Jusuf Muda Dalam di Mata Hasjim Ning
Sejarah mencatat Jusuf Muda Dalam sebagai penjahat. Pengusaha Hasjim Ning punya penilaian lain.
SUKA bergaul dan gemar menolong plus menjadi sabahat Bung Karno membuat Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia, berada di dalam orbit elite. Posisi itu membuatnya dianggap serba-tahu oleh banyak orang.
Padahal, posisi itu kerap membuatnya sial kendati dirinya hanyalah seorang partikelir alias di luar pemerintahan. Kesialan terutama menimpanya jika ada suatu gejolak politik. Periode peralihan rezim, 1965-1966, menjadi periode terberat yang dirasakannya. Hasjim bahkan ikut kena periksa Tim Pemeriksa Umum (Teperpu).
“Empat puluh delapan kali aku diperiksa. 48 kali diperiksa oleh suatu tim dengan cara cross examination memang sangat melelahkan bahkan menjengkelkan walaupun pertanyaan dimajukan dengan sopan tapi korektif. Mungkin karena aku seorang pengusaha besar dan dekat dengan Istana, maka aku dipandang serba tahu ke mana saja uang negara digunakan dan dicolongi orang. Mereka seperti tidak percaya bahwa aku tidak tahu dan tidak ikut kebagian. Mereka seperti tidak tahu bahwa dalam masyarakat lingkungan Istana terdapat serigala dan ular yang saling mengincar mangsa untuk disergap ramai-ramai atau difitnah,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Baca juga: Saat Pengusaha-Pejuang Apes
Namun, Hasjim tak pernah mengeluhkan posisi yang dimilikinya. Justru dari posisinya itulah dia mengenal banyak orang. Dibandingkan kawan-kawannya yang memiliki jabatan, posisi Hasjim sebagai partikelir memungkinkannya lebih mengenal secara personal orang-orang di kalangan elit. Tak heran bila setiap penilaiannya terhadap seseorang acap berbeda dari pemberitaan umum.
Salah satunya, terhadap sosok Menteri Urusan Bank Central/Gubernur Bank Indonesia Jusuf Muda Dalam. Isu korupsi, hidup mewah, dan tukang main perempuan menghancurkan nama Jusuf dan membawanya ke dalam akhir kehidupan yang tragis, mengubur jasa-jasanya yang telah dirintis sejak muda.
Jusuf merupakan pejuang kemanusiaan sejak muda. Ketika kuliah di Ekonomische Hoge School di Rotterdam, Belanda, Jusuf aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika Perang Dunia II pecah, Jusuf ambil bagian dalam melawan pendudukan Jerman-Nazi dengan bergabung ke dalam gerakan bawah tanah. Jusuf memilih angkat senjata dengan menjadi penembak senapan mesin. Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang juga ikut gerakan bawah tanah, ingat betul keberanian Jusuf. Kepada Soe Hok Gie, yang kemudian menuliskannya dalam Orang-Orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan, Soemitro mengatakan Jusuf pernah sukses menghujani peluru konvoi pasukan Jerman.
Baca juga: Para Pemuda Indonesia yang Melawan Nazi
Semasa Perang Kemerdekaan, Jusuf aktif memberitakan revolusi Indonesia lewat tulisan-tulisannya di De Waarheid, harian milik Partai Komunis Belanda. Kiprah Jusuf dalam pemerintahan dimulai dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 1956, dia diajak Margono Djojohadikusumo menjalankan roda Bank Negara Indonesia (BNI). Kariernya melesat. Pada 1959, dia sudah menduduki jabatan presiden direktur.
Kinerja apik itu menjadi alasan Presiden Sukarno menunjuknya menjadi Menteri Urusan Bank Central/Gubernur Bank Indonesia pada 1963. Lewat kampanye “Bank Berdjoang”, Jusuf sukses mengintegrasikan seluruh bank pemerintah ke dalam BNI.
Namun, kehidupan pribadi Jusuf dan kedekatannya pada Presiden Sukarno membawanya menjadi pesakitan setelah G30S pecah. Begitu Supersemar didapat Jenderal Soeharto, masa kegelapan Jusuf pun dimulai. Berbekal surat perintah pengamanan itu, Jenderal Soeharto memasukkan nama Jusuf ke dalam daftar 15 menteri yang ditahan pada 18 Maret 1966.
Jusuf disidangkan pada 30 Agustus 1966. Dengan dakwaan subversi, korupsi, tindak pidana khusus menguasai senjata api tanpa hak, dan perkawinan yang dilarang undang-undang, Jusuf divonis hukuman mati.
Sebelum penahanan Jusuf pada 18 Maret itulah Hasjim bertemu Jusuf. Karena mengenal secara pribadi, Hasjim tak mau membeo pada pemberitaan media dalam berkawan dengan Jusuf. Selain memberitahu Jusuf bakal ditangkap dalam waktu dekat, Hasjim juga menawarkan bantuan dengan mengupayakan “pelarian” Jusuf ke luar negeri bila yang bersangkutan berkenan.
Jusuf dengan tegas menolak tawaran Hasjim. “Dengan meninggalkan Bung Karno? Tidak. Aku sudah tahu bahwa aku akan ditangkap. Aku tahu alasan aku ditangkap. Tapi tak apalah. Setidaknya aku akan diketahui orang bahwa aku sama dengan Chaerul Saleh yang tidak mau meninggalkan pemimpinnya. Tidak sama dengan Adam Malik dan Frans Seda yang mau menyerahkan uang kantornya kepada tentara untuk menangkapi teman sendiri dan terakhirnya Bung Karno,” kata Jusuf dikutip Hasjim.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar