ujian mendapatkan SIM. Penyebabnya pun karena ia tak dapat menjawab pertanyaan penguji dengan tepat. Penguji bertanya kepadanya apa yang akan ia lakukan bila saat berkendara bertemu seekor kuda yang berlari kencang di jalan. Peserta itu menjawab ia akan berhenti. Namun, jawaban tersebut dianggap kurang tepat. Menurut penguji, pengemudi itu seharusnya menjawab akan mematikan mesin. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akhirnya dikritik oleh sejumlah pihak karena dianggap menjebak dan membuat peserta ujian menjadi bingung.
“Sangat disarankan untuk menghindari pertanyaan jebakan, terutama untuk kandidat yang belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Sebaiknya pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan yang berhubungan langsung dengan keselamatan lalu lintas. Selain keterampilan mengemudi, pengetahuan tentang rambu-rambu jalan yang sangat komprehensif mungkin diperlukan, tetapi jangan sampai penguji memberikan pertanyaan yang tidak membuktikan apapun tentang kemampuan kandidat,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.
Di sisi lain, tak sedikit pula pihak yang beranggapan bahwa para peserta seharusnya mempersiapkan diri ketika hendak mengikuti ujian teori. Hal ini mendorong dibuatnya buku dan buklet tentang soal-soal ujian disertai jawabannya. Buklet yang tersedia dalam bahasa Belanda dengan terjemahan Melayu dan Inggris itu tak hanya untuk mereka yang hendak mengikuti ujian SIM, tetapi juga untuk masyarakat yang tertarik mengetahui peraturan lalu lintas.*