Masuk Daftar
My Getplus

Menghapus Rabies

Air suci hingga vaksin mengiringi upaya menghapuskannya dari dunia 

Oleh: Mira Renata | 01 Apr 2011

KETIKA tigabelas penduduk desa mereka digigit anjing dalam jangka waktu sepuluh hari di awal Agustus 2009, penduduk dan pemuka adat Ngis di Tabanan, Bali, segera berembug mengatasi kemungkinan terburuk: wabah rabies memasuki desa mereka. Masyarakat desa Ngis sepakat menandatangani enam butir perarem (aturan atau kesepakatan adat) terkait perawatan, kewajiban vaksinasi anjing, serta tidak membawa anjing peliharaan keluar dari desa, seperti diberitakan The Jakarta Post 2 Oktober 2009.

Bali sebelumnya merupakan daerah bebas rabies. Pada November 2008, peningkatan kasus rabies pada manusia melanda Bali. Hingga awal Maret 2011, tercatat sekitar 124 korban manusia meninggal akibat gigitan anjing rabies.

Rabies adalah penyakit zoonotic –virus ditularkan dari hewan kepada manusia– melalui saliva, cakaran, dan gigitan. Di Hindia Belanda, tulis Budi Tri Akoso dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies, keberadaan rabies awalnya ditemukan pada binatang: kuda (dilaporkan oleh Schrool) dan kerbau (oleh JW Esser) pada 1884, serta anjing oleh Penning tahun 1889.

Advertising
Advertising

Rabies pada manusia, seorang anak kecil, tercatat kali pertama di Hindia Belanda pada 1894 di desa Palimanan, Cirebon, oleh dokter Eilerts de Haan. Dua tahun kemudian, de Haan mendirikan lembaga penelitian Pasteur yang khusus menangani rabies. Pendirian ini, seperti dikutip dari D. Schoute dalam Occidental Therapeutics in the Netherland East Indies during Three Centuries of Netherland Settlement, 1600-1900, terdorong oleh pengalaman de Haan yang harus mendapatkan pengobatan di Paris, Prancis, setelah digigit seorang pasien rabies.

Keberadaan anjing rabies telah tercatat dalam komunitas Sumeria dan Akkadia pada abad 24-22 SM di Mesopotamia Selatan: ur-idim dalam bahasa Sumeria atau kalbu segum dalam bahasa Akkadia. Dokumen mantra keduanya mencatat gigitan anjing rabies setara dengan sengatan kalajengking dan patukan ular berbisa, yang mengancam nyawa manusia.

Rabies pada anjing juga terdokumentasi pada masa Yunani-Romawi kuno. Filsuf Aristoteles dalam Natural History of Animals pada 350 SM menulis, “…anjing-anjing itu menderita kegilaan. Mereka menjadi sangat gelisah dan semua binatang yang mereka gigit menjadi sakit.” Kata rabies sendiri berasal dari bahasa Latin rabere, “penuh amuk, kegilaan”.

Hydrophobia atau takut air, sebagai salah satu gejala klinis rabies pada manusia, tak luput dari pengamatan peradaban ini. “Menyadari kegagalan tanaman rempah dan obat-obatan tradisional, para tabib beralih membaca mantra dan memberikan air suci untuk diminum penderita rabies,” tulis Wu Yuhong dalam esai “Rabies and Rabid Dogs in Sumerian And Akkadian Literature”, Journal of the American Oriental Society (2001). Sementara Hippocrates, seorang ahli medis Yunani (460-377 SM), mendeskripsikan gejala takut air pada manusia sebagai “… seseorang diliputi amarah yang sedikit minum, resah dan ketakutan, gemetar hanya akibat sedikit kebisingan, dan terperangkap dalam kejangan otot,” seperti dikutip dari George M.Baer, The Natural History of Rabies.

Rabies, dalam sejarah gereja, pernah dipandang sebagai “ulah iblis”. Dalam esai “A Cure for Rabies or a Remedy for Concupiscence?: A Baptism of the Elchasaites”, Journal of Early Christian Studies (2008), Andrea Nicolotti menegaskan konteks kepercayaan Elchasaite (Kristen-Judaisme) yang mengaitkan penyakit, termasuk gejala hydrophobia pada penderita rabies, sebagai tanda-tanda kerasukan setan. Kepercayaan Elchasaite, yang muncul di Roma sekitar tahun 220 M lewat Alcibiades, menjadikan baptisan air sebagai jalan penyembuhan pasien rabies.

Upaya “pengusiran setan” juga tergambar dalam novel Gabriel García Márquez, Del amor Y otros demonios (Of Love and Other Demons). Novel ini, berlatarbelakang sebuah kota di Kolombia pada abad ke-18, melukiskan upaya pengusiran setan oleh gereja Katolik untuk menyelamatkan putri bangsawan Sierva María de Todos Los Angeles dari cengkeraman setan yang menyebabkan rabies. “Seorang dokter dapat mengklaim apa saja; rabies pada manusia adalah salah satu jebakan Sang Musuh,” ujar pastur Don Toribio de Cáceres y Virtudes kepada Don Ygnacio, ayah Sierva Maria.

Dalam kata pengantar novelnya, Márquez menulis bahwa dia terinspirasi kisah sang nenek di masa kecilnya mengenai “…legenda seorang putri bangsawan berusia 12 tahun, dengan rambut terurai seperti ekor gaun pengantin, yang meninggal karena gigitan anjing rabies.”

Wilayah Spanyol, Jerman, Belgia Austria, dan Prancis di Eropa mengalami peningkatan penyebaran rabies sejak abad ke-11. Puncak penyebaran terjadi pada abad ke-18, meliputi wilayah Inggris, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan Amerika Utara. Selain anjing, serigala, rubah, dan kelelawar saat itu telah diketahui sebagai pembawa virus rabies.

Virus rabies (Lyssavirus) menginfeksi manusia melalui gigitan, cakaran, atau liur binatang pembawa rabies pada kulit terbuka/luka. Seorang ahli medis Roma bernama Aulus Cornelius Celsus pada abad ke-1 Masehi memperkenalkan teknik pembakaran luka dengan alat panas atau cairan kimia sebagai usaha mematikan virus rabies.

Cara kerja virus rabies secara klinis berhasil diidentifikasi oleh guru besar sains dari Prancis, Louis Pasteur, dan asistennya Emile Roux pada 1885. Penelitian Pasteur dan Roux menunjukan bahwa virus rabies menyebar dari lokasi gigitan melalui saraf tulang belakang ke jaringan saraf otak. Berdasarkan kesimpulan ini, mereka mengujicoba vaksin yang diambil dari sampel sel saraf tulang belakang kelinci yang terkena rabies. Sampel virus dilemahkan dalam beberapa alternatif jumlah hari dengan cara dikeringkan oleh aliran udara dalam botol.

Ujicoba klinis vaksin Pasteur awalnya disuntikan beberapa kali kepada sejumlah anjing dan terbukti meningkatkan resistensi terhadap virus rabies. Vaksin Pasteur menjadi pemberitaan luas setelah berhasil menyembuhkan Joseph Meister, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang luka berat akibat gigitan anjing rabies dua hari sebelumnya.

Berita keberhasilan vaksin Pasteur mendorong ratusan orang berbondong-bondong mendatangi kliniknya untuk mendapatkan vaksinasi. Di antaranya seorang anak perempuan berusia 10 tahun, Louis Pelletier, yang datang dengan kondisi memburuk akibat jangka waktu gigitan di bagian kepalanya sudah sebulan lebih. Ketika Pelletier meninggal, Pasteur menghampiri kedua orangtua Pelletier dengan mata berkaca-kaca dan berkata, “Saya sungguh berharap dapat menyelamatkan putri kecil kalian,” seperti tertulis dalam biografi singkatnya di http://www.biographyonline.net.

Sekalipun relatif berhasil, penggunaan vaksin “hidup” seperti yang dilakukan Pasteur menimbulkan perdebatan di kalangan ilmuwan. Sebagian menganggap vaksin “hidup” berisiko mempercepat serangan virus, atau bahkan berpotensi menyebabkan rabies pada manusia terutama ketika tingkat imunitasnya lemah.

Perdebatan berlanjut dengan kemunculan inovasi baru pembuatan vaksin. Di India, ilmuwan David Semple pada 1911 mengembangkan vaksin dari sel saraf otak domba rabies yang diproses menjadi tak aktif dengan larutan phenol. Penelitian Semple membuktikan bahwa vaksin “mati” efektif merangsang sistem imunitas tubuh manusia dengan risiko infeksi yang lebih kecil dibanding vaksin “hidup”. Di Hindia Belanda, Maria Van Stockum, seorang peneliti di Bio Farma di Bandung –kelanjutan dari lembaga penelitian Pasteur yang didirikan Eilerts de Haan–, membuat vaksin rabies dari sel saraf otak monyet yang diproses menjadi tak aktif dengan formalin pada 1930.

Perkembangan sains pada abad ke-20 membuktikan bahwa pemakaian vaksin-vaksin rabies dari jaringan sel saraf binatang –walaupun telah diproses menjadi tidak aktif– tetap berisiko. Sejak 2006, kebanyakan negara beralih memakai vaksin-vaksin rabies dari kultur sel rekayasa (genetik atau seluler) laboratorium. Kini, pemakaian vaksin kultur sel sebagai pencegahan pascapemaparan telah menjadi bagian dari tindakan pengobatan emergensi rabies.

Ancaman rabies masih terus berlanjut hingga kini. Data Badan Kesehatan Dunia menunjukan keberadaan rabies di hampir di seluruh negara di dunia, dan 95% kasus kematian manusia terjadi di benua Asia dan Afrika. Kemajuan teknologi sains memproduksi vaksin pun tidak serta-merta menghapus rabies. Komitmen bersama untuk memastikan ketersediaan dan akses vaksin, plus kegiatan pencegahan melalui surveilans dan vaksinasi hewan pembawa virus rabies, berperan dalam penanggulangan rabies.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola