Setiap pengemudi wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) agar dapat mengendarai kendaraannya di jalanan. Untuk mendapatkan SIM, pengendara harus mengikuti tes tulis dan praktik berkendara. Namun, banyak pengendara yang gagal dalam tes praktik. Pemohon bisa mengulang tes praktik dua minggu kemudian. Kini, Polri mengizinkan pemohon mengulang tes praktik hari itu juga sampai berhasil.
Pemberlakuan SIM bagi pengendara berkaitan dengan hadirnya sepeda motor dan mobil di Hindia Belanda menjelang abad ke-20. Pada masa itu, mobil dan motor belum dapat dibeli secara langsung, tetapi harus dipesan ke pabriknya di luar negeri. Dealer atau ruang pamer kendaraan (showroom) mulai muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe menyebut di Surabaya pada 1920-an mulai dibuka sejumlah tempat penjualan mobil maupun toko yang menyediakan suku cadang untuk kendaraan bermotor seperti N.V. Autohandel P. Bouman (Showroom & Verkoopafd.) di Tunjungan 85, dan Ford Sales & Service (N. V. Behn Meyer & Co. Handel Mij.) di Tunjungan 4a.
Baca juga: Kemacetan di Batavia Tempo Dulu
Pada masa awal kemunculan mobil, pengendara mengemudikannya tanpa SIM. Menurut G.H. von Faber dalam Oud Soerabaia baru pada 1 Januari 1900 para pengemudi kendaraan yang digerakkan oleh mesin berbahan bakar bensin dan tidak berjalan di atas rel, harus memiliki SIM untuk dapat berkendara di jalan umum.
Para pengemudi harus mengikuti serangkaian tes, terutama tes mengemudi dengan didampingi seorang inspektur polisi. Dalam tes tersebut peserta diminta mengemudikan kendaraannya melewati sejumlah jalan. Selanjutnya para peserta diminta untuk bermanuver di antara barisan bendera, menggerakkan mobil maju dan mundur, hingga berbelok. “Perjalanan itu lebih seperti kompetisi keterampilan daripada ujian untuk mendapatkan lisensi,” tulis Von Faber.
Proses mendapatkan SIM yang mewajibkan pengendara lulus tes mengemudi membuat banyak orang gagal. Pada 1900, sebut Dukut, di Surabaya hanya enam orang yang memiliki SIM.
Baca juga: Mula Istilah Kuda Gigit Besi
Pemerintah kolonial Belanda kemudian membuat peraturan lalu lintas di antaranya mengenai jenis-jenis SIM. Menurut Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, dalam Staatsblad 1933 No. 86 disebutkan pengendara mobil harus memiliki SIM jenis A (Pasal A 24) sedangkan untuk mobil angkutan seperti vrachauto dan autobus (kini lebih dikenal dengan truk dan bus) SIM-nya kelas B.
“Syarat untuk memperoleh SIM A harus sudah berusia 18 tahun, sementara untuk SIM B harus di atas 21 tahun,” tulis Mona. SIM atau rijbewijs, yang di lidah bumiputra disebut rebewes, berlaku untuk seluruh Hindia Belanda selama lima tahun.
Bila SIM telah mendekati masa kadaluwarsa, maka pengendara wajib melakukan perpanjangan dan menyerahkan SIM lama kepada pihak berwajib. Sejumlah aturan terkait permohonan pembuatan maupun perpanjangan SIM dilampirkan dalam surat kabar De Locomotief, 21 Agustus 1933, yang juga menjelaskan mengenai proses perubahan informasi terkait data diri pengendara. Jika pemegang SIM pindah tempat tinggal, ia wajib memberitahukan kepada otoritas terkait mengenai kepergiannya. Ia juga wajib, dalam waktu empat belas hari setelah tiba di tempat tinggalnya yang baru, untuk menunjukkan SIM yang dimilikinya kepada otoritas setempat yang bertanggung jawab menerbitkan SIM.
Selain itu, surat kabar tersebut juga menginformasikan biaya permohonan pembuatan SIM. Permohonan SIM baru dikenakan biaya 1.50 gulden, sementara jika SIM sudah usang sehingga tak lagi terbaca seluruhnya atau sebagian, maka pemiliknya wajib mengajukan SIM baru yang proses pembuatannya dikenai biaya 1.50 gulden. Peraturan wajib SIM bagi pengemudi kendaraan bermotor ini membuat orang-orang yang memiliki mobil maupun motor berbondong-bondong mengajukan permohonan pembuatan SIM. Namun, tak sedikit peserta yang gagal melalui serangkaian tes terutama tes berkendara, sehingga harus mengikuti ujian ulang atau nekat berkendara tanpa memiliki SIM.
Baca juga: Tudingan Kotor Kepada Aturan Menyalakan Lampu Motor
Tes untuk mendapatkan SIM yang cukup sulit mendorong dibuatnya buku maupun buklet tentang soal-soal ujian disertai jawabannya. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 10 Oktober 1933 melaporkan, buklet tersebut disusun oleh B.K. Noorman, mantan komisaris polisi, J. Berendsen, inspektur polisi, dan Ch. F. Hommes, seorang teknisi otomotif. Buklet tersebut tak hanya diperuntukkan bagi mereka yang hendak mengikuti ujian mendapatkan SIM, tetapi juga untuk masyarakat yang tertarik mengetahui peraturan lalu lintas. Guna merambah pembaca yang lebih luas, buklet ini tersedia dalam bahasa Belanda dengan terjemahan Melayu dan Inggris.
Permohonan pembuatan SIM tak terbatas pada laki-laki. Dalam surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, 23 September 1939 diberitakan, tak kurang dari 150 perempuan telah mendaftar untuk mendapatkan SIM A, sementara 17 perempuan mengajukan SIM B.
Baca juga: Perkara Parkir Kendaraan di Jakarta
Perempuan yang mengikuti ujian berkendara dan berhasil mendapatkan SIM diceritakan oleh Bambang Budi Siswanto, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dalam “Mengajar Dengan Kasih”, salah satu tulisan yang termuat dalam Dosen Berkisah Jangan Pernah Menyerah. Bambang yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengisahkan eyang putrinya yang berhasil mendapatkan SIM pada zaman kolonial Belanda.
“Eyang putri saya keturunan keraton. Walaupun memakai kain jarit Jawa, beliau jago bermain tenis lapangan dan merupakan perempuan pertama di Indonesia yang berhasil memiliki rijbewijs (Surat Izin Mengemudi) pada zaman Belanda,” tulis Bambang.
Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan pengendara memiliki SIM sebagai upaya menertibkan lalu lintas dan mencegah kecelakaan di jalan raya. Kini, SIM tak hanya menjadi bagian dari peraturan lalu lintas, tetapi juga menjadi tanda pengenal atau kartu identitas bersamaan dengan kartu tanda penduduk dan paspor.*