KARTU identitas (KTP) tak hanya melekat pada manusia, melainkan juga terdapat pada anjing. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan kartu identitas dan microchip khusus anjing ke khalayak. Kartu identitas memuat data anjing dan pemiliknya, sedangkan microchip berisi riwayat kesehatan anjing dan tertanam di leher belakang anjing.
Pemberian kartu identitas dan microchip bertujuan untuk mendata anjing. Pendataan memudahkan petugas mengenali anjing rentan rabies dan anjing bebas rabies. Anjing berkartu identitas dan ber-microchip berarti mempunyai pemilik dan riwayat kesehatan. Pengaturan kepemilikan anjing seperti ini bukan baru kali ini saja terjadi.
Baca juga: Sejarah pemberantasan penyakit rabies
Pemerintah kolonial Belanda pernah mengeluarkan aturan kepemilikan anjing pada 1906. Aturan itu termaktub dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1906 No. 283 dan menyebut kewajiban bagi para pemilik anjing. Antara lain berupa kewajiban melapor jumlah anjingnya, memberi anjing medali atau peneng, membayar pajak untuk anjingnya, dan ketentuan hukuman bagi pelanggar.
“Didenda uang sebanyak-banyaknya lima belas rupiah orang yang memelihara anjing jikalau anjingnya terdapat di jalan raya atau di tanah lapang dengan tiada memakai medali yang masih laku menurut aturan yang tersebut,” demikian bunyi Pasal 7 Staatsblad 1906 No. 283, sebagaimana dikutip dari buku Handleiding ten Dienste van de Inlandsche Bestuurambtenaren terbitan 1919 dan tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia.
Baca juga: Apa salah anjing sampai manusia menjadikannya umpatan
Pemerintah kolonial menjelaskan bahwa pemberlakuan aturan itu demi mencegah bahaya penyakit anjing gila, bukan untuk semata-mata mengisi kas. Penyakit anjing gila memperoleh perhatian serius dari pemerintah kolonial. Buktinya pemerintah kolonial turut pula mengeluarkan ordonansi tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905-1915. Termasuk pula penanganan terhadap korban gigitan anjing gila dan rumah sakit rujukannya.
Pendataan dan pungutan pajak khusus anjing bertahan setelah kemerdekaan. Kebijakan ini terdapat di banyak daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Mojokerto. Pemerintah daerah tersebut kerapkali memuat iklan di media massa tentang kewajiban pemilik anjing mendata anjing peliharaan dan membayar pajaknya.
Menurut R. Soedargo dalam Padjak Daerah dan Retribusi Daerah terbitan 1964, alasan pemerintah daerah tersebut menerapkan pajak anjing masih laras dengan keinginan pemerintah kolonial, yaitu melindungi warga dari penyakit anjing gila.
“Dengan adanya pungutan pajak anjing maka setiap anjing liar dapat ditangkap dengan alasan tidak mempunyai tanda penning untuk kemudian dibinasakan, sedangkan nafsu orang untuk memelihara anjing banyak dapat dikurangkan, sehingga bahaya bagi masyarakat yang datang dari penyakit anjing gila dengan demikian dapat diperkecil,” tulis Soedargo.
Baca juga: KH Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah yang memelihara anjing
Tapi keterangan berbeda datang dari Alwi Shahab. Dia mengemukakan pajak anjing berperan besar dalam mengisi kas daerah seperti Kota Bandung. “Pemungutan pajak anjing bagi pemasukan kas ke kocek pemerintah daerah memang cukup besar, bila diingat harga rokok ketika itu sekitar satu perak per bungkus,” tulis Alwi Shahab dalam “Pajak Anjing dan Bursa Kucing” termuat di Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang.
Sementara itu Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengingatkan para pemilik anjing untuk menaati Peraturan Pajak Andjing Djakarta 1967. Ali dalam Djaja, 28 Oktober 1967, menyebut tiga kewajiban pemilik anjing. Pertama, melapor kepada Kantor Urusan Pendapatan dan Pajak DKI terkait jumlah, jenis, kelamin, warna, dan ciri-ciri anjing peliharaannya. Kedua, membayar pajak anjing. Ketiga, tiap anjing yang telah lunas pajaknya harus dilengkapi dengan tanda pajak anjing.
Tapi lama-kelamaan pemberlakuan pajak anjing menyurut. Tak ada lagi gembar-gembor dari pemerintah daerah mengenai kewajiban mendata dan membayar pajak anjing. Sebuah penelitian dari Universitas Airlangga pada 1981 menyebut pemerintah justru kesulitan memantau anjing dan menerapkan pajak anjing.
Baca juga: Sukarno, presiden pertama yang memelihara anjing
Anjing-anjing peliharaan berkeliaran di permukiman tanpa peneng. Tak ada tindakan apapun dari pemerintah terhadap anjing dan pemiliknya.
“Jumlah petugas pajak anjing yang sangat terbatas dan disadari bahwa wilayah Kotamadya Surabaya sangat luas mengakibatkan ketidakmampuan petugas pajak anjing dalam melakukan penangkapan atau penahanan terhadap anjing-anjing yang berkeliaran tanpa pengalungan peneng anjing,” tulis Reinhard Rahaningmas dalam Pajak Anjing di Kotamadya Surabaya Suatu Tinjauan Deskriptif.
Alasan lain pemberlakuan pajak anjing menyurut ialah rendahnya kesadaran para pemilik anjing terhadap pendataan dan pembayaran pajak anjing. Jangankan mendata dan membayar pajak anjing, kesadaran mengisi formulir surat pajak tahunan dan membayarnya pun masih rendah. Ini terjadi pula di banyak kota. Pajak anjing pun terdengar sayup-sayup. Hanya tersisa imbauan pendataan terhadap anjing, seperti terjadi di Jakarta sekarang.