GALIH dan Ratna adalah dua sejoli. Sepeda onthel menjadi saksi cinta mereka yang terlarang. Sayangnya, cinta Galih dan Ratna berakhir duka. Galih menikah dengan Marlina, saudara kembar Ratna. Kisah asmara itu hanyalah fiksi, terekam dengan apik dalam film Gita Cinta dari SMA, adaptasi dari novel Eddy D. Iskandar.
Pada 26 Juni 2011, Ratna lain justru berbahagia. Ratna Sri Handayani dan Dimas Sapto Romadhon, keduanya pecinta sepeda onthel, menikah. Pernikahan mereka dirayakan dengan cara unik: diarak keliling kota oleh ratusan onthelis dari klub Vheesink Ontel Club (VOC), yang bermarkas di Jakarta Barat.
Sepeda Onthel memang lagi naik daun. Meski tua, ia tetap dicinta. Berbagai perkumpulan pun bermunculan di berbagai daerah. Karena animo itu, Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan pameran onthel bertajuk “Pameran Pit Onthel 2010-Indische Fietsen” pada 22-30 Juni lalu. Buku ini merupakan pengembangan dari katalog yang disusun untuk pameran tersebut.
Penemu sepeda sebagai Laufmaschine atau running machine, yaitu alat dengan dua roda yang bergerak, adalah Baron Karl von Drais de Sauerbrun dari Jerman pada 1817. Sepeda berangka dan berjeruji kayu ini belum menggunakan pedal, namun sudah beroda logam, memiliki tempat duduk dan setir, serta dapat dikemudikan dengan sebuah palang yang disambungkan dengan roda depan. Pengendaranya harus menjejakkan kaki ke tanah untuk membuatnya bergerak. Temuan ini merupakan penyempurnaan dari mainan dengan dua roda “tak stabil” yang ditemukan Comte Mede de Sivrac, orang Prancis, pada 1790.
Sepeda karya Karl Drais ini disebut draisienne atau hobby horse (sepeda kuda-kudaan) karena modelnya perpaduan antara sepeda dan kereta kuda. Karl Drais memperoleh hak paten.
Baca juga: Tambora disangka letusan meriam Nyi Roro Kidul
Penemuan sepeda tak bisa dilepaskan dari meletusnya Gunung Tambora, setidaknya menurut tulisan wartawan Mick Hamer dalam majalah sains dan teknologi terbitan Inggris, New Scientist, tanggal 29 Januari 2005. Pada 5 April 1815, Gunung Tambora yang berada di pulau Sumbawa mulai bergejolak. Sepekan kemudian ia memuntahkan isi perutnya dengan letusan spektakuler hingga bulan Juli. Ini adalah erupsi terbesar yang dicatat sejarah, menewaskan hingga 92.000 orang dan menyemburkan begitu banyak abu di atmosfer. Letusan itu memicu pemanasan global, suhu bumi meningkat tiga derajat celsius.
Di Eropa, tahun 1816 disebut sebagai tahun tanpa musim panas. Di beberapa tempat turun hujan salju, langit terus-menerus gelap, panen gagal, dan Eropa memasuki tahun-tahun buruk. Cuaca buruk membuat transportasi, yang biasanya mengandalkan kuda dan angkutan air, menjadi tidak nyaman. Bahkan banyak kuda disembelih karena cadangan makanan menipis dan para pemilik kuda kesulitan mencari pakan kuda. Saat itulah Karl Drais membuat alat sederhana beroda dua yang kemudian diberi nama draisienne.
Baca juga: Tambora meletus karena seorang Arab dibunuh
Sepeda kemudian mengalami pengembangan. Kirkpatrick Macmillan, seorang pandai besi Skotlandia, melakukan inovasi dengan membuat sepeda berpedal pada 1839. Bentuknya memang terlihat janggal: roda depan lebih besar ketimbang roda belakang, dengan alasan menjaga keseimbangan pengemudi. Selanjutnya, pada 1860-an, ayah-anak Pierre dan Ernest Michaux, seorang pandai besi Prancis, menemukan pemberat engkol yang menstabilkan laju sepeda.
Pada 1862, ketika Pierre Lallement sedang mengerjakan kereta bayi (baby stroller) di Nancy, Prancis, dia melihat orang mengendarai draisienne. Dia memodifikasi apa yang telah dilihatnya dengan menambahkan transmisi terdiri dari mekanisme engkol berputar dan pedal yang melekat pada roda depan serta pelek untuk memperkuat roda. Dia pindah ke Paris setahun kemudian dan menjadi karyawan Ernest Michaux untuk waktu singkat. Pada 1865, dia pindah ke Amerika dan mematenkan temuannya. Namun keamanan dan kenyamanan berkendara tetap belum didapatkan. Goyangan dan guncangan sering membuat pengendara sakit pinggang, sehingga sepeda Lallement ini dijuluki boneshaker (pengocok tulang).
Dua dasawarsa kemudian sepeda lebih nyaman dikendarai. Roda depan dikendalikan dengan sebuah engkol di bawah pusat roda yang dihubungkan dengan rantai dan susunan gir. Berbagai merek dan bentuk sepeda dari negara-negara Eropa pun bermunculan, disusul kemudian sepeda China dan Jepang. Pada 1880-an sepeda roda tiga populer karena dianggap lebih aman digunakan perempuan dan lelaki yang kakinya terlalu pendek.
Baca juga: Orang yang mengusulkan Presiden Soeharto menggowes sepeda
Tren sepeda roda dua kembali muncul setelah pabrik sepeda didirikan kali pertama oleh seorang penemu asal Inggris James Starley dan Josiah Turner di Conventry, Inggris, pada 1886. Starley dijuluki sebagai “bapak industri sepeda”. Sepeda roda dua kian mendunia setelah penemu asal Skotlandia John Boyd Dunlop menemukan teknologi ban angin pada 1888. Dunlop mempelajari pneumatik, studi dan penerapan penggunaan gas bertekanan untuk efek gerak mekanik. Pada 1887, dia mengembangkan pneumatik praktis pertama atau ban karet untuk sepeda roda tiga anaknya, yang kemudian diuji dan mendapatkan hak paten.
Dalam Seri Lawasan: Pit Onthel diuraikan bahwa sepeda masuk Indonesia sebagai alat transportasi sekira tahun 1910. Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan bangsawan, misionaris, dan saudagar kaya. Militer Belanda juga menggunakan sepeda untuk patroli.
Hindia Belanda otomatis menjadi pasar tujuan sepeda Belanda. Merek yang diminati antara lain Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Baru beberapa tahun kemudian muncul sepeda buatan Inggris seperti Humber, Phillips, dan Raleigh, serta merek asal Jerman, Göricke dan Fahrrad. Merek-merek tersebut hadir pada masa tenang pasca-Perang Dunia I. Kantor-kantor dagang Eropa memasarkan sepeda di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Hal ini diketahui melalui sejumlah iklan enamel –iklan yang terbuat dari pelat besi bercat enamel– merek sepeda terkenal seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Releigh, yang tersebar di seluruh Indonesia sekira tahun 1930-1939.
Sepeda merupakan barang mewah. Harga sepeda seperti Gazelle sangat mahal, hampir sama dengan 1 ons emas. Karena itu masyarakat biasa hanya mampu membeli sepeda bekas atau menunggu harganya turun.
Kedatangan Jepang pada 1942 mengakhiri kejayaan sepeda-sepada Eropa. Jepang melarang penggunaan sepeda buatan Eropa dan para pemiliknya pun tidak mendapatkan suku cadang seperti ban dan onderdil. Beberapa merek Jepang antara lain Bike Pals, Club, Milton, Oryx, Prima, Wee Bee, dan Woodcock, berseliweran pada 1960-an. Bahkan sepeda rakitan dalam negeri seperti merek Banteng, Garuda, dan Dwi Warna dari Semarang, Bandung, dan Surabaya ikut meramaikan pasar sepeda.
Buku katalog onthel ini memuat riwayat merek-merek Belanda, Inggris, dan Amerika –sayangnya, tak ada uraian mengenai merek Jerman dan Jepang, juga rakitan dalam negeri. Anda juga bisa menemukan bermacam onderdil, aksesoris, iklan, dan koleksi onthel klub Podjok (Paguyuban Onthel Djogjakarta). Sebagai tambahan, buku ini memuat dua kisah pengguna onthel, yaitu Pak Samidjo dan Mbah Tris; dua cerita pendek karya J. Lameijn dan Oesman yang diambil dari Matahari Terbit (1946) serta karya K. St. Pamoentjak dan M.I. Halim dalam Tjenderawasih III (1965).
Sindhunata membuka buku ini dengan puisi: “Sepeda onthel sepeda Jawa, saksi mata bagi kita, kota ini pernah bersemi dengan cinta.” Ya, seperti cinta yang bersemi di hati Dimas dan Ratna, pecinta sepeda onthel.