DELAPAN tahun sudah berlalu, kasus Vina Cirebon belum juga tuntas. Kasus “terlupakan” itu baru bikin heboh setelah dibuatkan film Vina: Sebelum 7 Hari. Lika-liku pengusutan kembali kasusnya menyajikan pada publik soal amburadulnya penegakan hukum, mulai dari salah tangkap Pegi Setiawan hingga rencana para terpidananya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Kasus yang merenggut nyawa sejoli remaja Vina Dewi Arista (Vina) dan Rizky Rudiana (Eky) pada 27 Agustus 2016 tersebut mulanya melahirkan delapan terdakwa. Tujuh terdakwa lantas divonis hukuman penjara seumur hidup dan satu terpidana yang saat disidang masih di bawah umur, Saka Tatal, divonis delapan tahun penjara meskipun kini sudah menghirup udara bebas.
Secara tidak langsung, sidang praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 8 Juli 2024 yang membuatnya terbebas dari status tersangka pelaku pembunuhan Vina, membuka harapan bagi delapan lainnya. Melalui kuasa hukum masing-masing, Saka Tatal dan tujuh terpidana lain yang merasa bukan pelaku berniat mengajukan PK.
Baca juga: Pembunuhan Berencana Marhaenis
Kasus Vina pun mengingatkan wartawan senior Karni Ilyas akan kasus serupa. Pada 1970-an, terjadi suatu peradilan sesat yang akhirnya memenjarakan dua petani, Sengkon dan Karta.
“Tiba-tiba tahun 1980 ada terpidana kasus lain, Gunel yang juga dipenjara di (Lapas) Cipinang. Dia menceritakan kepada Sengkon dan Karta bahwa sebenarnya dialah yang membunuh H. Sulaiman. Cerita ini saya bawa ke Ketua MA (Mahkamah Agung) Pak Mudjono dan dia kaget dan kemudian datang ke Cipinang,” kenang Karni saat membuka gelar wicara “Kasus Vina & Eky: Penegakan Hukum Amburadul? Dede Mengakui Kesaksiannya Palsu!” di akun Youtube Indonesia Lawyers Club, Kamis (25/7/2024).
Kasus Sengkon-Karta menghidupkan kembali herziening atau lembaga Peninjauan Kembali. Berkat PK itulah Sengkon dan Karta yang tidak bersalah akhirnya bebas dari penjara.
“Lembaga (herziening) itu sudah dipingsankan oleh Ketua MA sebelumnya, Prof. Soebekti (1968-1974) dan Pak Mudjono menghidupkan kembali lembaga itu yang belakangan diubah namanya menjadi lembaga Peninjauan Kembali. Saat itu (kasus Sengkon dan Karta) saya bilang sebagai peradilan sesat dan apakah yang sekarang (kasus Vina) ini sesat lagi? Inilah yang akan diuji di Peninjauan Kembali oleh para terpidana yang dimulai oleh Saka Tatal,” lanjutnya.
Baca juga: Hukuman Kasus Pembunuhan di Masa Sultan HB VI
Timbul Tenggelam Herziening
Mekanisme herziening sudah diperkenalkan dalam hukum acara pidana sejak era kolonial. Dalam Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan, Binziad Kadafi, pakar hukum dan akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STHI) Jentera, menyebut, pada 1847 pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Herziening van Arresten en Vonnissen dalam Reglement op de Strafvordering atau hukum pidana dan pada 1849 dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering atau hukum perdata.
“Konsep yang sebanding dengan request-civiel dalam bahasa Indonesia Rekes Sipil atau ‘permintaan untuk mengulangi pemeriksaan perkara berdasarkan alasan-alasan luar biasa.’ Akan tetapi kedua hukum acara tersebut hanya berlaku pada pengadilan bagi golongan Eropa (Raad van Justitie) dan bukan pengadilan bagi masyarakat bumiputera (Landraad),” tulis Binziad.
Setelah Indonesia merdeka, persoalan PK baru diatur dalam Pasal 15 di Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perihal PK ditegaskan lagi dalam UU No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Selanjutnya, segala detail prosedur PK diuraikan dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dikeluarkan oleh MA.
“Tapi perkembangan selanjutnya adalah pencabutan secara formal Perma 1/1969 dan SEMA 18/1969 oleh Ketua MA Soebekti melalui Perma 1/1971. Pertimbangan utamanya, mengatur PK melalui Perma merupakan kekeliruan dan bertentangan dengan UU 14/1970 yang memandatkan PK untuk diatur dalam UU khusus,” lanjutnya.
Baca juga: Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat
Ketua MA berikutnya, Oemar Seno Adji, menerbitkan Perma 1/1976 tentang Pencabutan Perma 1/1971 yang sepenuhnya mencabut seluruh peraturan dan pedoman yang diterbitkan MA terkait PK. Dasar pencabutannya adalah PK belum diatur dalam UU. Rekes sipil tidak lagi dikenal dalam hukum acara. Akibatnya PK terhadap putusan perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap tidak lagi dimungkinkan.
“Kekosongan hukum mengenai PK menimbulkan masalah baru, mengingat UU 14/1970 menyatakan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Begitu halnya sejak 1976 para pengambil kebijakan meremehkan pentingnya PK,” tambah Binziad.
PK baru dihidupkan kembali di masa transisi Ketua MA Omar Seno Adji seiring kemunculan kasus Sengkon-Karta diuraikan. Kontroversinya berawal dari kasus perampokan terhadap korban, H. Sulaiman dan Siti Haya, pasutri pedagang di Bojongsari, Kabupaten Bekasi, medio November 1974.
Baca juga: Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam
Menurut Tim Lindsey dalam artikel “Reconsidering Reform: The Supreme Court and Indonesia’s Extraordinary Legal Measure” yang termaktub dalam buku Crime and Punishment in Indonesia, Sengkon-Karta, dua petani setempat yang oleh masyarakat juga beberapa kali jadi preman, dijadikan tersangka oleh kepolisian yang menyelidiki kasusnya. Nama Sengkon dan Karta rupanya dibisikkan salah satu korban, H. Sulaiman, kepada seorang saksi yang melarikan korban ke rumahsakit terdekat kendati nyawa kedua korban tak tertolong.
“Sebuah sendal yang ditengarai milik Sengkon juga ditemukan dekat tempat kejadian perkara (TKP). Dalam penahanan, Sengkon dan Karta dipukuli polisi dan mereka dipaksa mengaku,” tulis Lindsey.
Sengkon-Karta akhirnya diajukan ke muka sidang di PN Bekasi, medio Oktober 1977. Segala bantahan Sengkon-Karta ditolak ketua majelis hakim Djurnetty Soetrisno, kendati terdapat tiga saksi yang menguatkan pembelaan kedua terdakwa. Tiga saksi itu menyatakan pada saat kejadian, Karta sedang terbaring sakit.
Baca juga: Para Pelarian dari Penjara
Kendati begitu, hakim menolak pembelaan tersebut. Dengan memprioritaskan versi kepolisian, vonis pun dijatuhkan. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta dihukum tujuh tahun penjara.
Upaya Sengkon untuk banding ditolak. Sedangkan Karta memilih menerima vonisnya hingga putusan terhadap Sengkon-Karta sudah inkrah.
Tiga tahun lamanya Sengkon-Karta mesti mendekam di Lapas Cipinang sebelum akhirnya datang secercah harapan untuk keadilan. Tetiba pada 1980 kedua terpidana itu bersua pelaku yang sebenarnya di balik jeruji besi.
“Sewaktu Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, seorang narapidana bernama Gunel merasa iba. Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta. Pengakuan Gunel itu akhirnya diketahui media massa,” tulis advokat Bachtiar Sitanggang dalam kolom hukum di majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi Maret 1997, “Hakikat Peninjauan Kembali Atas Suatu Perkara Pidana”.
Baca juga: Para Penguasa Penjara Cipinang Legendaris
Tak ayal kasus itu pun viral lagi di masanya hingga menarik perhatian Kejaksaan Agung, MA, maupun DPR. Advokat cum anggota DPR Albert Hasibuan “turun gunung” untuk memperjuangkan nasib Sengkon-Karta. Gunel sendiri disidang pada Oktober 1980 lalu divonis 12 tahun penjara.
“Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap. DPR juga ikut campur tangan. Media massa berpartisipasi aktif. Akhirnya Kejaksaan Agung juga mengajukan Penangguhan Pelaksanaan Menjalani Hukuman bagi Sengkon dan Karta,” lanjut Bachtiar.
Karena tak mungkin korban pasutri Sulaiman-Siti Haya “dibunuh dua kali”, mengingat Gunel sendiri sudah divonis, maka mekanisme herziening alias PK yang sempat mati suri, dihidupkan kembali. Ketua MA Oemar Seno Adji sendiri pun menerbitkan Perma 1/1980 dengan mengacu pada Pasal 21 UU No.14/1970 sebagai tindakan sementara untuk kasus Sengkon-Karta.
“Setelah terbitnya Perma 1/1980, perkara Sengkon dan Karta diperintahkan untuk diperiksa ulang,” sambung Binziad.
Baca juga: Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara
Dalam pemeriksaan ulang, Sengkon-Karta dinyatakan tidak bersalah. Pada 4 November 1980, keduanya dinyatakan bebas, meski secara fisik Sengkon-Karta sudah dibebaskan lebih dulu pada 3 November dengan alasan Sengkon harus dirawat intensif di rumahsakit akibat penyakit TBC.
Kendati demikian, Sengkon-Karta tetap harus hidup dalam kemiskinan. Mengutip buku Lembaran Hitam Pengadilan di Aceh: Kasus Pembunuhan, keluarga Sengkon-Karta harus kehilangan harta benda berupa rumah dan tanah untuk mengongkosi upaya hukum mereka. Gugatan ganti rugi sebesar Rp100 juta kepada pemerintah ditolak MA.
Terlepas dari kasus Sengkon-Karta, perihal PK kembali jadi pembahasan di antara para pengambil kebijakan, mengingat Perma 1/1980 itu bersifat tindakan sementara. Baru pada 1985, PK melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan dasar hukumnya Pasal 76 UU 14/1985. Adapun dasar diajukannya PK adalah Pasal 263 ayat 2 KUHAP.
Baca juga: Penjara untuk Perempuan Kriminal