Sidang Terbuka Jusuf Muda Dalam
Salah satu persidangan yang menjadi sorotan publik pada dekade 1960-an. Namun, ada kalanya suasana tegang dalam sidang menjadi cair lantaran pernyataan para saksi maupun terdakwa.
Pengadilan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat yang menyeret mantan Kadiv Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai terdakwa utama bergulir kembali. Sejak awal mencuat, kasus ini telah menyedot perhatian publik. Mulai dari pelanggaran obstruction of justice sejumlah perwira polisi, kesaksian para saksi yang saling bertentangan, hingga menyerempet “perang bintang” antar perwira tinggi di Markas Besar Polri. Digelar secara terbuka, masyarakat terus menanti fakta-fakta baru terkuak dari pengadilan yang masih berlangsung sampai saat ini.
Seperti pengadilan Ferdy Sambo, kasus Jusuf Muda Dalam pada paruh kedua 1960-an juga menjadi sorotan masyarakat. Jusuf Muda Dalam (selanjutnya disebut JMD) adalah mantan Menteri Urusan Bank Sentral. Dia terdakwa kasus penggelapan uang negara senilai 97 milyar rupiah. Harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata –yang berafiliasi dengan Angkatan Darat– adalah dua suratkabar yang paling gencar memberitakan pengadilan kasus JMD.
Persidangan subversi JMD digelar secara terbuka sejak 31 Agustus 1966. Sejumlah saksi dihadirkan, mulai dari pegawai Bank Sentral, beberapa kolega JMD, hingga beberapa wanita yang dekat dengannya. Terkadang, suasana sidang yang tegang mencekam berubah ricuh oleh sorak-sorai para hadirin di ruang sidang. Mereka tertawa mendengar kesaksian para saksi.
Pada hari pertama, majelis hakim mengajukan sejumlah pertanyaan kepada JMD. Mengenai Intan Tri Sakti, batu mulia yang diperolehnya di Istana, JMD mengatakan intan tersebut dibawanya pulang ke rumah untuk disimpan. Dia beralasan bank sudah tutup sehingga disimpan di rumahnya. Namun, hakim menegaskan ulang apakah intan tersebut diberikan kepada salah satu istri JMD, Sari Narulita. JMD hanya tersenyum mesem menanggapi hakim. Pertanyaan kemudian beralih ke soal kredit DPC senilai 10 juta dolar Amerika yang diberikan JMD kepada pengusaha Bram Tambunan.
Baca juga: Bram Tambunan, Hikayat Si Raja Ban
“Atas dasar apa Saudara memberikan kredit khusus pada Bram?” tanya hakim.
“Karena sahabat baik,” jawab JMD.
“Kalau begitu Saudara sahabat yang baik ya,” ujar hakim, seperti dikutip Angkatan Bersendjata (selanjutnya disebut AB), 1 September 1966.
Pada sidang ke-5, Hakim Ketua Johannes SH menanyakan perihal teknis pelaksanaan pencairan DPC, dana revolusi, serta kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Sebagai “Raja Bank”, tanya hakim, “Apakah Saudara melakukan tugas Saudara untuk memperkuat nilai rupiah?”
“Raja Bank kalah dengan Raja Banteng,” jawab JMD. Majelis hakim, termasuk JMD sendiri, tertawa mendengar kalimat “Raja Banteng”. Raja Banteng yang dimaksud JMD adalah menteri keuangan yang kantornya terletak dekat Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Baca juga: Dari Lapangan Banteng untuk Indonesia
“Saudara telah tak sanggup cegah inflasi,” cecar hakim.
“Ya, tapi kredit tidak melampaui plafond yang ditetapkan,” jawab JMD.
“Apa Saudara pernah belanja beras, sabun?” tanya hakim lagi
“Tidak, sabun, beras, diurus oleh istri-istri saya,” jawab JMD, yang kembali disambut gelak tawa seisi ruangan sidang.
Namun, JMD, seperti dilansir AB, 2 September 1966, tak menyangkal bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat. Kembali diulanginya, bahwa sumber inflasi yang terjadi berasal dari Lapangan Banteng, alias kebijakan menteri keuangan.
Baca juga: Jusuf Muda Dalam, dari Uang Panas hingga Selebritas
Sidang lanjutan pada 2 September 1966 barangkali yang paling menggegerkan. Dalam persidangan, dua istri JMD dihadirkan sebagai saksi, yakni Nyonya Djufriah dan Sari Narulita. Djufriah datang ke ruang dengan penampilan menyolok. Berita Yudha 3 September 1966 menyebut Djufriah mengenakan spanrok biru muda, sepatu bertumit tinggi warna putih, dan berjalan seperti peragawati. Hakim berkali-kali menegurnya supaya berhenti menumpangkan kakinya ke atas kaki yang lain.
“Umur berapa? Maaf kakinya ditaruh di bawah,” kata hakim disambut suara riuh dari hadirin.
Djufriah mengatakan usianya 23 tahun. “Saudara tentunya kenal dengan Saudara Jusuf ya? Hakim lanjut bertanya, “Kapan Saudara menikah? Maaf duduknya yang lempeng.”
“Saya menikah tanggal 30 Juli 1965. Tapi sesudah dua bulan menikah, karena kami ada konflik, tanpa setahu dia, saya minta cerai pada Kantor Urusan Agama tetapi ditolak. Kemudian sewaktu diamankan, saya memohon lagi dan diterima. Sekarang saya bercerai dengan Saudara Jusuf,” terang Djufriah.
Baca juga: Jusuf Muda Dalam di Mata Hasjim Ning
Selama perkawinan singkat itu, Djufriah mengakui mendapat pemberian dari JMD berupa satu unit rumah di Jalan Salemba, uang 5 juta rupiah dan mobil Fiat 1300. Sebelum diperistri JMD, Djufriah bekerja sebagai sekretaris Yayasan Keindahan Kota, tempat JMD menjadi ketuanya. Perkenalan bermula ketika Djufriah mengantarkan surat-surat yang harus ditandatangani JMD.
Sementara itu, Sari Narulita yang diketahui seorang bintang film, mengatakan telah diperisteri JMD pada 28 Februari 1966, hari mereka melangsungkan pernikahan. Dari JMD, dia mengaku diberi mobil Fiat 1300 dan rumah di bilangan Cilandak yang masih dibangun. Menurut Sari, sifat humoris JMD-lah yang telah meluluhkan hatinya ketika jaksa mengajukan pertanyaan, “Apa sih yang menarik hati Anda terhadap Jusuf?”
“Karena Jusuf banyak bergurau, Pak Jaksa. Dalam pergaulan ia amat supel,” kata Sari.
JMD yang diberi kesempatan mengoreksi kesaksian Sari malah menghaturkan terimakasih kepada hakim karena bisa bertemu lagi dengan Sari. “Setelah saya ditahan selama 6 bulan, saya bisa melihat Sari lagi.”
“Sebaiknya kata-kata itu Anda simpan saja untuk pledoi nanti,” kata hakim buru-buru membalas.
Baca juga: Teuku Markam, Runtuhnya Sang Pengusaha Istana
Pengusaha Teuku Markam hadir sebagai saksi pada sidang lanjutan, 3 September 1966. Di hadapan hakim, Markam mengakui memperoleh kredit dengan nilai total 15 juta dolar Amerika. Markam mengaku kenal JMD sejak yang bersangkutan menjabat Menteri Urusan Bank Sentral tahun 1959. Selama persidangan, Markam banyak berguyon menanggapi pertanyaan hakim.
“Saudara telah kenal JMD. Perusahaan apa yang dimiliki Jusuf?” tanya hakim.
“Saya kurang tahu, Pak. Pak Jusuf terlalu jahat sama saya,” kata Markam seperti dikutip Berita Yudha, 5 September 1966. Setelah ditegur hakim, Markam meralat jawabannya dengan mengatakan JMD punya hubungan erat dengan pengusaha lainnya seperti Aslam dari PT Kongsi dan Djohan, direktur PT Sumurung.
“Sudah lama saksi pakai jenggot?” tanya Hakim Ketua Johannes.
“Sudah Pak. Sejak ditahan,” jawab Markam.
Baca juga: Tajir Melintir Teuku Markam
“Bagaimana rahasianya perusahaan Saudara menjadi lancar?” jaksa bertanya.
“Kurang jelas, Pak. Kuping saya rusak, karena dipukul Jusuf Muda Dalam,” balas Markam. Jaksa kemudian mengulangi pertanyaannya.
“Rahasianya, saya kerja selama 24 jam sehari, Pak. Tidak ada jalan lain yang ditempuh,” pungkas Markam.
Kesaksian para saksi itu nyatanya tak cukup untuk menyelamatkan JMD dari jerat hukum. Pada 9 September 1966, Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman mati kepada JMD atas pelanggaran pidana subversif, kepemilikan senjata api, penggelapan uang negara, dan perkawinan lebih dari empat istri. Hukuman mati itu urung terjadi. Sepuluh tahun setelah persidangan, JMD meninggal akibat tetanus pada 26 Agustus 1976 di Rumah Sakit Cimahi.
Baca juga: Hukuman Mati bagi Menteri Korup
Tambahkan komentar
Belum ada komentar